Tentang ikhtilaf mengerak-gerakan isyarat telunjuk
I. Kaifiyat berisyarat dan tidak menggerak-gerakan isyarat telunjuk
Dalil 1
مسند أحمد ١٥٥١٨: …حَدَّثَنِي عَامِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِي التَّشَهُّدِ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَلَمْ يُجَاوِزْ بَصَرُهُ إِشَارَتَهُ
Musnad Ahmad 15518: …Telah menceritakan kepadaku 'Amir bin Abdullah bin Az Zubair dari Bapaknya berkata: Rasulullah SAW jika duduk tasyahud meletakkan tangannya di atas paha kanan dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya yang kiri, menunjuk dengan telunjuknnya dan pandangan mata beliau tidak melewati telunjuknya.
Dalil 2
صحيح مسلم ٩١٣: … عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُعَاوِيِّ أَنَّهُ قَالَ رَآنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَأَنَا أَعْبَثُ بِالْحَصَى فِي الصَّلَاةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ نَهَانِي فَقَالَ اصْنَعْ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فَقُلْتُ وَكَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ قَالَ كَانَ إِذَا جَلَسَ فِي الصَّلَاةِ وَضَعَ كَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَقَبَضَ أَصَابِعَهُ كُلَّهَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الَّتِي تَلِي الْإِبْهَامَ وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى…
Shahih Muslim 913: … Dari Ali bin Abdurrahman Al Mu'awi, dia berkata: Abdullah bin Umar pernah melihatku bermain-main kerikil ketika shalat. Seusai shalat, dia langsung melarangku sambil berujar: "Lakukanlah sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan." Tanyaku: "Bagaimana Rasulullah melakukan?" Katanya: "Jika beliau duduk dalam shalat, beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya dan beliau genggam semua jari jemarinya sambil memberi isyarat dengan jari sebelah jempol (telunjuk), beliau juga meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya."…
Dalil 3
صحيح مسلم ٩١٠: …عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَعَدَ يَدْعُو وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ وَوَضَعَ إِبْهَامَهُ عَلَى إِصْبَعِهِ الْوُسْطَى وَيُلْقِمُ كَفَّهُ الْيُسْرَى رُكْبَتَهُ
Shahih Muslim 910: … Amir bin Abdullah bin Zubair dari ayahnya katanya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jika duduk berdo’a, beliau letakkan tangan kanannya di atas paha kananya, dan tangan kirinya di atas paha kirinya, dan beliau memberi isyarat dengan jari telunjuknya dan beliau letakkan jempolnya pada jari tengahnya, sementara telapak kirinya menggenggam lututnya.
Dalil 4
سنن النسائي ١٢٥١: … وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَوَصَفَ قَالَ ثُمَّ قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا مُخْتَصَرٌ
Sunan Nasa'i 1251: … Wa'il bin Hujr berkata: "Aku akan melihat cara shalat Rasulullah Shalallah 'Alaihi Wa Sallam. Kemudian aku melihat beliau Shallallallahu'alaihi wasallam shalat." -dia menyifatinya dengan berkata-: 'Beliau duduk di atas kaki kiri serta meletakkan telapak tangan kiri di atas paha dan lutut bagian kiri. Lalu beliau Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam meletakkan siku lengan kanan di atas paha kanan, lalu menggenggam dua jari sehingga menjadi melingkar, kemudian beliau mengangkat telunjuknya, aku melihat beliau mengerak-gerakannya dan berdo’a dengannya." (secara ringkas).
Dalil 5
صحيح مسلم ٩١٢: … عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَعَدَ فِي التَّشَهُّدِ وَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَعَقَدَ ثَلَاثَةً وَخَمْسِينَ وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ
Shahih Muslim 912: … Dari Ibn Umar bahwa apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam duduk tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya dan meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya, dan beliau lingkarkan jarinya sehingga membentuk angka lima puluh tiga, lalu beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk."
Dalil 6
سنن أبي داوود ٨٣٩: …عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ ذَكَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ إِذَا دَعَا وَلَا يُحَرِّكُهَا قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ وَزَادَ عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَامِرٌ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو كَذَلِكَ وَيَتَحَامَلُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى فَخْذِهِ الْيُسْرَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا ابْنُ عَجْلَانَ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ لَا يُجَاوِزُ بَصَرُهُ إِشَارَتَهُ وَحَدِيثُ حَجَّاجٍ أَتَمُّ
Sunan Abu Daud 839: …Dari Abdullah bin Zubair bahwa dia menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi isyarat dengan jarinya ketika berdo'a, tanpa menggerakkannya.Ibnu Juraij berkata: 'Amru bin Dinar menambahkan: katanya: Telah mengabarkan kepadaku 'Amir dari ayahnya bahwa dia pernah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seperti itu juga (menunjuk) dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya."Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Yahya telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Ajlan dari 'Amir bin Abdullah bin Az Zubair dari ayahnya dengan hadits seperti ini, katanya: "Pandangan mata beliau tidak melampaui dari telunjuk beliau." sedangkan hadits Hajjaj lebih sempurna.
Dalil 7
…حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ أَخْبَرَهُ قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ …ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا
…Telah mengabarkan kepadaku bapakku (yaitu Kulaib bin Syihaab) dari Waail bin Hujr -semoga Allah Meridhainya- ia berkata, ‘Aku berkata (yakni di dalam hati): Sungguh! Betul-betul aku akan melihat/memperhatikan bagaimana caranya.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mendirikan shalat?’Berkata Waail, ‘Maka aku melihat beliau …kemudian beliau membuat satu lingkaran (dengan kedua jarinya yaitu jari tengah dan ibu jarinya), kemudian beliau mengangkat jari (telunjuk)nya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya beliau berdo’a dengannya’…
Hadits kelengkapan matan hadits Sunan Nasa'i 1251 juga diriwayatkan oleh :
Ahmad dalam Kitab al Musnad IV/318 dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/444.
al Bukhari dalam Kitab Qurratul ‘Ainain bi Raf’,il Yadain Fish Shalah hal. 27 no. 30 secara ringkas dan telah meriwayatkan dari jalannya al Khathib al Baghdadi dalam Kitab al Fashlu lil Washlil Mudraj I/445.
Abu Dawud dalam Kitab as Sunan I/178 no. 727, Bab Raf’ul yadain fish shalah.
an Nasai dalam Kitab as Sunan I/463 no. 888, Bab Maudhi’ul yamin minasy syimali fish shalah. Begitu pula dalam Kitab Sunanul Kubra I/256 no. 873.
Ibnu Hibban dalam Kitab ash Shahih, sebagaimana tercantum dalam kitab al Ihsan V/170-171 no. 1860.
Ibnu Khuzaimah dalam Kitab as Shahih I/234 no. 480 Bab Wadh’u bathni kaffil yusra rusghi was sa’id jamii’an.
ad Darimi dalam Kitab as Sunan I/230 no. 1357.
al Baihaqi dalam Kitab Sunanul Kubra II/189 no. 2787 Bab Man rawa annahu asyara biha wa lam yuharrik.
ath Thabrani dalam Kitab al Mu’jamul Kabir XXII no. 82 pada hadits Kulaib bin Syihab Abu ‘Ashim al Jarami dari Waa-il bin Hujr.
Ibnu Jarud dalam Kitab al Muntaqa no. 208 Bab Shifat shalatin Nabi Shallallahu ‘alaiHi wa sallam.
Semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari satu jalan, yaitu dari jalan Zaa-idah bin Qudamah, dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya (Abu Ashim), dari Waa-il bin Hujr.
Dalil 1 keterangan “meletakkan tangannya di atas paha kanan dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya yang kiri, menunjuk dengan telunjuknnya” berarti tanpa keterangan mengepalkan tangan.
Dalil 2 keterangan” beliau genggam semua jari jemarinya sambil memberi isyarat” berarti genggam semua jari kecuali telunjuk
Dalil 3 keterangan “beliau memberi isyarat dengan jari telunjuknya dan beliau letakkan jempolnya pada jari tengahnya” berarti telunjuk berisyarat menunjuk dan letakan jempol pada jari tengah (isyarat ini mempunyai makna tidak digerak-gerakan)
Dalil 4 dan ketujuh keterangan “lalu menggenggam dua jari sehingga menjadi melingkar, kemudian beliau mengangkat telunjuknya kemudian menggerak-gerakanya dan berdo’a dengannya .”
Dalil 5 keterangan” beliau lingkarkan jarinya sehingga membentuk angka lima puluh tiga”
Dalil 6 “memberi isyarat dengan jarinya ketika berdo'a, tanpa menggerakkannya”
Dengan keterangan-keterangan ini jari-jari tangan kanan untuk kelingking dan jari manis digenggam sedangkan jari tengah dan ibu jari membentuk lingkaran sementara posisi jari telunjuk berisyarat menunjuk, kemudian tidak menggerak-geraknaya karna dalil ke 5 (beliau memberi isyarat dengan jari telunjuknya) dan ke 6 ( “memberi isyarat dengan jarinya ketika berdo'a, tanpa menggerakkannya”), sementara untuk hadits 7 menggerak-gerakan ternyata didapati banyak jalur sanad lain yang juga dari Wail bin Hujr, namun kebanyakan tidak mencantumkan kata “يُحَرِّكُهَا” (menggerak-gerakkan) sebagaimana dalam riwayat ini yang di dalamnya terdapat seorang rawi bernama Zaidah bin Qudamah. Zaidah bin Qudamah inilah yang menambahkan kata tersebut dalam matan hadits yang ia riwayatkan. Dalam ilmu Musthalah al-Hadits, tambahan dalam suatu matan hadits yang menyalahi matan yang ada dalam jalur sanad lain yang sama dapat dikategorikan sebagai “syadz” (cacat). Jika tidak menyalahi, maka tambahan tersebut diistilahkan dengan ziyadatuts tsiqat (tambahan yang menguatkan). Zaidah, meski sebagai rawi dinilai oleh para ulama kritikus hadits dengan tsiqah tsabat (kuat dan stabil), namun ia memberi tambahan yang bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang lebih kuat dan hadits tidak menggerakan (dengan dalil 6) sebagai penguat dari keterangan ini.
Kesimpulan, posisi telunjuk dalam tasyahud tidak digerak-gerakan.
Mari perhatikan pendapat ulama
Imam Nawawi dalam Syarah Al-Muhazdzdab 3/895 sahabat-sahabat kami berkata “berdasarkan semua pendapat ini, maka disunnahkan menunjuk dengan jari telunjuk kanan, jari telunjuk ditegakan ketika mencapai hamzah pada pada ucapan لا إله إلا الله Asy-Syafi’i menganjurkan menunjuk dengan jari telunjuk, berdasarkan hadist-hadits sebelumnya. Sahabat-sashabat kami meneruskan. “menunjuk dengan jari telunjuk hanya dilakukan sekali.”
Ibnu Qudamah dalam al mugni 2/119 berkata : jari telunjuk yang digunakan berisyarat diangkat ketika orang yang shalat menyebut nama Allah dalam tasyahudnya berdasarakan dalil yang kami riwayatkan, jari telunjuk yang diangkat ini tidak tidak perlu digerak-gerakan, berdasarakan Riwayat Abdullah bin Zubair…
II. Menggerak-gerakan isyarat adalah sunnah
Berikut penjelasannya : Keterangan-keterangan hadit no 1 sampai 7 menunjukkan bahwa dalam tasyahud posisi jari telunjuk berisyarat menunjuk, baik dalil 1, 2, 3, begitu pula dalil no 4 yang sama dengan no7 bahwa Sahabat Wail bin Hujr secara tegas memulai riwayatnya dengan kalimat:
لَأَنْظُرَنَّ اِلَى الصَّلَاةِ رَسُوْلِ اللهِ ص كَيْفَ يُصَلِّي, فَنَظَرْتُ اِلَيْهِ…ثُمَّ رَفَعَ اِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهُا يَدْعُوْ بِهَا …
“Sungguh benar-benar aku ingin melihat bagaimana Rasulullah saw bersembahyang? Lalu aku melihat padanya...kemudian Rasulullah mengangkat telunjuknya dan Aku Melihat beliau menggerak-gerakkan telunjuknya, seraya berdo’a bersama telunjuknya, Demikianlah Wail memulai pembicaraanya. Di dalam perkataannya tampak jelas terlihat keinginannya yang teguh untuk meneliti bagaimana cara Rasulullah melaksanakan salat, dan benar-benar ia telah menyaksikannya, Setelah Wail menerangkan cara Rasulullah salat seperti yang disaksikannya dan akhirnya ia menegaskan cara mengangkat telunjuk, isyarat selama tasyahud dengan menggunakan kalimat yang sharih (jelas) lagi tegas bahwa benar-benar ia melihat dengan mata kepala sendiri,Wail dengan sengaja memperhatikan dan meneliti Rasulullah dalam shalat baik ia nyatakan dengan kata-kata yang meyakinkan, yaitu “aku melihat”. Dijelaskannnya bahwa, selama bacaan tasyahhud yang isinya do’a kepada Allah, beliau terus menerus menggerak-gerakkan telunjuknya, Disitu dinyatakan bahwa permulaan isyarat tersebut dari sejak beliau meletakkan tangan di atas pahanya.
Jadi jelas bahwa telunjuk itu digerak-gerakkan selama bacaan tasyahud dari awal sampai akhir. Hal ini menunjukkan bahwa keterangan Wail bersifat muqayyad, yakni ditegaskan sifat isyaratnya.
Adapun dalil no 4 dan atau no 7 shahih berdasarkan penjelasan sebagai berikut (dirangkum dari tulisan Ust Amin muchtar dari sigabah.com).
A. Tentang sanad yaitu rawi bernama :
1. Ashim bin Kulaib
Beberapa ulama diantaranya
a. Yahya al-Qaththan berkata:
مَاوَجَدْتُ رَجُلاً إِسْمُهُ عَاصِمٌ إِلاَّ وَجَدَتْهُ رَدِيْئَ الْحِفْظِ
“Aku tidak mendapatkan seorangpun yang bernama Ashim, kecuali aku mendapatkannya dalam keadaan buruk hapalan.” (Lihat, Mizanul I’tidal, II:357).
Di dalam kitab Mizanul I’tidal rawi yang bernama Ashim sebanyak 28 orang, serta dalam kitab Tahdzibut Tahdzib sebanyak 32 orang, termasuk Ashim bin Kulaib. Namun bila kita perhatikan dengan seksama, ternyata ada Ashim yang disebut dalam kitab Mizanul I’tidal disebutkan pula dalam kitab Tahdzibut Tahdzib, atau ada Ashim yang tidak disebut dalam kitab al-Mizan tapi disebut dalam kitab at-Tahdzib, demikian pula sebaliknya.Dengan demikian, bila kita melakukan studi banding terhadap kedua kitab kompilasi para periwayat tersebut, maka dapat kita seleksi bahwa rawi bernama Ashim itu berjumlah 43 orang, diantaranya:
Ashim bin Sulaiman. Dia rawi al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majah.
Ashim bin Ali bin Ashim, dia rawi al-Bukhari.
Ashim bin Umar bin Qatadah, dia rawi al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majah.
Ashim bin Kulaib, dia rawi Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majah.
Ashim bin Yusuf, dia rawi al-Bukhari dan Muslim.
Berdasarkan perbandingan di atas, maka tidak semua rawi yang bernama Ashim ternyata buruk hapalan, seperti Ashim rawinya al-Bukhari dan Muslim. Karena itu, sebenarnya Ashim yang mana yang dinilai buruk hapalan menurut Yahya al-Qaththan itu ? kalau kita berpegang kepada perkataan Yahya al-Qaththan secara mutlak, berarti semua rawi bernama Ashim adalah buruk hapalan, termasuk Ashim rawinya al-Bukhari. Namun setelah kami melakukan penelitian terhadap kitab Mizanul I’tidal, kami mendapatkan perkataan Yahya al-Qaththan itu ketika membahas rawi bernama Ashim bin Abun Najud, bukan dalam pembahasan Ashim bin Kulaib. Ashim bin Abun Najud ditempatkan pada jilid II, halaman 357 dengan nomor rawi 4068, sedangkan Ashim bin Kulaib pada jilid II, halaman 356 dengan nomor rawi 4064.Berdasarkan penelitian ini, tampak jelas bahwa Ashim yang dimaksud oleh Yahya al-Qaththan itu bin Abun Najud. Karena itu perkataan Yahya al-Qaththan tersebut tidak dapat dipakai hujjah untuk mendla’ifkan Ashim bin Kulaib. Dan hal ini menunjukkan bahwa Ashim bin Kulaib seorang rawi yang tsiqah (kredibel) sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzibut Tahdzib dan adz-Dzahabi dalam kitab Mizanul I’tidal.
b. Ibnul Madini berkata:
لاَ يُحْتَجُّ بِمَا انْفَرَدَ
“Ashim tidak dapat dipakai hujjah jika menyendiri dalam meriwayatkan hadis.” (Lihat, Mizanul I’tidal, II:357 ).
Tentang celaan Ibnul Madini terhadap Ashim bin Kulaib tidak dapat diterima, karena tidak menerangkan sebab atau alasan jarhnya. Sedangkan dalam kaidah jarah-ta’dil (kritik rawi) yang telah disepakati para ulama disebutkan bahwa jarh (celaan) dapat diterima kalau diterangkan sebab jarh (cacat)nya.
Dengan demikian Aashim bin Kulaib adalah tsiqah
2. Zaaidah bin Qudamah
a. al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahzib no. 1046 berkata, “(Zaa-idah bin Qudamah ini) tsiqatun tsabtun (yakni seorang perawi yang tsiqah lagi tsabit/kuat)”
b. Imam Ibnu Hibban berkata dalam Kitab ats Tsiqat VI/239-240, “Ia (Zaa-idah bin Qudamah) termasuk dari imam yang mutqin,
Ia tidak menganggap suatu pendengaran, kecuali setelah mengulanginya sebanyak tiga kali dan ia tidak memuji seorang pun kecuali mereka yang telah disaksikan keadilannya oleh seseorang (imam) dari Ahlus (Sunnah)”
Dengan demikian Zaa-idah bin Qudamah tsiqah lagi tsabit
Pendapat para ulama tentang haditsno 4 ini
Imam An-Nawawi Khulasoh Al-Ahkam 1/428 berkata : sanadnaya shahih.
Syaikh Al-Albani dalam Sunan Al-Nasai Bi Ahkam 2/126 & 3/37 Al Albani berkata : shahih
Husain salim asad dalam Tahqiq Sunan Ad-Darimi 1/362.berkata : sanadnya shahih.
Syu’aib Al-Arna’ut dalam Tahqiq Shahih Ibnu Hibban 5/170.berkata : sanadnya kuat.
Al-a’zhami dalam Tahqiq Shahih Ibnu Khuzaimah 1/354 berkata : sanadnya shahih.
Ibnul Qoyim Hadyur Rosul hal. 71 berkata : kemudian Nabi saw mengangkat jarinya beliau berdo’a dengannya dan menggerak-gerakkannya, demikianlah menurut hadits Wail bin Hujr dalam satu hadits yang shahih yang diceritakan Abu Hatim
Dari keterangan yang telah disebutkan menunjukkan bahwa sanad hadits menggerak-gerakan telunjuk isyarat pada tasyahud adalah shahih, haditsini menjadi taqyid (pembatas), yaitu telunjuk itu digerak-gerakkan dari pada hadits no 1, 2, 3, yang menerangkan bahwa adanya isyarat menunjuk oleh telunjuk pada tasyahud.
Kesimpulan MENGGERAK-GERAKAN ISYARAT TELUNJUK adalah posisi telunjuk digerak-gerakan beriringan dengan do’a tasyahud.
Adapun mengenai hadits tidak menggerakan isyarat telunjuk no 6 riwayat Abu Daud, An Nasai dan Al Baihaqi berikut penjelasannya :
سنن أبي داوود ٨٣٩: …عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ ذَكَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ إِذَا دَعَا وَلَا يُحَرِّكُهَا قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ وَزَادَ عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَامِرٌ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو كَذَلِكَ وَيَتَحَامَلُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى فَخْذِهِ الْيُسْرَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا ابْنُ عَجْلَانَ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ لَا يُجَاوِزُ بَصَرُهُ إِشَارَتَهُ وَحَدِيثُ حَجَّاجٍ أَتَمُّ
Sunan Abu Daud 839: …Dari 'Amir bin Abdullah dari Abdullah bin Zubair bahwa dia menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberi isyarat dengan jarinya ketika berdo'a, tanpa menggerakkannya. Ibnu Juraij berkata: 'Amru bin Dinar menambahkan: katanya: Telah mengabarkan kepadaku 'Amir dari ayahnya bahwa dia pernah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seperti itu juga (menunjuk) dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya."
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Yahya telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Ajlan dari 'Amir bin Abdullah bin Az Zubair dari ayahnya dengan hadits seperti ini, katanya: "Pandangan mata beliau tidak melampaui dari telunjuk beliau." sedangkan hadits Hajjaj lebih sempurna.
سنن النسائي ١٢٥٣: أَخْبَرَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْوَزَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي زِيَادٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ إِذَا دَعَا وَلَا يُحَرِّكُهَا قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ وَزَادَ عَمْرٌو قَالَ أَخْبَرَنِي عَامِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو كَذَلِكَ وَيَتَحَامَلُ بِيَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى
kepada kami Ayyub bin Muhammad Al Wazzan dia berkata: telah menceritakan kepada kami Hajjaj, berkata Ibnu Juraij: telah mengabarkan kepadaku Ziyad dari Muhammad bin 'Ajlan dari 'Amir bin 'Abdullah bin Az Zubair dari 'Abdullah bin Az Zubair bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberi isyarat dengan telunjuknya ketika berdo'a dan tidak menggerakkannya." Ibnu Juraij mengatakan: dan 'Amru sedikit menambahkan, katanya: telah mengabarkan kepadaku 'Amir bin Abdullah bin Az Zubair dari Ayahnya bahwa ia pernah melihat Nabi.
Demikian dengan matan yang sama haditsini diriwayatkan oleh Imam Baihaqi 2/131-132 berikut sanadnya :
أخبرنا حجاج بن محمد قال قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن عبد الله أنه ذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا لا يحركها
Keterangan dan Takhrij Hadits :
Hajjaj disini ialah Hajjaj bin Muhammad sebagaimana yang tercantum di sanad Baihaqi yang lengkapnya : Hajjaj bin Muhammad al Mishishi. ( المصيصي حجاج بن محمد )
Ziyad disini adalah Ziyad bin Sa’ad bin Abdurrahman (زياد بن سعد بن عبد الرحمن ), seorang rawi yang tsiqat dan tsabit ( Taqribut Tahzhib 1/268 & Tahdzibut Tahdzib 3/369-370)
Perkataan Ibnu Juraij ” Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya dan seterusnya.” Menunjukkan bahwa Ibnu Juraij terima dari dua rawi : Pertama, Ziyad dengan lafadz tegas “telah mengkhabarkan kepadaku” (أخبرني ). Coba lihat riwayat Imam Nasa’i dan Imam Baihaqi di atas. Kedua, Amr bin Dinar dengan lafadz tadlisnya ” ia berkata” (قال ). Coba lihat riwayat Imam Abu Dawud di atas.
Demikian juga ada dua orang rawi yang terima dari Amir bin Abdullah yaitu Muhammad bin Ajlan dan Amr bin Dinar.
Jelasnya, hadits ini diriwayatkan dari Amir bin Abdillah dari bapaknya Abdullah bin Zubair dengan dua jalan.
Jalan pertama :
• Hajjaj
• Ibnu Juraij
• Ziyad
• Muhammad bin Ajlan
• Amir bin Abdillah
• Abdullah bin Zubair
Dengan Lafadz : أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها ” Bahwasannya nya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdo’a dan ia tidak menggerak-gerakkannya.”
Pada jalan ini terdapat dua illat/penyakit, yaitu : Pertama, Hajjaj bin Muhammad, meskipun ia seorang rawi yang tsiqat dan tsabit, tetapi di akhir umurnya ia telah ikhtilat (bercampur atau telah berubah hafalannya). Dan dalam keadaan demikian ia masih saja menceritakan hadits. Sedangkan dalam riwayat ini tidak diketahui atau diragukan apakah ia meriwayatkan sebelum ikhtilat atau sesudahnya ? terhadap riwayat yang demikian hukumnya didiamkan atau dianggap lemah selama belum ada keterangan yang tegas atau ada rawi lain yang tsiqat yang menyetujui riwayatnya. Kenyataannya riwayat Hajjaj bin Muhammad telah menyendiri sehingga kalau kita periksa riwayat-riwayat dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair tidak kita dapati tambahan لا يحركها kecuali dari jalan Hajjaj ini ( Baca Tahdzibut Tahdzib 2/205-206 dan Taqribut Tahzhib 1/154). Kedua, Muhammad bin Ajlan, rawi ini telah dianggap tsiqat oleh imam-imam : Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, al Ijli, As Saji, Ibnu Saad dan Ibnu Hibban dan lain-lain. Rawi yang dipakai oleh imam-imam : Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dan lain-lain. Adapun Imam Bukhari tidak memakainya dikitab Shahihnya sebagai ‘dasar atau hujjah’ kecuali dipakai di riwayat-riwayat muallaq sebagaimana telah diterangkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar di Muqaddimah Faathul Baari hal 458.
Muhammad bin Ajlan ini meskipun ia seorang rawi tsiqat, tetapi ia juga seorang mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh Ibnu Hibban, Ibnu Abi Hatim dan lain-lain. Al Hafidz Ibnu Hajar dikitabnya Thabaqaatul Mudallisin hal 69 telah memasukkannya di martabat ketiga dari rawi-rawi mudallis, yaitu tentang seorang mudallis yang sering melakukan tadlis dan tidak dijadikan hujjah hadits-hadits mereka oleh para imam kecuali mereka menegaskan didalam hadits mereka yang menunjukkan mereka mendengar. Sedangkan dalam hadits di atas Muhammad bin Ajlan telah meriwayatkan dengan lafadz tadlisnya yaitu ia ber-‘an’anah (memakai lafadz عن), dengan demikian riwayatnya tidak dapat diterima.
Bukankah di Musnad Imam Ahmad, Muhammad bin Ajlan telah meriwayatkan dari Amir bin Abdillah dengan lafadz yang tegas yaitu : telah menceritakan kepadaku (حدثني) yang menunjukkan ia betul telah mendengar dan sekaligus hilanglah tadlisnya ?
“Benar” untuk lebih jelasnya silahkan lihat hadits berikut :
عن يحيى بن سعيد عن بن عجلان قال حدثني عامر بن عبد الله بن الزبير عن أبيه قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جلس في التشهد وضع يده اليمنى على فخذه اليمنى ويده اليسرى على فخذه اليسرى وأشار بالسبابة ولم يجاوز بصره إشارته
Dari Yahya bin Said dari Ibnu Ajlan, ia berkata, ” Telah menceritakan kepadaku Amir bin Abdillah bin Zubair, dari bapaknya (Abdullah bin Zubair), ia berkata , ‘Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam biasa apabila duduk tasyahud ia letakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan tangan kirinya di atas paha kirinya sambil ia berisyarat dengan jari telunjuknya, sedangkan pandangannya tidak melampaui isyaratnya. (Dikeluarkan oleh Ahmad 4/3, Abu Dawud 990, Nasa’i 3/33 dan Ibnu Khuzaimah 718 dan ini adalah lafadz Ahmad.)
Adakah di hadits di atas disebut tambahan لا يحركها ? Tidak ada ! maka sebetulnya hadits di atas menjadi hujjah yang memperkuat bahwa lafadz لا يحركها adalah syadz karena menyalahi rawi-rawi yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ajlan sendiri seperti : Yahya bin Said (hadits di atas), Abu Khalid al Ahmar, Laits (Muslim 2/90 dan Ibnu Hibban 1934) dan lain-lain. Dan menunjukkan Bahwasannya nya lafadz لا يحركها tidak datang kecuali dari jalan Hajjaj dan Ibnu Juraij sebagai illat yang lain bagi hadits ini.
Jalan Kedua :
• Hajjaj – حجاج
• Ibnu Juraij – بن جريج
• Amr bin Dinar – عمرو بن دينار
• Amir bin Abdillah – عامر بن عبد الله
• Abdullah bin Zubair – عبد الله بن الزبير
Dengan lafadz, أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى الله عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى “Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdo’a seperti itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ ”
Pada jalan ini pun terdapat dua illat, yaitu Hajjaj bin Muhammad sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Kedua, tadlisnya Ibnu Juraij dengan lafadz قال . Sudah maklum bahwsanya Ibnu Juraij adalah seorang rawi yang tsiqat akan tetapi mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh banyak imam diantaranya : Ahmad bin Hambal, Nasa’i, Daruquthni, Ibnu Hibban dan lain-lain.Yahya bin Said berkata tentang Ibnu Juraij : Jika Ibnu Juraij didalam riwayatnya menggunakan lafadz حدثني maknanya ia telah mendengar hadits itu secara langsung dari Syaikh/gurunya. Dan apabila ia menggunakan lafadz أخبرني menunjukkan ia yang membaca dihadapan gurunya. Kalau ia meriwayatkan dengan lafadz قال maka disamakan dengan angin yakni tidak diterima riwayatnya
Kesimpulan : Dengan demikian hadits Abdullah bin Zubair dengan tambahan lafadz لا يحركها adalah hadits dla’if.
a. Hadits Ibnu Umar
-10863عَنِ بن عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى على رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى على رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَيُشِيرُ بِإِصْبُعِهِ وَلا يُحَرِّكُهَا وَيَقُولُ إِنَّهَا مَذَبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam mengerjakannya“. ( Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448)
Keterangan dan Takhrij Hadits :
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.
Pertama, dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah
Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththa’ 1/88, Shahih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shahih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.
‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua, dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab yaitu enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan), dan dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shahih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.
Kesimpulan hadits ini adalah hadits Munkar.
Dengan demikian berisyarat dalam tasyahud memiliki dalil yang tsabat (kuat) dan tidak menggerakan isyarat telunjuk dengan kedua dalil ini bersandar pada dalil yang dla’if, sementara itu berisyarat dengan tambahan menggerak-gerakan isyarat bertumpu pada dalil yang sama-sama kuat.
Kesimpulan dalam tasyahud disunnahkan berisyarat sekaligus menggerak-gerakanya.
Mari perhatikan pendapat ulama
Imam Nawawi dalam Syarah Al-Muhazdazdab berkata : pendapat ketiga : dianjurkan digerak-gerakan. Pendapat ini diriwayatkan oleh Syaikh Abu Hamid, Al Bandaniji, al Qadhi Abu Ath Thoyib dan lainya, pendapat ini disandarkan pada hadits Wail…
III. Menggerak-gerakan telunjuk atau tidak menggerakan telunjuk adalah sunnah
Syaikh Al-Albany dalam Tamamul Minnah hal 286, … berkata: Benar, tidak disebutkan penggerakkan (telunJuk) Juga tidak sebaliknya. Kedua-duanya mungkin lni yang benar Ailah mincintai keiuiuran. Maka untuk menentukan salah satunya dibutuhkan dalil Ini bersama kami, seperti telah kami sampaikan Benar, seandainya dengan jelas dinyatakan bahwa Ibnu umar tidak menggerakkan jarinya, tentu ini akan menentukan keunggulan pendapat saudara kita dari Yaman dan ini tidak mungkin…
IV. Pendapat kami
Setelah menelaah dalil dan keterangan-keterangan yang telah disampaikan kami berpendapat bahwa berisyarat dengan mengerak-gerakan telunjuk sambil berdo’a berdasarkan dalil yang tsabat (kuat), dan merupakan salah satu sunnah dalam shalat.