Kaifiyat Bangkit Dari Sujud Untuk Berdiri

A. Pengertian Bangkit Dari Sujud Untuk Berdiri

Bangkit dari sujud untuk berdiri adalah bangkit dari sujud kedua untuk melanjutkan rakaat berikutnya

B. Kaifiyat Bangkit Dari Sujud Untuk Berdiri

“BANGKITLAH SAMBIL BERTAKBIR KEMUDIAN LANGSUNG BERDIRI, DAHULUKAN TANGAN SEBELUM LUTUT, DENGAN KEDUA KAKI BERTUMPU PADA UJUNG TELAPAK KAKI DAN POSISI KEDUA TANGAN MENEKAN PADA KEDUA PAHA, KEMUDIAN BERDIRI TEGAK, DAN TANGAN KANAN MEMEGANG PUNGGUNG TANGAN KIRI (KECUALI SETELAH DUA RAKAAT ATAU TASYAHUD) SIMPAN KEDUANYA DI ATAS DADA DAN POSISI MATA MELIHAT KE TEMPAT SUJUD, SETELAH SEMUA TENANG (THUMA’NINAH) LANJUTKAN BACAAN RAKAAT BERIKUTNYA”.

Rangkaiannya adalah sebagai berikut

  • 1) BANGKITLAH SAMBIL BERTAKBIR

  • 2) LANGSUNG BERDIRI

  • 3) DAHULUKAN TANGAN SEBELUM LUTUT

  • 4) KEDUA KAKI BERTUMPU PADA UJUNG TELAPAK KAKI

  • 5) KEDUA TANGAN MENEKAN PADA PAHA

  • 6) KEMUDIAN BERDIRI TEGAK

  • 7) POSISI TANGAN KANAN MEMEGANG PUNGGUNG TANGAN KIRI SIMPAN KEDUANYA DI ATAS DADA (KECUALI SETELAH DUA RAKAAT ATAU TASYAHUD AWAL)

  • 8) POSISI MATA MELIHAT KE TEMPAT SUJUD

  • 9) POSISI KEDUA KAKI TIDAK DIRAPATKAN DAN RENGGANG SEUKURAN KEDUA BAHU BAGIAN LUAR

  • 10)SETELAH SEMUA TENANG (THUMA’NINAH)

  • 11)LANJUTKAN BACAAN

DALIL-DALIL DAN KETERANGAN

1) BANGKITLAH SAMBIL BERTAKBIR

Dalil 1

أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ وَأَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ

Shahih Bukhari 761 … Telah mengabarkan kepadaku Abu Bakar bin 'Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam dan Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Abu Hurairah…. Kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya dari sujud…

Dalil 1 kalimat Kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya dari sujud menunjukkan adanya keterangan bahwa kaifiyat bangkit dari sujud itu sambil bertakbir

BANGKITLAH SAMBIL BERTAKBIR adalah bangkit dari sujud untuk berdiri dengan bertakbir

2) LANGSUNG BERDIRI

Dalil 1.

أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ وَأَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ وَغَيْرِهَا فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ فَيُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ ثُمَّ يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ يَقُولُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ قَبْلَ أَنْ يَسْجُدَ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَسْجُدُ

Shahih Bukhari 761 … Telah mengabarkan kepadaku Abu Bakar bin 'Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam dan Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Abu Hurairah bertakbir dalam setiap shalat yang wajib dan yang lainnya baik pada bulan Ramadan maupun di luar Ramadan. Dia bertakbir ketika berdiri dan ketika akan ruku’, kemudian dia mengucapkan: 'SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Semoga Allah mendengar pujian orang yang memuji-Nya) ', kemudian sebelum sujud dia membaca: 'RABBANAA WA LAKAL HAMDU (Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji) ', lalu mengucapkan: 'Allahu Akbar' ketika akan turun sujud. Kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya dari sujud

Dalil 2

3989- حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ، عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ أَبِي عَيَّاشٍ قَالَ: أَدْرَكْتُ غَيْرَ وَاحِدٍ، مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، «فَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَالثَّالِثَةِ قَامَ كَمَا هُوَ وَلَمْ يَجْلِسْ»

Mushanaf Ibnu Abi Syaibah, Juz 1: 347: … Telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al Ahmar, dari Muhamad Bin Ajlan, dari nu'man bin abi 'ayyas ia berkata: Aku mendapati bukan hanya seorang sahabat nabi Shalallahu alaihi wa sallam mereka bila mengangkat kepalanya dari sujud pada rakaat pertama dan ketiga terbiasa untuk berdiri sebagaimana Rasulullah Saw dan tidak duduk terlebih dahulu (duduk istirahah)

Dalil 3

Atsar Abdurahman bin Yazid

2966 - عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ: «رَمَقْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ فِي الصَّلَاةِ فَرَأَيْتُهُ يَنْهَضُ وَلَا يَجْلِسُ» قَالَ: «يَنْهَضُ عَلَى صُدُورِ قَدَمَيْهِ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى وَالثَّالِثَةِ»

Mushannaf Abdurrazak Ash Shan’ani, Juz 2:178… Dari Ibn Uyainah, Dari Ibn Abi Laila ia berkata: aku mendengar Abdurrahman bin Yazid berkata: aku pernah mengikuti Abdullah bin Mas’ud pada shalat maka aku melihatnya beliau bangkit dan tidak duduk, ia berkata : beliau bangkit dari duduk dengan bertopang pada kedua kaki pada rakaat awal dan rakaat ketiga.

Dalil 1 kalimat Kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya dari sujud menunjukkan kaifiyat bangkit dari sujud untuk berdiri dengan langsung berdiri sambil bertakbir

Dalil 2 keterangan dari sahabat Nu`man bin Ayyas Aku mendapati bukan hanya seorang sahabat nabi Shalallahu alaihi wa sallam mereka bila mengangkat kepalanya dari sujud pada rakaat pertama dan ketiga terbiasa untuk berdiri sebagaimana Rasulullah Saw dan tidak duduk terlebih dahulu (duduk istirahah) menunjukkan bahwa Nabi SAW langsung bangkit berdiri ketika bangkit dari sujud, dengan tidak duduk istirahat

Dalil 3 keteragan sahabat melihat sahabat lainya aku mendengar Abdurrahman bin Yazid berkata: aku pernah mengikuti Abdullah bin Mas’ud pada shalat maka aku melihatnya beliau bangkit dan tidak duduk menunjukkan bahwa bangkit dari bersujud untuk berdiri dengan langsung bangkit

Kesimpulan langsung berdiri adalah kaifiyat bangkit dari sujud untuk berdiri dengan langsung berdiri tanpa melakukan duduk istirahat.

3) DAHULUKAN TANGAN SEBELUM LUTUT

سنن الترمذي ٢٤٨:عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Sunan Tirmidzi 248: Dari Wa'il bin Hujr ia berkata: "Aku melihat Rasulullah apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila bangkit beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya."

Hadits Wail ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi II:56; Al-Khatib Al-Bagdadi, Maudhihu Auhamil jam’I Wat Tafriqi II:433; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah I:318; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni I:345; Ath-Tabrani, Al-Mu’jamul kabir XII:39-40; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi I:303; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah I:477-478; Ibnu Hibban , Al-Ihsan Bi tartibi Shahibni Hibban III:190; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud I:193; An Nasai, Sunan An-Nasai II:553, II:584; As-Sunanul Kubra I:229, I:247; Al-Baihaqi, As-Sunanus Sagir I:136; As-Sunanul Kubra II:98.

Mengenai Haditst ini berikut analisis dan kesimpulan dirangkum dari tulisan Ust Amin Muchtar, (Dewan Hisbah) dalam sigabah.com

Haditst ini Diriwayatkan oleh banyak pencatat Hadits, namun semua jalur periwayatannya melalui seorang rawi bernama Syarik bin Abdullah an-Nakha’i

Siapa Syarik bin Abdullah an-Nakha’I, ( jarh wa ta’dil) berikut penjelasan beberapa ulama

a. Abu Zur’ah

قَالَ عَبْدُ الرَّحْمنِ سَأَلْتُ أَبَا زُرْعَةَ عَنْ شَرِيْكٍ يُحْتَجُّ بِحَدِيْثِهِ قَالَ كَانَ كَثِيْرَ الْحَدِيْثِ صَاحِبَ وَهْمٍ يَغْلَطُ أَحْيَانًا

Al-Jarh wat Ta’dil, IV:366: Abdurrahman berkata, “Aku bertanya kepada Abu Zur’ah tentang Syarik, apakah haditsnya dapat dipakai hujjah?” Beliau menjawab, “Dia banyak haditsnya, shahiba wahm (orang yang ragu-ragu), kadang-kadang keliru.”

Imam al-Mizzi, mengutip pernyataan Abu Zur’ah itu dengan redaksi:

كَانَ كَثِيْرَ الْخَطَأِ صَاحِبَ وَهْمٍ وَهُوَ يَغْلَطُ أَحْيَانًا

Artinya : “Dia banyak salah, shahiba wahm (orang yang ragu-ragu), kadang-kadang keliru.” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XII:471)

b. Abu Hatim

وَقَالَ أَبُوْ حَاتِمٍ لاَ يَقُوْمُ مَقَامَ الْحُجَّةِ فِي حَدِيْثِهِ بَعْضُ الغَلَطِ

Artinya : Abu Hatim berkata, “Dia tidak dapat mencapai derajat hujjah, pada Haditsnya terdapat sedikit kekeliruan.” (Lihat, Al-Mughni fid Dhu’afa, I:297). Dalam kitab ad-Dhu’afa wal Matrukin karya Ibnul Jauzi (II:39) dengan redaksi لَهُ أَغَالِيْطُ

c. Al-Juzajani

قَالَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ يَعْقُوْبَ الْجُوْزَجَانِي سَيِّءُ الْحِفْظِ مُضْطَرِّبُ الْحَدِيْثِ مَائِلٌ

Artinya : Ibrahim bin Ya’qub al-Juzajani berkata, “Dia buruk hapalan, mudhtaribul hadits, maa’il.” (lihat, Tahdzibul Kamal, XII:471; Mizanul I’tidal, III:373)

d. Ya’qub bin Syaibah

وَقَالَ يَعْقُوْبُ بْنُ شَيْبَةَ شَرِيْكٌ صَدُوْقٌ ثِقَةٌ سَيِّءُ الْحِفْظِ جِدًّا

Tahdzibul Kamal, XII:471: Ya’qub bin Syaibah berkata, “Syarik Shaduq, tsiqat, sangat buruk hapalan.”

e. Syaikh Nashiruddin Al-Albani

Dari berbagai penilaian di atas Syaikh Nashiruddin Al-Albani mengambil kesimpulan

وَهُوَ سَيِّئُ الْحِفْظِ عِنْدَ جُمْهُوْرِ الأَئِمَّةِ وَبَعْضُهُمْ صَرَّحَ بِأَنَّهُ كَانَ قَدِ اخْتَلَطَ, فَلذَالِكَ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ إِذَا تَفَرَّدَ

Irwaul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaris Sabil, II:76: “Dia buruk hapalan menurut jumhur imam, dan sebagian mereka menjelaskan bahwa ia sungguh mukhtalith (berubah hapalannya). Karena itu ia tidak dapat dipakai hujjah bila meriwayatkan hadits sendirian.”

Analisis Kami

Pertama, penilaian Sayyiul Hifzhi, katsiral khata, yaghlathu, dan mudhtharribul hadits terhadap Syarik dari segi dhabt (hafalan)-nya, bukan adalah-nya (akidah dan akhlak). Pentajrihan (kritikan, celaan) terhadap seorang rawi yang demikian dapat kita terima selama rawi itu tafarrud (sendirian dalam meriwayatkan hadits) atau mukhalafah (bertentangan) dengan rawi yang tsiqat (kuat). Namun bila rawi itu tidak tafarrud, artinya ia meriwayatkan hadits seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi lain yang tsiqah (kredibel) selain dia, maka haditsnya dapat diterima. Dan ini yang menjadi tolak ukur penilaian Syaikh al-Albani terhadap riwayat Syarik.

Dengan demikian, penilaian para ulama di atas terhadap Syarik tidak berarti menolak seluruh hadits yang diriwayatkannya, namun bergantung atas tafarrud (menyendiri) atau tidaknya Syarik dalam meriwayatkan hadits. Sepanjang penelitian kami, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud tidak tafarrud, karena pada riwayat Al-Haitsami Hadits tersebut diriwayatkan pula melalui rawi bernama Israil bin Yunus. (Lihat, Mawaridhud Dham-an:132 No. 487). Israil bin Yunus termasuk rijal (periwayat) yang digunakan Al-Bukhari dan Muslim. (lihat, Tahdzibul Kamal, II:515-524)

Karena itu, yang menjadi sandaran utama dalam masalah ini adalah riwayat Israil (aslun, pokok), sedangkan riwayat Syarik sebagai pelengkap keterangan (far’un, cabang)

Kedua, Syarik bin Abdullah an-Nakha’i, lahir pada tahun 95 H/713 M, dan wafat pada tahun 177 H/793. di Kuffah pada usia 82 tahun. Syarik menerima hadits dari 101 guru dan memiliki murid sebanyak 95 orang, dan yang paling banyak menerima hadits darinya adalah Ishaq bin Yusuf al-Azraq, yaitu sebanyak 9.000 Hadits. Hal ini menunjukkan bahwa Syarik termasuk salah seorang hafizh atau kuat hapalan. Karena itu Yahya Bin Main mengatakan, “tsiqatun”. Abu Zur’ah berkata kepada Yahya al-Hammani, “Cukup bagimu ilmu Syarik”. Ad-Dzahabi menyatakan, “Kana Syarik min au’iyyatil ‘ilmi (Syarik termasuk diantara perbendaharaan ilmu).” Abu Ahmad bin ‘Adi mengatakan, “Syarik memiliki Hadits yang banyak.” (Selengkapnya dapat dibaca pada Tahdzibul Kamal, XII:463, 472, 477; Mizanul I’Tidal, III:376; Tarikh Bagdad IX:280-282; Ma’rifatus Tsiqat, I:453; Rijal Muslim I:309-310)

Pada tahun 155 H/771 M, ketika berusia 60 tahun, ia menjadi hakim di Wasith. Satu tahun kemudian (tahun 156 H/771 M) menjadi hakim di Kuffah (Tahdzibut Tahdzib IV:336). Ketika menjadi qadhi di Kuffah inilah Syarik mukhtalith (hapalannya berubah) (Lihat, Taqribut Tahdzib I:243). Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Shalih bin Muhammad bahwa Syarik itu Shaduq dan setelah menjadi qadi di Kuffah idhthirab (rusak) hapalannya (Lihat, Tarikh Bagdad IX:285). Demikian pula menurut Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar. Ibnu Hibban menyatakan:

كَانَ فِي آخِرِ عُمْرِهِ يُخْطِىءُ فِيْمَا يَرْوِيْ تَغَيَّرَ عَلَيْهِ حِفْظُهُ

al-Kawakibun Nirat, I:47: “Di akhir usianya ia keliru dalam periwayatan, hapalannya berubah.”

Ibnu Hajar menyatakan:

صَدُوْقٌ يُخْطِئُ كَثِيْرًا تَغَيَّرَ حِفْظُهُ مُنْذُ وُلِّيَ القضاءَ بِالْكُوْفَةِ

Taqribut Tahdzib, I:243: “Shaduq, banyak salah, berubah hapalannya sejak diangkat jadi qadi di Kuffah.”

Keadaan ini menyebabkan Syarik melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan sebagian Haditsnya ketika di Kuffah. Menurut Ibrahim bin Sa’id al-Jauhari, “Syarik keliru pada 400 Hadits.” (Lihat, Mizanul I’tidal, III:373; Al-Kamil fi Dhu’afair Rijal, IV:8).

Dengan demikian, apabila ada jarah (kritikan) dari sebagian ulama terhadap Syarik, maka hal itu dapat dikategorikan menjadi dua macam:

Berkaitan dengan rusaknya dhabth (hapalan) Syarik setelah menjadi qadhi (hakim) di kuffah atau setelah tahun 155 H, ketika ia berusia 60 tahun, atau 22 tahun sebelum wafatnya.

Berkaitan dengan Hadits tertentu diantara yang 400 Hadits itu.

Karena itu, jarh (celaan) para ulama tersebut tidak serta merta menolak seluruh Hadits yang diriwayatkan oleh Syarik, namun ditujukan terhadap sebagian Hadits yang tercakup oleh dua kategori di atas. Apabila jarh tersebut tidak didudukan seperti ini, maka akan timbul pertanyaan yang akan menolak keabsahan jarh tersebut, sebagai berikut:

Pertama: penilaian Abu Zur’ah. Abu Zur’ah (200-264 H) lahir tahun 200 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Abu Zur’ah lahir 23 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan, dari mana Abu Zur’ah tahu bahwa Syarik itu katsirul khatha, shahibu wahmin, yaghlathu ahyanan? Padahal ia tidak sezaman dengan Syarik.

Kedua: penilaian Abu Hatim. Abu Hatim (195-277 H) lahir tahun 195 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Abu Hatim lahir 18 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan: Dari mana Abu Hatim tahu bahwa Syarik itu lahu aghalith? Padahal ia tidak sezaman dengan Syarik.

Ketiga: penilaian Ibrahim bin Ya’qub. Ibrahim bin Ya’qub al-Juzajani (w. 259 H) sezaman dengan Imam Ahmad (164-241 H). Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Seandainya Ibrahim lahir pada tahun 170 H, berarti Syarik wafat ketika ia berusia 7 tahun. Pertanyaan, dari mana al-Juzajani tahu bahwa Syarik itu sayyiul hifzhi, mudhtarribul hadits? Padahal ia masih kecil ketika Syarik meninggal.

Keempat: penilaian Ya’qub bin Syaibah. Ya’qub bin Syaibah (182- 262 H) lahir tahun 182 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Ya’qub lahir 5 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan, dari mana Ya’qub tahu bahwa Syarik itu sayyiul hifzhi? Padahal ia tdk sezaman dengan Syarik. Dan sebenarnya redaksi yang diungkapkan oleh Ya’qub bin Syaibah itu bukan jarh tetapi ta’dil (pujian) martabat VI, yakni shalihun lil i’tibar. Kalimat ini menunjukkan bahwa Haditsnya tidak mutlak ditolak tetapi layak dicari penguatnya. (lihat, Ushulul Hadits, 1989:277; Manhajun Naqd, 1985:110]

Di samping itu, jarh (celaan) para ulama di atas jelas-jelas akan bertentangan dengan ta’dil (penilaian baik) para ulama yang sezaman dengan Syarik dan lebih mengetahui keadaannya. Misalnya Ibnu Ma’in (158-233 H) menyatakan tsiqat (al-Kawakibun Nirat, I:47); Ibnul Mubarak (118-181 H) menyatakan bahwa Syarik lebih tahu terhadap Hadits orang-orang Kuffah dari pada Sufyan at-Tsauri (Al-Mughni fid Dhu’afa, I:297). Imam Ahmad (164-241 H) menyatakan bahwa syarik itu

كَانَ عَاقِلاً صَدُوْقًا مُحَدِّثًا وَكَانَ شَدِيْدًا عَلَى أَهْلِ الرَّيْبِ وَالْبِدَعِ

Artinya : “Dia orang yang kuat hapalan, jujur, ahli Hadits, dan sangat tegas terhadap ahli raib (tdk teguh pendirian) dan ahli bid’ah.” (Lihat, Mizanul I’tidal, III:375)

Bahkan Yahya bin Sa’id al-Qaththan (120-198 H) menyatakan, “Tsiqatun tsiqatun” (Tahdzibul Kamal, XII:468) Kalimat Tsiqatun tsiqatun menunjukkan bahwa rawi yang dinilai memiliki kredibilitas tingkat tinggi.

Namun apabila jarh (celaan) itu didudukan berdasarkan dua kategori di atas, maka jarh mereka sebenarnya tidak bertentangan dengan ta’dil (pujian) para ulama yang sezaman dengan Syarik, yaitu

Pertama, Ta’dil (pujian) ditujukan terhadap Syarik sebelum menjadi hakim di Kuffah atau sebelum tahun 155 H. Sedangkan jarh (celaan) ditujukan terhadap Syarik setelah berubah hapalannya atau setelah menjadi hakim di Kuffah atau setelah tahun 155 H.

Kedua, Ta’dil ditujukan terhadap periwayatan 8.600 Hadits. Sedangkan jarh ditujukan terhadap periwayatan 400 Hadits.

Sedangkan khusus untuk jarh (celaan) al-Juzajani terhadap Syarik, kita perlu memperhatikan komentar para ahli Hadits, antara lain al-Kautsari, Ibnu Hajar, ad-Dzahabi, dan as-Sakhawi, tentang jarh al-Juzajani terhadap orang-orang Kuffah. Hal ini perlu disampaikan mengingat Syarik adalah orang Kuffah. Mereka menyatakan bahwa jarh al-Juzajani terhadap orang Kuffah tidak perlu diterima, karena antara dia dan orang-orang Kuffah terjadi permusuhan disebabkan persoalan akidah (lihat, Ta’nits al-Khatib:116; Tahdzibut Tahdzib I:93; Mizanul I’tidal, I:76; Syarah al-Alfiyah:44; ar-Raf’u wat Takmil fil Jarhi wat Ta’dil:308 dan 310) Dalam ilmu Hadits, jarh seperti ini disebut jarh aqran, yakni mendaifkan orang lain karena faktor non ilmiah, antara lain sentimen atau permusuhan.

Dengan demikian, pada asalnya periwayatan Syarik itu sahih, dan untuk mengetahui apakah suatu Hadits yang diriwayatkan oleh Syarik itu:

a) Sebelum menjadi qadhi di Kuffah (sebelum tahun 155 H) atau sesudahnya (setelah tahun 155 H)?

b) Dikelompokkan pada jumlah 8.600 atau 400?

c) Sebelum mukhtalith (berubah hapalan) atau sesudahnya?

Maka dapat digunakan salah satu diantara tiga kriteria sebagai tolak ukur:

 Untuk mengetahui point (a) dapat dilihat dari aspek tarikhur riwayat, yaitu kapan hadits itu diterima dan diriwayatkan olehnya

 Untuk mengetahui point (b) harus dilihat dari aspek takhrij, yaitu ditelusuri seluruh riwayat Syarik dalam berbagai kitab-kitab Hadits

 Untuk mengetahui point (c) dapat dilihat dari 2 aspek:

1) Murid yang menerimanya

Ibnu Hibban menyatakan bahwa rawi-rawi yang menerima hadits darinya di Wasith (sebelum menjadi hakim di Kuffah) maka pada periwayatan mereka tidak terjadi takhlith (sahih karena mereka menerimanya sebelum Syarik berubah hapalan), seperti Yazid bin Harun dan Ishaq al-Azraq, sedangkan rawi-rawi yang menerima Hadits darinya di Kuffah (setelah mukhtalit) padanya terdapat keragu-raguan (lihat, Tahdzibut Tahdzib IV:336; Al-Kawakibun Nirat fi Ma’rifati Man ikhtalatha Minar Ruwatits Tsiqat, I:47; Al-Igtibath lima’rifati man rumiya bil ikhtilath : 60).

2) Muttabi’

Yaitu adanya periwayatan rawi-rawi lain yang tsiqah (kredibel) yang mendukung periwayatannya. Dan inilah yang dijadikan landasan oleh Imam Muslim ketika beliau meriwayatkan Hadits Syarik dalam kitab Shahihnya, antara lain dalam Shahih Muslim, II:510

كِتَابُ الْبِرِّ وَالصِّلَةِ وَالأَدَبِ بَابُ بِرِّ الْوَالِدَيْنِ وَأَنَّهُمَا أَحَقُّ بِهِ

(Kitab berbuat baik, silturrahmi, adab-adab berbuat baik pada orang tua dan keduanya)

diterangkan oleh Abu Hurairah:

قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاك

Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah : Siapakah manusia yang paling berhak atas kebaikanku? Rasulullah menjawab: Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian bapakmu, kemudian yang lebih rendah darimu-yang lebih rendah darimu.

Karena menurut penelitian Muslim, hapalan dan kredibilitas Syarik dapat dibuktikan dengan adanya periwayatan rawi yang lainnya.

Berdasarkan standar kritik rawi di atas, mari kita kaji hadits Wail yang diriwayatkan oleh Syarik tentang Mendahulukan Lutut sebelum tangan ketika hendak sujud, dengan sebuah pertanyaan, apakah Hadits Wail ini diriwayatkan oleh Syarik sebelum menjadi qadhi di Kuffah atau sesudahnya ? Tegasnya, sebelum taghayyur hifzhihi (berubah hapalannya) atau ba’dahu (sesudahnya) ?

Berdasarkan standar ketiga di atas, maka hadits Wail ini diriwayatkan oleh Syarik sebelum berubah hapalannya. Hal itu diketahui dengan melihat orang yang meriwayatkan darinya, yaitu Yazid bin Harun. Dengan demikian hadits ini (Mendahulukan Lutut) diterima oleh Yazid dari Syarik bin Abdillah sebelum Syarik berubah hapalannya (mukhtalit). Di samping itu, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud tidak tafarrud (menyendiri), karena pada riwayat Al-Haitsami hadits tersebut diriwayatkan pula melalui rawi bernama Israil bin Yunus. Ia termasuk rijal (periwayat) yang digunakan Al-Bukhari dan Muslim.

أخبرنا محمد بن إسحاق الثقفي حدثنا الحسن بن علي الخلال حدثنا يزيد بن هارون أنبأنا إسرائيل عن عاصم بن كليب عن أبيه عن وائل بن حجر قال رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه

(Lihat, Mawaridhud Zham-an:132 No. 487. Dan biografi Israil dapat dilihat pada Tahdzibul Kamal, II:515-524)

Berdasarkan analisa di atas, hemat kami periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud adalah maqbul (dapat diterima) karena: Pertama, Syarik meriwayatkan Hadits tersebut sebelum terjadinya ikhtilath. Kedua, Syarik memiliki muttabi’ (tidak menyendiri) dikuatkan oleh rawi lain yang tsiqah (kredibel), yaitu Israil bin Yunus.

Dalam riwayat lain, kita temukan jalur periwayatan berbeda sebagai penguat riwayat Syarik bin Abdullah (muttabi’), sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ حَدِيثَ الصَّلَاةِ قَالَ فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ إِلَى الْأَرْضِ قَبْلَ أَنْ تَقَعَ كَفَّاهُ – رواه أبو داود

Abu Dawud berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ma’mar, Hajaj bin Minhal telah mengabarkan kepada kami, Hamam telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Jahadah telah mengabarkan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ayahnya (Wail); Sesungguhnya Nabi . —maka Wail menerangkan Hadits salat—ia berkata, “Maka ketika beliau hendak sujud kedua lututnya kena pada tanah sebelum kedua telapak tangannya.” H.r. Abu Dawud, ‘Awnul Ma’bud III : 48

Sebagian ulama menyatakan Hadits ini munqathi’ (terputus jalur periwayatan) karena Abdul Jabbartidak mendengar Hadits itu dari ayahnya (Wail). (Lihat, Tuhfatul Ahwadzi, II : 134)

Hemat kami sanad Hamam bin Yahya dari Muhammad bin Jahadah riwayat Abu Daud tersebut memang munqathi, karena Abdul Jabbartidak mendengar Hadits tersebut dari ayahnya (Wail). Namun bila kita perhatikan sanad Al Baihaqi di bawah ini ternyata Abdul Jabbarmenerima Hadits tersebut dari ibunya (istri Wail/Ummu Yahya), ia menerima dari Wail (suaminya), dengan teks sebagai berikut:

أَخْبَرَنَا أَبُوْ بَكْرٍ الْحَارِثُ الْفَقِيْهُ أَنْبَأَنَا أَبُوْ مُحَمَّدِ بْنِ حَيَّانَ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَ ثَنَا أَبُوْ كُرَيْبٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُجْرٍ ثَنَا سَعِيْدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أُمِّهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ الله ثُمَّ سَجَدَ وَكَانَ أَوَّلُ مَا وَصَلَ إِلَى الأَرْضِ رُكْبَتَاهُ

as-Sunanul Kubra, II:99: Abu Bakar al-Harits al-Faqih telah mengabarkan kepada kami, Abu Muhamad bin Hayyan telah mengabarkan kepada kami, Muhamad bin Yahya telah menceritakan kepada kami, Abu Kureb telah menceritakan kepada kami, Muhamad bin Hujr telah menceritakan kepada kami, Sa’id bin Abdul Jabbar telah menceritakan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ibunya, dari Wail bin Hujr, ia berkata, “Aku Salat di belakang Rasul kemudian beliau sujud dan yang paling awal sampai ke lantai adalah kedua lututnya.”

Dengan demikian sanad hadits tersebut muttashil (bersambung), dan dapat dipergunakan sebagai syahid (penguat) bagi Hadits Anas bin Malik dan Abu Hurairah sehingga derajat keduanya naik menjadi hasan lighairihi dan dapat diamalkan.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ قَالَ هَمَّامٌ وَحَدَّثَنِي شَقِيقٌ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ هَذَا وَفِي حَدِيثِ أَحَدِهِمَا وَأَكْبَرُ عِلْمِي أَنَّهُ فِي حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ وَإِذَا نَهَضَ نَهَضَ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَاعْتَمَدَ عَلَى فَخِذِهِ

Abu Dawud berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ma’mar telah menceritakan kepada kami, Hajaj bin Minhal telah mengabarkan kepada kami, Hamam telah mengabarkan kepada kami dan berkata, Syaqiq telah mengabarkan kepada kami, Ashim bin Kulaib telah menceritakan kepadaku, dari ayahnya (Kulaib bin Syihab), dari Nabi . … (seperti hadits di atas).”

Selain penguat riwayat Syarik bin Abdullah (muttabi’), juga dalam riwayat lain, kita temukan jalur periwayatan berbeda sebagai penguat riwayat Wail (Syahid), sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَرَ … ثُمَّ إنْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ حَتَّى سَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ ـ رواه البيهقي والدارقطني والحاكم ـ

Dari Anas bin malik, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah . bertakbir… Kemudian beliau turun (ke sujud) sambil bertakbir sehingga kedua lututnya mendahului kedua tangannya.” H.r. Al Baihaqi, As Sunanul Kubra II : 99; Ad Daraqutni, Sunan Ad Daraqutni I : 345; Al Hakim, Al Mustadrak I: 226. Redaksi di atas versi riwayat Al Baihaqi.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِرُكْبَتَيْهِ قَيْلَ يَدَيْهِ وَلاَ يَبْرُكْ بُرُوْكَ الْجَمَلِ – رواه البيهقي وابن أبي شيبة

Dari Abu Hurairah, dari Nabi . ia bersabda, “Apabila seseorang di anatara kamu sujud, maka mulailah dengan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan janganlah menderum seperti menderumnya unta.” H.r. Al Baihaqi, As Sunanul Kubra II : 100; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, I :295)

Mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak turun ke sujud, selain bersumber dari Nabi . juga merujuk kepada praktek salat sahabat Nabi ., dalam hal ini Umar dan Ibnu Umar, sebagai berikut:

عَنْ إِبْرَاهِيْمَ أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ ـ رواه ابن أبي شيبة وعبد الرزاق ـ

Artinya : Dari Ibrahim, Bahwasannya Umar menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.” H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, I : 295 dan Abdur Razaq , al-Mushannaf, II : 177

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ إِذَا سَجَدَ قَبْلَ يَدَيْهِ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ إِذَا رَفَعَ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ ـ رواه ابن أبي شيبة ـ

Artinya : Dari Nafi, Sesungguhnya Ibnu Umar bila hendak sujud menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan bila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf I : 295

Berikut kita ketengahkan ulama yang menerima kehujahan hadits mendahulukan lutut, antara lain:

قَالَ التِّرْمِذِيُّ : هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ مِثْلَ هَذَا عَنْ شَرِيكٍ وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Sunan At-Tirmidzi II:56: At-Tirmidzi berkata, “Ini hadits hasan gharib, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya seperti ini dari Syarik, dan Hadits ini menjadi landasan pengamalan menurut mayoritas ahli ilmu yang berpendapat bahwa seseorang hendaklah menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya (ketika hendak sujud) dan apabila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”

Imam asy-Syaukani mengutip perkataan at-Tirmidzi itu dengan redaksi:

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ غَيْرُ شَرِيكٍ

Nailul Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar II: 281: “Ini hadits hasan gharib, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya selain Syarik.”

وَقَالَ النَّوَوِيُّ : لاَ يَظْهَرُ تَرْجِيْحُ أَحَدِ الْمَذْهَبَيْنِ عَلَى الآخَرَ وَلكِنْ أَهْلُ هذَا الْمَذْهَبِ رَجَّحُوْا حَدِيْثَ وَائِلٍ وَقَالُوْا فِي أَبِيْ هُرَيْرَةَ إِنَّهُ مُضْطَرِّبٌ إِذْ قَدْ رُوِىَ عَنْهُ الأَمْرَانِ

Subulus Salam I:38: An-Nawawi berkata, “Sulit untuk mentarjih (menguatkan) salah satu diantara dua madzhab, namun penganut madzhab ini menyatakan bahwa Hadits Wail lebih rajih (kuat) dan mereka berkata, “Pada riwayat Abu Hurairah (mendahulukan tangan) terjadi idtirab karena telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam dua versi.”

قَالَ الْخَطَّابِي وَغَيْرُهُ : وَحَدِيْثُ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَصَحُّ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ

Zadul Ma’ad, I:411 : Al-Khathabi dan lainnya berkata, “Hadits Wail bin Hujr lebih Shahih dari pada Hadits Abu Hurairah.”

Ibnu Qayyim berpendapat: “Hadits Wail lebih utama dilihat dari berbagai aspek:

Pertama, Hadits Wail lebih tsabit (kokoh kepastian adanya) sebagaimana dinyatakan al-Khathabi dan lainnya.

Kedua, Hadits Abu Hurairah mudhtaribul matan (ketidakpastian redaksi) sebagaimana keterangan terdahulu, karena diantara para rawi dari Abu Hurairah ada yang menyatakan bahwa sabda Nabi itu:

وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Artinya : “dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” Ada pula yang menyatakan sebaliknya. Dan ada pula yang menyatakan

وَلْيضَعْ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ

Artinya : “dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya di atas kedua lututnya.”

Ketiga, keterangan terdahulu, yaitu pernyataan al-Bukhari, ad-Daraquthni, dan lain-lain bahwa Hadits tersebut mengandung ilat (cacat tersembunyi).

Keempat, andaikata Hadits tersebut tsabit (kokoh), sungguh sekelompok ahli ilmu mendakwakan bahwa Hadits tersebut mansukh (terhapus). Ibnul Mundzir berkata, “Sebagian diantara sahabat kami telah menduga bahwa menempatkan kedua tangan sebelum kedua lutut itu mansukh (terhapus).”

Kelima, Hadits Wail sesuai dengan ketentuan larangan Nabi agar tidak menderum seperti menderumnya unta, hal itu berbeda dengan Hadits Abu Hurairah.

Keenam, Hadits Wail sesuai dengan riwayat amal shahabat, seperti Umar, Ibnu Umar, dan Ibnu Mas’ud, dan tidak ada satupun riwayat amal sahabat yang sesuai dengan Hadits Abu Hurairah kecuali Umar, itu pun kontradiktif dengan amal Umar versi lainnya.

Ketujuh, Hadits Wail memiliki syahid (penguat) melalui Hadits Ibnu Umar dan Anas, sebagaimana diterangkan terdahulu, sedangkan Hadits Abu Hurairah tidak memiliki syahid, maka kalau keduanya berlawanan tentu saja Hadits Wail bin Hujr didahulukan karena syawahid (penguat)nya dan Hadits Wail lebih kuat.

Kedelapan, sesungguhnya mayoritas orang-orang berpegang pada Hadits itu, sedangkan pendapat yang lain hanya bersumber dari al-Auza’I dan Malik. Adapun perkataan Ibnu Abu Dawud: “Sesungguhnya itu (mendahulukan lutut) merupakan pendapat para ahli Hadits” maksudnya pendapat sebagian diantara mereka, karena Ahmad, as-Syafi’I, dan Ishaq berpendapat sebaliknya.

Kesembilan, sesungguhnya pada Hadits Wail terdapat kisah hikayat yang disusun untuk mengisahkan perbuatan Nabi, maka itu lebih terjaga kebenarannya, karena suatu Hadits yang mengandung kisah hikayat menunjukkan bahwa Hadits itu benar-benar terpelihara.

Kesepuluh, Sesungguhnya berbagai perbuatan yang dihikayatkan pada Hadits yang semuanya tsabit (kokoh) lagi sahih melalui periwayatan lainnya, maka hal itu merupakan perbuatan yang sudah dikenal lagi benar adanya, dan ini salah satu aspek diantaranya, dan status shahih itu berlaku untuknya, sedangkan keterangan yang menentangnya tidak dapat melawannya. Dengan demikian sudah pasti Hadits itu yang rajih (kuat). Wallahu A’lam. (Lihat, Zadul Ma’ad, I:215)

Muhamad Syamsul Haq berkata, “Mayoritas ulama berpendapat demikian (mendahulukan lutut), dan al-Qadhi Abut Thayyib menghikayatkan (pendapat demikian juga) dari mayoritas ahli fiqih. Ibnul Mundzir menghikayatkannya sebagai pendapat Umar bin Khatab, an-Nakha’I, Muslim bin Yasar, Sufyan ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, dan Ashhabur ra’yi (madzhab rasional), dan ia berkata, ‘saya pun berpendapat demikian’.” (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, III:48)

Berdasarkan analisa di atas, hemat kami periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud dan mendahulukan kaki dari pada dari pada lutut adalah maqbul (dapat diterima) karena: Pertama, Syarik meriwayatkan Hadits tersebut sebelum terjadinya ikhtilath. Kedua, Syarik memiliki muttabi’ (tidak menyendiri) dikuatkan oleh rawi lain yang tsiqah (kredibel), yaitu Israil bin Yunus

Dalil 2.

2705 - حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، «أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ إِذَا سَجَدَ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ إِذَا رَفَعَ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ»

Mushannaf Ibnu Abu Syaibah I : 236: Telah menceritakan kepada kami ya’qub bin Ibrahim, dari Ibn Abi Laila, dari Nafi, Dari Ibn Umar Sesungguhnya Ibnu Umar bila hendak sujud menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan bila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”

Dalil 1 kalimat dan apabila bangkit beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya menunjukkan mendahulukan tangan ketika bangkit dari sujud memiliki kekuatan hujjah yang shahih dan dapat dipastikan salah satu sunnat dalam kaifiyat bangkit dari sujud untuk langsung berdiri

Dalil 2 kalimat dari Nafi, Dari Ibn Umar Sesungguhnya Ibnu Umar bila hendak sujud menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan bila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya menunjukkan kaifiyat bangkit dari sujud dengan mendahulukan tangan dilakukan oleh sahabat Ibnu Umar

Kesimpulan dahulukan tangan sebelum lutut adalah ketika bangkit dari sujud untuk berdiri yang didahulukan untuk diangkat adalah tangan sebelum lutut.

4) KEDUA KAKI BERTUMPU PADA UJUNG TELAPAK KAKI

Dalil 1

سنن الترمذي ٢٦٥: … عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَضُ فِي الصَّلَاةِ عَلَى صُدُورِ قَدَمَيْهِ

Sunan Tirmidzi 265: … Dari Abu Hurairah ia berkata: "Nabi bangkit dalam shalat dengan bertumpuan pada ujung jari telapak kaki."…

Dalil 2

عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ: «رَمَقْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ فِي الصَّلَاةِ فَرَأَيْتُهُ يَنْهَضُ وَلَا يَجْلِسُ» قَالَ: «يَنْهَضُ عَلَى صُدُورِ قَدَمَيْهِ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى وَالثَّالِثَةِ»

Mushannaf Abdurrazak Ash Shan’ani, Juz 2 : 178: Dari ibn uyainah, dari ibn abi laila ia berkata: aku mendengar Abdurrahman bin Yazid berkata: aku pernah mengikuti abdullah bin mas’ud pada shalat maka aku melihatnya beliau bangkit dan tidak duduk, ia berkata : beliau bangkit dari duduk dengan bertopang pada kedua kaki pada rakaat awal dan rakaat ketiga.

Dalil 1 kalimat bangkit dalam shalat dengan bertumpuan pada ujung jari telapak kaki menunjukkan keterangan bahwa Nabi ketika bangkit dari sujud untuk berdiri bertumpu pada ujung telapak kaki

Dalil kedua beliau bangkit dari duduk dengan bertopang pada kedua kaki pada rakaat awal dan rakaat ketiga keterangan sahabat bahwa ketika bangkit dari sujud untuk berdiri kedua telapak kaki menjadi titik tolaknya

Kesimpulan : kemudian angkat lutut dengan titik tolak pangkal kaki adalah posisi bangkit dari sujud untuk berdiri dengan titik tolaknya kedua pangkal telapak kaki, angkat lutut tersebut kemudian bangkit berdiri.

5) KEDUA TANGAN MENEKAN PADA PAHA

Dalil 1

عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ قَالَ فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ إِلَى الْأَرْضِ قَبْلَ أَنْ تَقَعَ كَفَّاهُ قَالَ فَلَمَّا سَجَدَ وَضَعَ جَبْهَتَهُ بَيْنَ كَفَّيْهِ وَجَافَى عَنْ إِبِطَيْهِ قَالَ حَجَّاجٌ وَقَالَ هَمَّامٌ و حَدَّثَنَا شَقِيقٌ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ هَذَا وَفِي حَدِيثِ أَحَدِهِمَا وَأَكْبَرُ عِلْمِي أَنَّهُ حَدِيثُ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ وَإِذَا نَهَضَ نَهَضَ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَاعْتَمَدَ عَلَى فَخِذِهِ

Sunan Abu Daud 627: … Dari Abdul Jabbar bin Wa`il dari ayahnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai hadits ini, katanya: "Ketika beliau sujud, beliau menempelkan kedua lututnya ke lantai sebelum meletakkan kedua telapak tangannya (ke lantai), katanya lagi: "Ketika beliau sujud, beliau meletakkan mukanya diantara kedua telapak tangannya dan merenggangkan kedua ketiaknya."

Telah berkata Hajjaj: Hammam berkata: dan telah menceritakan kepada kami Syaqiq telah menceritakan kepadaku 'Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seperti (hadits) ini, dan diantara salah satu dari hadits tersebut yang lebih aku yakini adalah hadits Muhammad bin Juhadah yaitu: "Apabila beliau hendak bangkit (untuk berdiri), beliau bangkit di atas kedua lututnya dengan bersandarkan pada kedua pahanya."….

Dalil 2

صحيح ابن خزيمة ٩٠٤: ثنا عِمْرَانُ بْنُ مُوسَى الْقَزَّازُ، ثنا عَبْدُ الْوَارِثِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ، نا عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ وَائِلٍ قَالَ: كُنْتُ غُلَامًا لَا أَعْقِلُ صَلَاةَ أَبِي فَحَدَّثَنِي وَائِلُ بْنُ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ، عَنْ أَبِي وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ رَفَعَ يَدَيْهِ، ثُمَّ كَبَّرَ، ثُمَّ الْتَحَفَ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَيْهِ فِي ثَوْبِهِ، ثُمَّ أَخَذَ شِمَالَهُ بِيَمِينِهِ " ثُمَّ ذَكَرَ الْحَدِيثَ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: هَذَا عَلْقَمَةُ بْنُ وَائِلٍ لَا شَكَّ فِيهِ، لَعَلَّ عَبْدَ الْوَارِثِ، أَوْ مَنْ دُونَهُ شَكَّ فِي اسْمِهِ وَرَوَاهُ هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَارَةَ، حَدَّثَنِي عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ وَائِلٍ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ، وَمَوْلًى لَهُمْ، عَنْ أَبِيهِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ

Shahih Ibnu Khuzaimah 904: Imran bin Musa Al Qazzaz menceritakan kepada kami, Abdul Warits menceritakan kepada kami, Muhammad bin Juhadah menceritakan kepada kami, Abdul Jabbar bin Wa'il menceritakan kepada kami, ia berkata, “Aku dulu masih kanak-kanak dan tidak mengerti tentang shalat Ayahku, maka Wa'il bin Alqamah menceritakan kepadaku dari Ayahku Wa'il bin Hujr, ia berkata, 'Apabila Rasulullah telah siap untuk shalat maka beliau mengangkat kedua tangannya, kemudian bertakbir, lalu berselimut dan memasukkan kedua tangannya kedalam bajunya, kemudian menyatukan sisi kirinya dengan sisi kanannya, lalu menyebutkan haditsnya' Abu Bakar berkata, “Alqamah bin Wa'il tidak terdapat keraguan padanya, mungkin Abdul Warits lebih cenderung meragukan tentang namanya.” Hammam bin Yahya meriwayatkannya, Muhammad bin Hujarah, Abdul Jabbar bin Wa'il menceritakan kepadaku dari Alqamah bin Wa'il budak yang telah dimerdekakannya, dari ayahnya Wa'il bin Hujr

Dalil 1 berikut penjelasannya

Rawi yang jadi perbincangan

Nama Lengkap : Abdul Jabbar bin Wa'il bin Hajar

Kalangan : Tabi'in kalangan pertengahan

Kuniyah : Abu Muhammad

Negeri semasa hidup : Kuffah

Wafat : 112 H

Pendapat ulama

1. At Tirmidzi : Aku mendengar Muhammad yakni Bukhari berkata Abdul Jabbar Ibnu Wail Ibnu Hujrin tidak mendengar dari bapaknya dan tidak bertemu dengannya dikatakan sesungguhnya dia dilahirkan setelah meninggal bapaknya jelang sebulan (Sunan Atirmidi 4:550)

2. Ibnu Sa’ad : Keadaan (Abdul Jabbar) Tsiqatun insyaallah sedikit haditstnya dan mereka membicarakan diriwayatnya dari bapaknya dan mereka mengatakan tidak bertemu dengan bapaknya. dan saudaranya Alqomah bin Wail (At-Thabaqat al kubra 6 ;213)

3. ‘Abbas Addauri : Aku mendengar yahya berkata Abdul Jabbar bin Wail bin Hujrin kuat dan tidak mendengar dari bapaknya sedikitpun kecuali dari ahlul bait (Tarikh Ibnu Main 3:11)

4. Abu Hatim : Yang diriwayatkan dari bapaknya mursal dan tidak mendengar dari bapaknya (Aljarhu Wa Ta`dil 6:30)

5. An-Nasai : Abdul Jabbar bin Wail tidak mendengar dari bapaknya (Sunan An-nasai Al-kubra 1:308)

6. Ad-Dzahabi : tidak mendengar dari bapaknya (Al-kasyaf fiima`ripati minlahu riwayatu filkitabi Assunnati 612)

7. Al-Mizi dan Ibnu Hajar : menolak pendapat orang yang mengatakan bahwa ayahnya meninggal ketika Abdul Jabbar masih dikandung atau dilahirkan setelah enam bulan meninggal ayahnya. (Tahdzibul Kamal 16:395 dan Tahdzibu Tahdzib 332)

8. Al-Mubarakafuri : pendapat ini (Abdul Jabbar tidak bertemu bapaknya) lemah sekali maka sesungguhnya dia shahih sesungguhnya dia berkata masih kanak-kanak yang tidak mengerti shalat bapaku,walaupun tidak sedikit yang mengatakan bapaknya meninggal dalam keadaan dia (Abdul Jabbar) dalam kandungan. Bahwa dia (Abdul Jabbar) nas nya jelas tentang Abdul Jabbar telah dilahirkan waktu bapaknya hidup (Tuhfatul Ahwadzi Bisyarhi Jamii At-tirmidzi 514)

Dengan keterangan ini menunjukkan bahwa Abdul Jabbar bin Wail adalah rawi tsiqah, kecuali bila keterangan yang menunjukkan bahwa Abdul Jabbar menyatakan dari bapaknya, maka dalil ini menjadi munqati’ (terputus), para ulama seperti Imam Bukhari, At Tirmidzi, Ibnu Sa’ad, Abbas Addauri, An nasai, Ad dzahabi dll, tetapi ulama seperti Al-Mizi, Ibnu Hajar, Abu Daud, Al-Mubarakafuri dll berebeda dan secara umum menyatakan bahwa menolak pendapat orang yang mengatakan bahwa ayahnya meninggal ketika Abdul Jabbar masih dikandung atau dilahirkan setelah enam bulan meninggal ayahnya (Tahdzibul Kamal 16:395 dan Tahdzibu Tahdib 332), untuk itu mari kita coba untuk menelaah Kembali beberapa keterangan tentang permasalahan ini, berikut keteranganya :

Dalil pertama menunjukkan bahwa Abdul Jabbar mendengar langsung dari Wail bin Hujr, kemudian telah berkata Hajjaj: Hammam berkata: dan telah menceritakan kepada kami Syaqiq telah menceritakan kepadaku 'Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seperti (hadits) ini, dan diantara salah satu dari hadits tersebut yang lebih aku yakini adalah hadits Muhammad bin Juhadah yaitu: "Apabila beliau hendak bangkit (untuk berdiri), beliau bangkit di atas kedua lututnya dengan bersandarkan pada kedua pahanya, dengan demikian bahwa dalil ini ketika akan dikatakan munqaati maka keterangan selanjutnya memberikan gambaran bahwa penelitian dan keyakinan hamam akan pendapat bahwa dalil ini tidak munqati’’, kemudian ada keterangan dari dalil yang disampaikan Ibnu Khuzaimah bahwa Imran bin Musa Al Qazzaz menceritakan kepada kami, Abdul Warits menceritakan kepada kami, Muhammad bin Juhadah menceritakan kepada kami, Abdul Jabbar bin Wa'il menceritakan kepada kami, ia berkata, “Aku dulu masih kanak-kanak dan tidak mengerti tentang shalat Ayahku, maka Wa'il bin Alqamah menceritakan kepadaku dari Ayahku Wa'il bin Hujr, ia berkata, 'Apabila Rasulullah telah siap untuk shalat maka beliau mengangkat kedua tangannya, kemudian bertakbir, lalu berselimut dan memasukkan kedua tangannya kedalam bajunya, kemudian menyatukan sisi kirinya dengan sisi kanannya, lalu menyebutkan haditsnya' Abu Bakar berkata, “Alqamah bin Wa'il tidak terdapat keraguan padanya, mungkin Abdul Warits lebih cenderung meragukan tentang namanya.” Hammam bin Yahya meriwayatkannya, Muhammad bin Hujarah, Abdul Jabbar bin Wa'il menceritakan kepadaku dari Alqamah bin Wa'il budak yang telah dimerdekakannya, dari ayahnya Wa'il bin Hujr, menunjukkan bahwa Abdul Jabbar ketika berbicara tentang shalat maka secara langsung dan tidak langsung bersumber dari Alqamah, dengan demikian munqati’nya Abdul Jabbar terbantahkan dengan keterangan-ketarangan tersebut, berarti dalil 1 memiliki syawahid yaitu dalil ke 2. Kesimpulan dalil 1 hasan lizatihi.

Dalil 1 kalimat Apabila beliau hendak bangkit (untuk berdiri), beliau bangkit di atas kedua lututnya dengan bersandarkan pada kedua pahanya menunjukkan bangkitlah dengan kedua tangan menekan pada paha adalah salah satu sunnah.

BANGKITLAH DENGAN KEDUA TANGAN MENEKAN PADA PAHA adalah Ketika bangkit dari sujud untuk berdiri maka dahulukan tangan dari pada lutut kemudian simpan tangan dipaha kemudian bangkit.

Mari perhatikan pendapat Abu Daud dalam kitab Sunannya Hal 627 “dan diantara salah satu dari hadits tersebut yang lebih aku yakini adalah hadits Muhammad bin Juhadah yaitu: “Apabila beliau hendak bangkit (untuk berdiri), beliau bangkit di atas kedua lututnya dengan bersandarkan pada kedua pahanya.dan pendapat Yahya itu majhul (dengan semisal ini) Hadits yang terdahulu dari jalur Muhamad bin Juhadah (dan pada salahsatu haditsnya) maksudnya Muhamad bin Juhadah dan Syaqiq (apabila beliau bangkit) maksudnya berdiri (beliau bangkit di atas kedua lututnya dengan bersandarkan pada kedua pahanya) maksudnya bangkit dengan tangannya atas pahanya dengan demikian membantu ketika bangkit. Al-Hafidz Az-Zain Al-Iroqi berkata dan riwayat Abi Dawud ini disepakati sebagaimana sebelumnya karena dia itu apabila mengangkat kedua tangan itu membantu bangkit atas lututnya tidak ada yang tetap selain bersandar kepada keduanya. (Aunul Ma'bud Juz 3:49)

6) KEMUDIAN BERDIRI TEGAK

Dalil 1

عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ أَوَّلَ مَا افْتُرِضَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةُ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ إِلَّا الْمَغْرِبَ فَإِنَّهَا كَانَتْ ثَلَاثًا ثُمَّ أَتَمَّ اللَّهُ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْعِشَاءَ الْآخِرَةَ أَرْبَعًا فِي الْحَضَرِ وَأَقَرَّ الصَّلَاةَ عَلَى فَرْضِهَا الْأَوَّلِ فِي السَّفَرِ

Musnad Ahmad: Dari Aisyah istri Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau berkata: Pertama yang diwajibkan shalat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah dua rakaat dua rakaat kecuali Maghrib yang 3 rakaat. Kemudian Allah sempurnakan (jumlah rakaat) Dzhuhur, Ashar, dan Isya’ akhir 4 rakaat dalam kondisi hadir (tidak safar) dan ditetapkan shalat ’ sebagaimana kewajibannya yang awal di waktu safar

Dalil 2

QS ANISSA 142

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلا قَلِيلا

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali

Dalil 4

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ سَمِعْتُهُ وَهُوَ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدُهُمْ أَبُو قَتَادَةَ بْنُ رِبْعِيٍّ يَقُولُ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا مَا كُنْتَ أَقْدَمَنَا لَهُ صُحْبَةً وَلَا أَكْثَرَنَا لَهُ إِتْيَانًا قَالَ بَلَى قَالُوا فَاعْرِضْ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ اعْتَدَلَ قَائِمًا وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ

Sunan Tirmidzi 280 :…Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Amru bin 'Atha` dari Abu Humaid As Sa'idi ia berkata; "Aku mendengarnya -waktu itu ia berada diantara sepuluh sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, diantaranya adalah Abu Qatadah bin Rib'i- ia berkata; … ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika berdiri shalat selalu tegak dan berimbang …

Dalil 1 keterangan bahwa shalat terdiri dari beberapa rakaat yang berarti adanya pengulangan kaifiyat dalam shalat termasuk berdiri dalam shalat

Dalil 2 rasa malas dalam shalat termasuk berdiri didalamnya adalah bagian dari sifat munafik

Dalil 3 keterangan bahwa ketika berdiri harus tegak

Dengan keterangan-keterangan yang telah disebutkan kemudian berdiri tegak adalah kemudian melanjutkan rakaat berikutnya kembali pada posisi awal shalat sikap tegak, berimbang dengan sempurna berdiri dalam shalat.

7) POSISI TANGAN KANAN LANGSUNG MEMEGANG PUNGGUNG TANGAN KIRI SIMPAN KEDUANYA DI ATAS DADA (kecuali setelah dua raka’at atau tasyahud awal)

a. TANGAN KANAN MEMEGANG PUNGGUNG TANGAN KIRI

Dalil 1

عَنْ أَبِيهِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَ وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى

Shahih Muslim 608:…Dari Wail bin Hujr "Bahwasannya nya dia melihat Nabi mengangkat kedua tangannya ketika masuk shalat, bertakbir." Hammam menggambarkannya, "Di hadapan kedua telinganya, kemudian melipatnya pada bajunya kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya

Dalil 2

حَدَّثَنَا عَلْقَمَةُ بْنُ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ

Sunan Nasa'i 877: …Telah menceritakan kepada kami 'Alqomah bin Wa'il dari bapaknya, dia berkata: "Aku melihat Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassallam apabila berdiri untuk shalat beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya."

Dalil 3

حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ أَخْبَرَنِي أَبِي أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ الْحَضْرَمِيَّ أخْبَرَهُ قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي قَالَ فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ قَامَ فَكَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا أُذُنَيْهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ

Musnad Ahmad 18115: …Telah menceritakan kepada kami 'Ashim bin Kulaib telah mengabarkan kepadaku ayah, bahwa Wa`il bin Hujr Al Hadlrami mengabarinya, dia berkata: Aku berkata: Sungguh aku akan melihat Rasulullah bagaimana beliau shalat. dia berkata: Maka aku lihat beliau berdiri dan bertakbir dan beliau angkat kedua tangannya hingga sejajar kedua telinganya. Kemudian beliau letakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya, pergelangan dan lengan bawah…

Dalil 4

صحيح البخاري ٦٩٨: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلَاةِ قَالَ أَبُو حَازِمٍ لَا أَعْلَمُهُ إِلَّا يَنْمِي ذَلِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Shahih Bukhari 698: Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'd berkata: "Orang-orang diperintahkan agar meletakkan tangan kanannya di atas lengan kiri dalam shalat."Abu Hazim berkata: "Aku tidak mengetahui dia Sahl kecuali bahwa dia menyandarkan hal tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam."…

Dalil 1 kalimat meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya menunjukkan bahwa posisi tangan kanan kanan di atas tangan kiri

Dalil 2 kalimat memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya menunjukkan adanya genggaman tangan kanan kepada tangan kiri

Dalil 3 kalimat letakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya, pergelangan dan lengan bawah menunjukkan yang di genggam itu telapak,pergelangan sampai lengan

Dalil 4 ungkapan sahabat yang menyatakan Orang-orang diperintahkan agar meletakkan tangan kanannya di atas lengan kiri dalam shalat menunjukkan bahwa perintah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri adalah bagian dari perintah langsung dari Rasulullah SAW

Kesimpulan dalil Dari Wail bin Hujr bahwa ia melihat Nabi . Mengangkat kedua tangannya Ketika memulai shalat kemudian melipatkan lengan bajunya dan menyimpan tangan kanan di atas tangan kiri (dalil no 1) di dalam hadits kedua di katakan kemudian Dari Wail bin Hujr, ‘Aku pernah melihat Rasulullah . Apabila berdiri dalam shalat, ia mengepalkan (memegang) tangan kanan pada tangan kirinya dan di hadits ketiga Kemudian meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, di pergelangan tangan, sampai di lengan tangan kiri, Inilah alasanya mengapa kata wada`a dalam hadits kedua di artikan memegang atau menggenggam sedangkan kata rusg dan said, pada hadits ketiga diartikan rusg adalah sambungan antara kaff (telapak tangan) dan said adalah bagian tangan antara rusg dan siku, ketentuan ini adalah salah satu perintah Rasullullah SAW (dalil no 4).

Kesimpulan menyimpan tangan kiri di atas tangan kanan adalah : Memegang atau menggenggam punggung tangan kiri oleh tangan kanan adalah punggung telapak tangan sampai pergelangan atau lengan dan tidak boleh sampai siku.

b. SIMPAN KEDUANYA DI ATAS DADA

Dalil 1

عَنْ أَبِيهِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَ وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى

Shahih Muslim 608 :…Dari Wail bin Hujr "Bahwasannya nya dia melihat Nabi mengangkat kedua tangannya ketika masuk shalat, bertakbir." Hammam menggambarkannya, "Di hadapan kedua telinganya, kemudian melipatnya pada bajunya kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya

Dalil 2

عَنْ ثَوْرٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ طَاوُسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ

Sunan Abu Daud 648: …Dari Tsaur dari Sulaiman bin Musa dari Thawus dia berkata:"Rasulullah meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri, kemudian menarik keduanya di atas dada ketika shalat."

Dalil 3

عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ هُلْبٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ وَرَأَيْتُهُ قَالَ يَضَعُ هَذِهِ عَلَى صَدْرِهِ وَصَفَّ يَحْيَى الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فَوْقَ الْمِفْصَلِ

Musnad Ahmad 20961: Dari Qabishah bin Halb dari ayahnya, ia berkata: Saya melihat Nabi menoleh ke kanan dan kekiri, dan saya melihatnya meletakkan tangan di atas dadanya. Dan Yahya meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dibagian atas persendian

Dalil 4

عن عاصم بن كليب، عن أبيه، عن وائل بن حجر قال: «صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم، ووضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره»

Shahih Ibnu Khuzaimah 479: …Dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari wail bin hajar, ia berkata, “Aku pernah melaksanakan shalat bersama Rasulullah , beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri lalu diletakkan di atas dadanya.”

Dalil 5

عَنْ زِيَادِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ مِنْ السُّنَّةِ وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلَاةِ تَحْتَ السُّرَّةِ

Sunan Abu Daud 645…Dari Ziyad bin Zaid dari Abu Juhaifah bahwa Ali radliyallahu 'anhu berkata:"Termasuk dari sunnah adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan yang lain di bawah pusar dalam shalat."

Dalil 6

سنن أبي داوود ٦٤٦: عَنْ ابْنِ جَرِيرٍ الضَّبِّيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُمْسِكُ شِمَالَهُ بِيَمِينِهِ عَلَى الرُّسْغِ فَوْقَ السُّرَّةِ

Sunan Abu Daud 646: …Dari Ibnu Jarir Ad Dlabbi dari ayahnya dia berkata: "Aku melihat tangan kanan Ali radliyallahu 'anhu memegang tangan kirinya pada pergelangannya di atas pusar."

Dalil 7 Firman Allah Swt : Dalam QS. Al-An’am[6]: 125 / (QS. Hud[11]: 5) dan (QS. Al-A’raf[7]:2)

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ كَذَلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ

”Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”.

Dalil 1 kalimat meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya menunjukkan bahwa rasulullah setelah mengangkat tangannya kemudian menyimpan tangan kiri di atas tangan kanan, dengan demikian menyimpan tangan kanan di atas tangan kiri adalah syariat yang bersifat tsabat (kuat)

Dalil 2, 3 dan 4 status dalil ini adalah hasan li dzatihi, berikut keterangan-keterangannya :

Dalil 2 rawi yang jadi perbincangan Thawus bin Kaisan dan Sulaiman bin Musa berikut

2. Sulaiman bin Musa

Nama Lengkap : Sulaiman bin Musa

Kalangan : Tabi'in kalangan biasa

Kuniyah : Abu Ayyub

Negeri semasa hidup : Syam

Wafat : 115 H

Komentar ulama

Yahya bin Ma'in Tsiqah

Muhammad bin Sa'd Tsiqah

Ibnu Hibban mentsiqahkannya

Adz Dzahabi Ahadul aimmah

An Nasa'i laisa bi qowi

Kesimpulan status dalil ini mursal tabi`i

Dalil 3 rawi yang jadi perbincangan Simak

Nama Lengkap : Simak bin Harb bin Aus

Kalangan : Tabi'in kalangan biasa

Kuniyah : Abu Al Mughirah

Negeri semasa hidup :

Wafat : 123 H

Komentar ulama

Yahya bin Ma'in Tsiqah

Abu Hatim Ar Rozy shaduuq tsiqah

An Nasa'i Di haditsnya ada sesuatu

Ibnu Hibban Banyak salah

Adz Dzahabi Tsiqah

Adz Dzahabi Jelek Hafalannya

Kesimpulan dalil ini hasan

Dalil 4

Nama Lengkap : Mu'ammal bin Isma'il

Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan biasa

Kuniyah : Abu 'Abdur Rahman

Negeri semasa hidup : Bashrah

Wafat : 206 H

Komentar ulama

yahya bin Ma'in Tsiqah

Al Bukhari munkarul hadits

Ibnu Hibban disebutkan dalam 'ats tsiqaat

Ibnu Sa'd Tsiqah Katsirul Gholath

Ad Daruquthni Tsiqah banyak salah

Ibnu Hajar al 'Asqalani Shaduuq sayyiul Hifd

Kesimpulan dalil 1 ini hasan

Kesimpulan dalil 2, 3 dan 4 semua dalil tidak ada yang tsabat (kuat), tetapi dalil 1 ( dalil yang tsabat) menunjukkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri hal ini membutuhkan tempat Dimana meletakkanya, sehingga dalil 2 mursalnya dari thawus, dan dalil 3 serta 4 satu dengan yang lainya saling menguatkan sehingga meletakkan tangan kiri di atas tangan kanan dan letak penyimpananya di atas dada dapat diterima sebagai hujjah.

Berikut pendapat ulama

1. Al-‘Allamah Abu Thayyib Muhammad Syam Al-Haqq dalam Syarah Aunul Ma`Bud 3/389 mengatakan kesimpulan haditsini (dalil no 2) hasan li dzatihi, dan ini bisa menjadi hujjah sebagaimana haditsshahih . Maka tidak ada cacat dari haditsini selain bahwa dia mursal dan yang mursal biasanya dipakai tanpa syarat menurut pendapat Abu Hanifah, Malik dan Ahmad (semoga Allah merahmati mereka). Sedangkan menurut Asy-Syafi’i yang mursya ini bisa dipakai kalau dikuatkan oleh dalil lain yang bersnad tapi kualitasnya lebih baik, baik penguat ini musnad ataupun mursal pula.

Dalam masalah ini meletakkan tangan di atas dada sudah disebutkan dua hadits shahih (hadis No 3 dan No 4)…

Dalil 5 rawi yang jadi perbincangan adalah Abdur Rahman

Nama Lengkap : Abdur Rahman bin Ishaq bin Al Harits

Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan tua

Kuniyah : Abu Syaibah

Negeri semasa hidup : Kuffah

Wafat :

Komentar ulama

Ahmad bin Hambal munkarul hadits

Yahya bin Ma'in dla'if

Ibnu Sa'd dla'if

Ya'kub bin Sufyan dla'if

Abu Daud dla'if

An Nasa'i dla'if

Ibnu Hibban dla'if

Al Bukhari fihi Nazhar

Abu Zur'ah laisa bi qowi

Abu Hatim dla'iful hadits

Al 'Uqaili dla'iful hadits

Al 'Ajli dla'if

Ibnu Hajar al 'Asqalani dla'if

Adz Dzahabi mereka mendla’ifkannya

Kesimpulan Dalil ini dla’if.

Dalil 6 rawi yang jadi perbincangan adalah jarir

Nama Lengkap : "Jarir, ayah dari Ghazlan"

Kalangan : Tabi'in kalangan pertengahan

Kuniyah :

Negeri semasa hidup :

Wafat :

Komentar ulama

Ibnu Hibban mentsiqahkannya

Adz Dzahabi Tidak dikenal

Berikut pendapat ulama

1. Abu Daud berkata: Dan diriwayatkan dari Sa'id bin Jubair "di atas pusar". Abu Mijlaz mengatakan: "di bawah pusar". Dan di riwayatkan dari Abu Hurairah, namun sanadnya tidak kuat

2. Al-‘Allamat Abu Thayyib Muhammad Syam Al-Haqq dalam catatan kaki Syarah Aunul Ma`Bud 3/387 sanad haditsini dla’if, karena Ibnu Jarir Adh-Dhabbi majhul, Namanya adalah gazhwan ayahnya juga tidak diketahui (majhul).

Kesimpulan dalil ini dla’if

Kesimpulan dalil 1 sampai 6 Bahwa menyimpan tangan kanan di atas tangan kiri adalah salah satu kaifiyat Rasulullah dan meletakkanya adalah di atas dada, hal ini sesuai dengan dalil-dalil yang berstatus shahih dan hasan li dzatihi, sementara menyimpan di atas pusar (tepat di atas pusar) dan di bawah pusar tidak memiliki dalil yang kuat (dla’if).

Keterangan Dalil 7 Setelah dipastikan bahwa menyimpan tangan kiri di atas tangan kanan dan meletakkanya di atas dada adalah bagian dari sunnah, tinggal sekarang kita mengetahui dada yang dimaksud. berikut penjelasannya

Dada dalam kamus bahasa Indonesia bagian tubuh sebelah depan diantara perut dan leher. Berarti dada yang dimaksud adalah diantara perut dan leher, untuk lebih tepatnya kita lihat dalil 7, kalimat يَشْرَحْ صَدْرَهُ yang berarti melapangkan dada yang berarti melapangkan hati ketiga ayat ini mengungkapkan kalimat صَدْر bila melihat kalimat ini menunjukkan bahwa صَدْر yang dimaksud adalah hati bila merujuk pada posisi hati dalam tubuh manusia ia berada antara dada bawah dan di atas pusar maka kalimatصَدْر akan tepat bila diartikan di bawah antara dada bagian bawah dan pusar.

Kesimpulan simpan keduanya di atas dada adalah menyimpan tangan kanan di atas tangan kanan kiri dan meletakkanya di atas dada yaitu antara dada bagian bawah dan di atas pusar.

Mari perhatikan pendapat ulama :

1. Imam Muslim membuat bab meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada bagian bawah dada dan di atas pusar setelah takbiratul ihram dan meletakkanya keduanya di atas permukaan tanah lurus dengan kedua bahu ketika sujud (Syarah Imam Muslim 4/379)

2. A Hasan dalam pengajaran shalat cetakan XXXVI dipenogoro hal 216 mengatakan “hadits-hadits tadi semuanya lemah. Oleh sebab itu boleh kita pelukan tangan dimana kita suka lantaran itulah saya berkata dibagian pertama bahwa tempatnya diperut : dengan batas perut itu ialah dari bawah dada sampai ari-ari”.

c. KECUALI SETELAH DUA RAKAAT ATAU TASYAHUD AWAL

Dalil 1

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ كَبَّرَ ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ ، وَإِذَا قَامَ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ رَفَعَ يَدَيْهِ ورَفَعَ ذلكَ ابنُ عُمَر إلى نبيِّ اللهِ – صلى الله عليه وسلم -.

Shahih Bukhâri 739 dan Muslim 390: Sesungguhnya Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma biasanya jika hendak memulai shalatnya beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Jika hendak ruku’ juga mengangkat kedua tangannya. Jika beliau mengucapkan, ”Sami’allâhu liman hamidah” juga mengangkat kedua tangannya. Jika berdiri dari rakaat kedua juga mengangkat kedua tangannya. Ibnu Umar Radhiyallahu anhu memarfu’kannya kepada Nabi .”

صحيح ابن حبان ١٨٦٧: … فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ‏:‏ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،… مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ، رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ

Shahih Ibnu Hibban 1867:… Abu Humaid berkata, “Aku adalah orang yang paling mengetahui shalat Rasulullah .” … Bila beliau hendak bangun dari dua rakaat, beliau mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua bahu…

Dalil pertama memberi keterangan mengangkat kedua tangan dilakukan pada posisi sebagai berikut :

1. Takbîratul Ihram dirakaat yang pertama

2. Hendak ruku’

3. Ketika mengucapkan Samiallâhu liman hamidah setelah ruku’

4. Ketika berdiri dari rakaat kedua menuju rakaat ketiga

Dalil kedua memperkuat bahwa bangkit dari sujud mengangkat tangan hanya dilakukan setelah dua rakaat menuju rakaat ketiga

Dengan keterangan-keterangan yang telah disampaikan langsung memegang punggung tangan kiri (kecuali setelah dua rakaat atau tahiyat) adalah posisi bangkit dari sujud yang langsung kembali bersedekap tanpa mengangkat kedua tangan kecuali pada dua rakaat menuju rakaat ketiga atau attahiyat

8) POSISI MATA MELIHAT KE TEMPAT SUJUD

Dalil 1

حَدَّثَنَا قَتَادَةُ أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ حَدَّثَهُمْ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ

Shahih Bukhari 708:…Telah menceritakan kepada kami Qatadah bahwa Anas bin Malik ia menceritakan kepada mereka, ia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kenapa orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke langit ketika mereka sedang shalat?" Suara beliau semakin tinggi hingga beliau bersabda: "Hendaklah mereka menghentikannya atau Allah benar-benar akan menyambar penglihatan mereka.

Dalil 2.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الِالْتِفَاتِ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ هُوَ اخْتِلَاسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلَاةِ الْعَبْدِ

Shahih Bukhari 709:…Dari 'Aisyah berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang menoleh dalam shalat. Maka Beliau bersabda: "Itu adalah sambaran yang sangat cepat yang dilakukan oleh setan terhadap shalatnya hamba."

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " كَانَ إِذَا صَلَّى رَفَعَ بَصَرَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَنَزَلَتْ {الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ} [المؤمنون: 2] فَطَأْطَأَ رَأْسَهُ «هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ لَوْلَا خِلَافٌ فِيهِ عَلَى مُحَمَّدٍ فَقَدْ قِيلَ عَنْهُ مُرْسَلًا وَلَمْ يُخْرِجَاهُ» التعليق - من تلخيص الذهبي

Dari Muhamad bin Sirin dari Abu Hurairah R.A Bahwasannya Rasulullah SAW. apabila salat mengarahkan pandangannya ke langit. Lalu turunlah ayat mereka orang-orang yang khusyuk dalam salat mereka maka Nabi saw. menundukkan kepala beliau (pandangannya).’’Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain,VIII : 135, NO.3442. Mushanaf Abdurrazaq, II : 254, No.3262, As-sunan Al-kubra Lil-Baihaqi, II : 283.

Dalil 4

Dalam Ta’zhim Qadris Shalah, 192

عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، قَالَ: كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يَنْظُرَ الرَّجُلُ فِي صَلَاتِهِ إِلَى مَوْضِعِ سُجُودِهِ

“Dari Ibnu Sirin, beliau berkata: ‘para sahabat Nabi menganjurkan orang yang shalat untuk memandang tempat sujudnya

Dalil 5

صحيح البخاري ٧٧٠: عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ

Shahih Bukhari 770: …Dari Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhu, ia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:"Aku diperintahkan untuk melaksanakan sujud dengan tujuh tulang (anggota sujud): kening -beliau lantas memberi isyarat dengan tangannya menunjuk hidung- kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari dari kedua kaki dan kami tidak menyingkapkan rambut atau pakaian."

Dalil 6 Tegak Lurus

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ سَمِعْتُهُ وَهُوَ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدُهُمْ أَبُو قَتَادَةَ بْنُ رِبْعِيٍّ يَقُولُ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا مَا كُنْتَ أَقْدَمَنَا لَهُ صُحْبَةً وَلَا أَكْثَرَنَا لَهُ إِتْيَانًا قَالَ بَلَى قَالُوا فَاعْرِضْ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ اعْتَدَلَ قَائِمًا وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ

Sunan Tirmidzi 280: …Dari Abu Humaid As Sa'idi ia berkata; "Aku mendengarnya -waktu itu ia berada diantara sepuluh sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, diantaranya adalah Abu Qatadah bin Rib'i- ia berkata; "Aku adalah orang yang paling tahu dengan shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diantara kalian." Mereka berkata; "Engkau bukan orang yang lebih dulu menjadi sahabat beliau dan tidak lebih banyak mendatanginya ketimbang kami!" ia berkata; "Benar, " mereka berkata; "Maka ceritakanlah!" ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika berdiri shalat selalu tegak dan berimbang lalu mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya.

Dalil 1 kalimat Kenapa orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke langit ketika mereka sedang shalat?" Suara beliau semakin tinggi hingga beliau bersabda: "Hendaklah mereka menghentikannya atau Allah benar-benar akan menyambar penglihatan mereka menunjukkan larangan melihat ke atas yang langsung di perintahkan oleh Nabi saw, sekaligus ancaman bagi yang melakukanya

Dalil 2 kalimat menoleh dalam shalat. Maka Beliau bersabda: "Itu adalah sambaran yang sangat cepat yang dilakukan oleh setan terhadap shalatnya hamba. keterangan larangan menoleh dalam shalat

Dalil 3 kalimat maka Nabi saw. Menundukkan kepala menunjukkan adanya keterangan dari Abu Hurairah melalui Ibnu Sirin akan keterangan melihat ke bawah dalam shalat

Dalil 4 kalimat Dari Ibnu Sirin, beliau berkata:para sahabat Nabi menganjurkan orang yang shalat untuk memandang tempat sujudnya menunjukkan keterangan lanjutan dari ibnu bahwa melihat ke bawah yang dimaksud adalah tempat sujud yang bersumber dari Rasulullah SAW

Dalil 5 kalimat beliau lantas memberi isyarat dengan tangannya menunjuk hidung- kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari dari kedua kaki menunjukkan bahwa tempat sujud terdiri dari bekas meletakkan hidung, kening, tangan dan kaki

Dalil 6 kalimat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika berdiri shalat selalu tegak dan berimbang menunjukkan posisi badan ketika berdiri harus tegak dan berimbang

kesimpulan dalil bahwa dalam shalat tidak boleh memandang ke atas, atau menoleh kekanan atau kekiri tetapi melihat ke bawah yaitu tempat sujud, tempat sujud terdiri dari bekas meletakkan hidung, kening, tangan dan kaki. Pada pelaksanaannya melihat tempat sujud yang tersebut dengan tetap memperhatikan tegak lurus dan seimbangnya dalam berdiri.

Kesimpulan Posisi mata melihat ke tempat sujud adalah mengarahkan pandangan ke bawah dengan batasan bekas sujud dengan tetap mempertahankan kelurusan dan keseimbangan dalam berdiri.

9) POSISI KEDUA KAKI TIDAK DIRAPATKAN DAN RENGGANG SEUKURAN KEDUA BAHU BAGIAN LUAR

Dalil 1 Firman Allah Swt dalam (QS. Al-Baqarah [2]: 238)

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

…Peliharalah semua shalat (mu), dan peliharalah shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu….

Dalil 2

صحيح البخاري ٧٨٥: فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ

Shahih Bukhari 785: … Maka berkatalah Abu Hamid As Sa'idi: "Aku adalah orang yang paling hafal dengan shalatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, jika shalat aku melihat …Jika mengangkat kepalanya, beliau berdiri lurus hingga seluruh tulang punggungnya kembali pada tempatnya semula

Dalil 3

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

Shahih Bukhari 683:…Dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Luruskanlah shaf-shaf kalian, sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari balik punggungku." Dan setiap orang dari kami merapatkan bahunya kepada bahu temannya, dan kakinya pada kaki temannya

Dalil 4

عَنْ عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ أَبِي فِي الْمَسْجِدِ، فَرَأَى رَجُلًا صَافًّا بَيْنَ قَدَمَيْهِ، فَقَالَ: أَلْزَقَ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى، لَقَدْ رَأَيْتُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْهُمْ فَعَلَ هَذَا قَطُّ

Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2/109: Dari ‘Uyainah bin Abdirrahman ia berkata, pernah aku bersama ayahku di masjid. Ia melihat seorang lelaki yang shalat dengan merapatkan kedua kakinya. Ayahku lalu berkata, ‘orang itu menempelkan kedua kakinya, sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam shalat di masjid ini selama 18 tahun dan aku tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang melakukan hal ini.

Dalil 1, Al Quran 2: 238, menunjukkan bahwa berdiri untuk shalat harus dilandasi karena Allah SWT yang harus dilakukan dengan khusyu

Dalil 2 kalimat Jika mengangkat kepalanya, beliau berdiri lurus hingga seluruh tulang punggungnya kembali pada tempatnya semula menunjukkan bahwa selain tegak posisi punggung harus thuma’ninah

Dalil 3 kalimat Dan setiap orang dari kami merapatkan bahunya kepada bahu temannya, dan kakinya pada kaki temannya menunjukkan ketika berdiri itu renggang dan ukuran renggang dalam berdiri adalah seukuran bahu bagian luar

Dalil 4 kalimat orang itu menempelkan kedua kakinya, sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam shalat di masjid ini selama 18 tahun dan aku tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang melakukan hal ini menunjukkan bahwa tidak ada atau tidak boleh merapatkan kedua kaki ketika berdiri dalam shalat

Kesimpulan dalil lakukan berdiri dalam shalat karena Allah swt dengan khusyu, berdiri tegak dengan thuma’ninah, posisi kaki ketika berdiri adalah direnggangkan, tidak boleh rapat, jarak renggangnya adalah seukuran bahu bagian luar

Kesimpulan Posisi kaki ketika berdiri dalam shalat tidak rapat tidak renggang berlebihan adalah posisi kaki yang ukuranya tidak boleh rapat tetapi renggang sesuai kenyamanan (thuma’ninah) dengan acuan bahu bagian luar.

a. Catatan tentang berdiri :

Adapun tentang posisi jari-jari kaki tidak ada dalil yang langsung memberikan gambaran kepada kita tentang hal ini, untuk itu kalaupun ada dengan dalil umum menghadap kiblat itupun hanya bersifat anjuran, bukan dalil, oleh sebab itu maka posisi jari dikembalikan kepada teks hadits umum dan dengan tidak melupakan thuma’ninahnya kita dalam qiyam (berdiri).

10) SETELAH SEMUA TUMA’NINAH

Dalil 1

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَقَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

Shahih Bukhari 715: …Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah masuk ke masjid, …Beliau lantas berkata: "Jika kamu berdiri untuk shalat maka mulailah dengan takbir, lalu bacalah apa yang mudah buatmu dari Al Qur'an kemudian ruku’lah sampai benar-benar ruku’ dengan thuma'ninah (tenang), lalu bangkitlah (dari ruku’) hingga kamu berdiri tegak, lalu sujudlah sampai hingga benar-benar thuma'ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk dengan thuma'ninah. Maka lakukanlah dengan cara seperti itu dalam seluruh shalat (rakaat) mu."

Kemudian dalam salah satu riwayat yang lainnya beliau bersabda pula: maka apabila engkau menyempurnakan shalat ini, maka sungguh engkau telah menyempurnakan shalat, dan apabila engkau mengurangi dari cara shalat ini, maka engkau telah mengurangi shalat ini … (HR. Ahmad, No 482)

Ibnu Hajar pernah menjelaskan sebagai berikut:

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْإِقَامَةَ وَالتَّعَوُّذَ وَدُعَاءَ الِافْتِتَاحِ وَرَفْعَ الْيَدَيْنِ فِي الْإِحْرَامِ وَغَيْرِهِ وَوَضْعَ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى وَتَكْبِيرَاتِ الِانْتِقَالَاتِ وَتَسْبِيحَاتِ الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ وَهَيْئَاتِ الْجُلُوسِ وَوَضْعَ الْيَدِ عَلَى الْفَخِذِ وَنَحْوَ ذَلِكَ مِمَّا لَمْ يُذْكَرْ فِي الْحَدِيثِ لَيْسَ بِوَاجِبٍ

(Fathul Bari II:280): “… maka pada riwayat itu sebagai dalil, bahwa iqomah, ta’awwudz, do’a iftitah, mengangkat dua tangan saat takbiratul ihram dan yang lainnya, menyimpan tangan kanan di atas tangan kiri, takbir intiqal, bacaan tasybih diwaktu ruku’ dan sujud, cara-cara duduk dan menyimpan tangan kanan di atas paha dan sejenis dengannya itu adalah tidak wajib…”

Maka dengan hal dan keterangan tersebut, kita mengetahui dan dapat membedakan antara yang wajib dan yang sunnat di dalam shalat.

Sehubungan dengan itu dinyatakan dalam qaidah ushul fiqih:

مجرّد الأفعال لايفيد الوجوب

"Perbuatan Nabi semata-mata (tanpa diikuti sabdanya), maka itu tidak menunjukkan kepada wajib"

Sementara berdiri untuk melanjutkan rakaat itu ada penegasan perintah langsung melalui sabdanya (diikuti dengan ucapan perintah dari Nabi sebagaimana dalam hadits yang telah disebutkan. Dari sini kita fahami bahwa berdiri dalam shalat itu termasuk wajib dan merupakan bagian dari rukun shalat. Dan dalam pelaksanaanya harus dilakukan dengan thuma’ninah

Kesimpulan Setelah semua thuma’ninah lanjutkan bacaan adalah setelah benar-benar bediri baik jiwa (terpelihra ) ataupun fisik (tegak lurus) dan diyakini thuma’ninah maka lanjutkan bacaan shalat berikutnya.

11) LANJUTKAN BACAAN

Bacaan pada rakaat kedua memiliki perbedaan dengan rakaat pertama perbedaan itu terletak pada bacaan ta`awudz dan ayat atau surat dalam Al-Quran. Berikut penjelasnya

a. Bacaan do’a iftitah hanya dirakaat pertama saja

Arti kata iftitah adalah perrmulaan atau pembukaan. Do’a iftitah dibaca sebelum Al-Fatihah berarti iftitah sebagai permulaan atau pembuka do’a atau bacaan.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَفْتَحَ الصَّلَاةَ قَالَ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرَكَ...

(Sunan Abu Dawud 1:206): Dari Aisyah dia berkata; Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hendak memulai shalat, beliau mengucapkan: "SUBHANAKA ALLAHUMMA WA BIHAMDIKA WA TABARAKAS-MUKA WA TA'ALA JADDUKA WA LA ILAHA GHAIRAKA"

Kesimpulan tentang bacaan do’a iftitah adalah do’a iftitah hanya dirakaat pertama saja.

b. Bacaan ta`awudz pada setiap rakaat Atau bacaan ta`awudz pada rakaat pertama saja

I. Bacaan ta`awudz pada setiap rakaat

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Al-Quran, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl [16]: 98)

Dalam Shahih Fiqh Sunnah, karya Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, penerbit Maktabah At-Tauqifiyyah berkata, “Sisi pendalilan (dianjurkannya membaca setiap raka’at) adalah bahwa ayat di atas menunjukkan (menuntut) diulangnya do’a ta’awudz setiap kali mengulang bacaan Al-Quran. Ketika terdapat jeda (pemisah) antara dua bacaan Al-Quran (antara rakaat pertama, kedua, dan seterusnya, pent.) dengan ruku’, sujud, dan semisalnya, maka disyariatkan untuk membaca do’a ta’awudz.”

Dan dalam Al-Qaulul Mubiin fi Akhtaa’i Al-Mushalliin, karya Syaikh Masyhur Hasan Salman, penerbit Daar Ibnu Hazm dan Daar Ibnul Qayyim, cetakan ke empat tahun 1416. “Yang tampak (baca: dzahir) adalah disyariatkannya membaca do’a isti’adzah di setiap raka’at, berdasarkan cakupan makna umum dari firman Allah Ta’ala tersebut.

Inilah pendapat terkuat dalam madzhab Syafi’iyyah dan dikuatkan oleh Ibnu Hazm.”

II. Bacaan ta`awudz pada rakaat pertama saja

Dalil 1

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Al-Quran, mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl [16]: 98)

Dalil 2

Perhatikan hadits tentang adanya perintah untuk membaca ta`awudz jelas terlihat bahwa kaifiyat tentang bacaan ta`awudz hanya ada setelah takbiratul ihram atau rakaat pertama saja.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ بِاللَّيْلِ كَبَّرَ ثُمَّ يَقُولُ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا ثُمَّ يَقُولُ أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ

Sunan Tirmidzi 225: …Dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata: "Jika Rasulullah berdiri untuk shalat malam, beliau bertakbir dan membaca: "SUBHAANAKA ALLAHUMMA WA BIHAMDIKA WA TABAARAKAS MUKA WA TA'ALA JADDUKA WA LAA ILAAHA ILLAA GHAIRUKA (Maha Suci Engkau Ya Allah, aku memuji-Mu, Maha Berkah akan nama-Mu, Maha Tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau), " lalu membaca: "ALLAHU AKBAR KABIIRA (Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya), " lalu membaca: "A'UUDZU BILLAHIS SAMI'IL AlIIM MINASY SYAITHANIR RAJIIM MIN HAMZIHI WA NAFKHIHI WA NAFSIHI (Aku berlidung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari godaan, tiupan dan bisikannya)."

Dalil 3

عَنْ صَفْوَانَ بْنِ يَعْلَى عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ عَلَى الْمِنْبَرِ{ وَنَادَوْا يَا مَالِكُ } قَالَ سُفْيَانُ فِي قِرَاءَةِ عَبْدِ اللَّهِ وَنَادَوْا يَا مَالِ

Shahih Bukhari 2991:… Dari Shafwan bin Ya'laa dari bapaknya radliyallahu 'anhu berkata: Aku mendengar Nabi membaca suatu ayat di atas mimbar: { Wa naadaw yaa maalik (Mereka berseru: "hai maalik") (QS. Az-Zukhruf: 77). Sufyan berkata: menurut bacaan 'Abdullah (bin Mas'ud): "Wa naadaw yaa maal" (tanpa huruf kaaf).

Dalil 1, menunjukkan bahwa sunnah membaca ta`awudzdilakukan hanya pada rakaat pertama saja setelah do’a iftitah.

Dalil 2, adanya dalam satu kaifiyat ibadah maka membaca ta`awudz cukup dengan sekali baca, dalam Nailul Authar 2:205 Asy-Syaukani berkata yang lebih teliti mencukupkan berdasarkan apa yang diterangkan oleh sunnah bahwa mengucapkan a`udzu itu sebelum membaca pada rakaat pertama saja.

Kesimpulan sunnat membaca ta`awudz adalah dirakaat pertama saja.

c. Bacaan Al-Fatihah pada setiap rakaat

Al-Fatihah artinya pembukaan. Surat Al-Fatihah disebut juga Ummul Quran, As Sab'ul matsaany atau bisa juga disebut surat alhamdulillah. Hukum membaca Al-Fatihah adalah wajib disetiap rakaat berdasarkan dalil sebagai berikut :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ فِي الْأُولَيَيْنِ بِأُمِّ الْكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ وَفِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُخْرَيَيْنِ بِأُمِّ الْكِتَابِ وَيُسْمِعُنَا الْآيَةَ وَيُطَوِّلُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى مَا لَا يُطَوِّلُ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ وَهَكَذَا فِي الْعَصْرِ وَهَكَذَا فِي الصُّبْحِ

Shahih Bukhari 734 : … Dari 'Abdullah bin Abu Qatadah dari Bapaknya, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam shalat Zhuhur membaca Al Fatihah dan dua surah pada dua rakaat pertama. Dan pada dua rakaat akhir membaca Al Fatihah, yang terkadang ayat yang beliau baca terdengar. Beliau memanjangkannya pada rakaat pertama, dan pada rakaat keduanya tidak sepanjang pada rakaat pertama. Beliau lakukan seperti ini juga dalam shalat 'Ashar, begitu pula pada shalat Shubuh."

Kesimpulannya bahwa membaca Al-Fatihah wajib dibaca disetiap rakaat dalam shalat.

d. Bacaan surat atau ayat pada rakaat pertama dan kedua serta bila pada ada rakaat ketiga dan keempat tidak membacanya

Dalil membaca ayat atau surat hanya dilakukan pada dua rakaat pertama dalam shalat fardhu

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ فِي الْأُولَيَيْنِ بِأُمِّ الْكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ وَفِي الرَّكْعَتَيْنِ الْأُخْرَيَيْنِ بِأُمِّ الْكِتَابِ وَيُسْمِعُنَا الْآيَةَ وَيُطَوِّلُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى مَا لَا يُطَوِّلُ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ وَهَكَذَا فِي الْعَصْرِ وَهَكَذَا فِي الصُّبْحِ

Shahih Bukhari 734 … Dari 'Abdullah bin Abu Qatadah dari Bapaknya, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam shalat Zhuhur membaca Al Fathihah dan dua surah pada dua rakaat pertama. Dan pada dua rakaat akhir membaca Al Fatihah, yang terkadang ayat yang beliau baca terdengar. Beliau memanjangkannya pada rakaat pertama, dan pada rakaat keduanya tidak sepanjang pada rakaat pertama. Beliau lakukan seperti ini juga dalam shalat 'Ashar, begitu pula pada shalat Shubuh."

Dengan keterangan-keterangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa bacaan ayat atau surat dalam Al-Quran adalah pada rakaat pertama dan kedua saja, sedangkan pada ada rakaat ketiga dan keempat tidak membacanya

e. Ikhtilaf dalam bangkit dari sujud untuk berdiri

I. Tentang kaifiyat bangkit dari tasyahud awal

Mari perhatikan Hadits berikut :

Dalil 1

صحيح البخاري ٧٦١: … عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ وَأَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَكَانَ يُكَبِّرُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ وَغَيْرِهَا فِي رَمَضَانَ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ مِنْ الْجُلُوسِ فِي الِاثْنَتَيْنِ

Shahih Bukhari 761: … Dari Az Zuhri berkata: telah mengabarkan kepadaku Abu Bakar bin 'Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam dan Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Abu Hurairah bertakbir dalam setiap shalat yang wajib dan yang lainnya baik pada bulan Ramadlan maupun di luar Ramadlan... Kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya dari sujud, kemudian bertakbir lagi ketika akan sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya dari sujud, dan ketika bangkit berdiri dari duduk setelah dua rakaat (tasyahud awal) ia juga bertakbir kembali.

Dalil 2

صحيح ابن حبان ١٨٦٧: … فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ‏:‏ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ، رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا صَنَعَ عِنْدَ افْتِتَاحِ الصَّلاَةِ

Shahih Ibnu Hibban 1867:. … Abu Humaid berkata, “Aku adalah orang yang paling mengetahui shalat Rasulullah … Kemudian beliau berdiri dan melakukan seperti demikian pada rakaat lainnya.Bila beliau hendak bangun dari dua rakaat, beliau mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua bahu, seperti yang dilakukan ketika memulai shalat. Beliau melakukan yang demikian pada seluruh shalatnya …

Dalil 1 keterangan “dan ketika bangkit berdiri dari duduk setelah dua rakaat (tasyahud awal) ia juga bertakbir kembali. Dan dalam setiap rakaat shalat dia mengerjakan seperti itu”. Hal ini menunjukkan akan kesamaan kaifiyat bangkit dari sujud dengan kaifiyat bangkit dari tasyahud awal

Dalil 2 keterangan “Kemudian beliau berdiri dan melakukan seperti demikian pada rakaat lainnya. Bila beliau hendak bangun dari dua rakaat, beliau mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua bahu, seperti yang dilakukan ketika memulai shalat. Beliau melakukan yang demikian pada seluruh shalatnya”. hal ini menunjukkan perbedaan kaifiyat bangkit dari sujud dan bangkit dari tasyahud awal terletak pada mengangkat tangan

Kesimpulan bahwa kaifiyat bangkit berdiri dari sujud sama dengan bangkit berdiri dari tasyahud awal, yang membedakanya adalah mengangkat tangannya

II. Tentang mengepalkan tangan ke lantai ketika bangkit dari sujud

Pada dasarnya permasalahan ini terletak pada menentukan kualitas dari dua hadits utama tentang ini, berikut penjelasannya

a. Dari Abdullah bin ‘Abbas Ra., ia berkata:

أَنَّ رسَوُلْ َاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُ

“Sesungguhnya Rasulullah . jika beliau (hendak) berdiri dalam shalat ’nya, beliau meletakkan kedua tangannya di atas bumi sebagaimana yang dilakukan oleh al-‘ajin (orang yang melakukan ‘ajn).”

Hadits ini tidak diketahui mukharrij (periwayat)nya, namun populer dalam bahasan para ulama diantaranya :

1. Imam Nawawi , Khulashah al-Ahkam fi Muhimmat as-Sunan wa Qawa’id al-Islam, Juz 1, hl. 423-424; Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 3, hlm. 442,

“Maka ia Hadits dla’if atau batal tidak ada sumber asalnya. Dan sekirannya shahih tentu saja maknanya bangkit sambil bertelekan dengan kedua telapak tangannya kepada tanah sebagaimana orang yang lemah, yaitu yang tua renta, dan maksudnya bukan orang yang menguli (meremas-remas dan menekan-nekan) adonan.”

2. Ibnu ash-Shalah (577-643 H/1181-1245 M) oleh Ibnu Hajar dalam at-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits ar-Rafi’I al-Kabir, Juz 1, hlm. 467 -468 berkata:

هَذَا الْحَدِيثُ لَا يَصِحُّ وَلَا يُعْرَفُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحْتَجَّ بِهِ.

“Hadits ini tidak shahih dan tidak dikenal. Tidak boleh dipergunakan sebagai hujjah.

Selanjutnya Ibnu ash-Shalah menyatakan:

وَعَمِلَ بِهَذَا كَثِيرٌ مِنْ الْعَجَمِ، وَهُوَ إثْبَاتُ هَيْئَةٍ شَرْعِيَّةٍ فِي الصَّلَاةِ لَا عَهْدَ بِهَا، بِحَدِيثٍ لَمْ يَثْبُتْ، وَلَوْ ثَبَتَ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مَعْنَاهُ، فَإِنَّ الْعَاجِنَ فِي اللُّغَةِ: هُوَ الرَّجُلُ الْمُسِنُّ، فَإِنْ كَانَ وَصْفُ الْكِبَرِ بِذَلِكَ مَأْخُوذًا مِنْ عَاجِنِ الْعَجِينِ فَالتَّشْبِيهُ فِي شِدَّةِ الِاعْتِمَادِ عِنْدَ وَضْعِ الْيَدَيْنِ لَا فِي كَيْفِيَّةِ ضَمِّ أَصَابِعِهَا،

“Cara demikian itu diamalkan oleh kebanyakan orang ‘Ajam (non Arab), yaitu menetapkan suatu cara syar’I dalam shalat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Hadits yang tidak shahih. Sekiranya Hadits itu shahih pun maknanya bukan begitu, karena kata ‘ajin secara bahasa bermakna seorang yang telah tua. Jika sekiranya sifat tua diambil dari orang yang menguli (meremas-remas dan menekan-nekan) adonan maka penyerupaannya terletak pada bertelekan dengan kuat ketika menempatkan kedua tangan, bukan pada cara mengepalkan jari-jari tangan.”

Kemudian “Al-Ghazali berkata “Jika kita mengatakan dengan huruf zay (‘Aajiz) maka bermakna seorang yang telah tua, apabila bangkit ia bertelekan dengan kedua telapak tangannya pada tanah.’ Ibnu ash-Shalah berkata, ‘Pada al-Muhkam karya al-Maghribi adh-Darir mutaakhir terdapat keterangan bahwa ‘aajin ialah orang yang bertelekan pada tanah dan mengepalkan telapak tangan. Pemaknaan ini tidak dapat diterima karena dia sendirian (yang memaknai demikian). Dia keliru dan banyak orang yang berlawanan dengannya. Seolah-olah dengan pemaknaan itu ia mendatangkan bahaya di samping ukuran kitabnya besar dengan bahaya.”

Kesimpulan hadit sini dla’if.

b. Hadits Ibnu Umar

عَنِ الْأَزْرَق بنِ قَيْسٍ : رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ. فَقُلْتُ لَهُ، فَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ يَفْعَلُهُ.

Dari Al-Azraq bin Qais, “Aku melihat Ibnu Umar melakukan ‘ajn saat shalat ketika hendak berdiri. Aku bertanya kepadanya (mengenai hal tersebut), dan ia menjawab, ‘Aku melihat Rasulullah . melakukannya’.” HR. Abu Ishaq al-Harbi (w. 285 H) dan at-Thabrani (w. 360 H).

Penjelasan rawi

Dalam Gharib al-Hadits, Juz 2, hlm. 525, Abu Ishaq al-Harbiy meriwayatkan Hadits di atas melalui rawi Ubaidullah bin Umar, dari Yunus bin Bukair, dari al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais, dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar.

Ath-Thabrani 1. Al-Mu’jam al-Awsath, Juz 3, hlm. 343, Hadits No. 3347; Al-Mu’jam al-Kabir, juz 11, hlm. 218, No. 410.

Ja’far, dari al-Hasan bin Sahl al-Hannath, dari Abdul Hamid al-Himmani, dari al-Haitsam bin ‘Ulayyah al-Bashri.dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar

Ath-Thabrani 2. Al-Mu’jam al-Awsath, Juz 4, hlm. 213, No. 4007; Juz 9, hlm. 207, No. 4154; Al-Mu’jam al-Kabir, Juz 11 , hlm. 383, No. 902

Ali bin Sa’id ar-Razi, dari Abdullah bin Umar bin Aban, dari Yunus bin Bukair, dari al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah.dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar

Dengan demikian menunjukkan bahwa jalur periwayatan Abu Ishaq al-Harbi dan ath-Thabrani bersanad tunggal, karena semuanya melalui al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar. Dengan demikian, Hadits Ibnu Umar ini disebut gharib atau fard mutlaq (benar-benar bersanad tunggal).

Para ulama berbeda pendapat dalam menilai status Hadits Ibnu Umar. Misalnya, Syaikh al-Albani menilainya sahih. Sedangkan Syaikh Bakr Abu Zaid menilainya dla’if

Berikut penjelasan yang menyatakan Haditsini shahih :

1) Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, Juz 6, hlm. 380.

“Menurut saya, ‘Dia (Yunus bin Bukair) Shaduq, Haditsnya hasan, termasuk rawi Muslim. Padanya terdapat penilaian yang tidak akan menurunkan Haditsnya dari derajat hasan, insya Allah Ta’ala. Namun, gurunya Yunus, al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah, tidak saya kenal. Tidak seorang pun ulama yang menyebutkannya. Saya khawatir terjadi sedikit perubahan nama pada riwayat itu.

Hadits itu telah diriwayatkan oleh Abu Ishaq al-Harbiy dalam kitab Gharib al-Hadits demikian: Abdullah bin Umar telah menceritakan kepada kami. Yunus bin Bukair telah menceritakan kepada kami, dari al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais, dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar, dengan Hadits itu. Al-Harbiy Tsiqah (kredibel), Imam, lagi hafizh. Maka riwayatnya lebih diutamakan dari pada riwayat Ali bin Sa’id ar-Razi. Karena dia (Ali) meski dinilai tsiqah oleh Maslamah bin Qasim, namun Adh-Daraquthni menilainya, ‘Tidak kuat.’

Maka perkataanya (ath-Thabrani) ,(“Tidak ada yang meriwayatkan Hadits ini dari al-Azraq selain al-Haitsam. Yunus bin Bukair sendirian dengan Hadits itu { Al-Mu’jam al-Awsath, Juz 9, hlm. 207, No. 4154; Al-Mu’jam al-Kabir, Juz 11 , hlm. 383, No. 902}) dalam sanad itu: al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah bersumber dari wahamnya (keragu-raguan) jika sanad itu terpelihara darinya. Yang benar adalah perkataan al-Harbiy: ‘Al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais.’ Al-Haitsam ini adalah Al-Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi. Dia telah dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban . Diriwayatkan dari al-Haitsam oleh sekelompok rawi tsiqah.”

2) Ibnu Rajab al-Hanbali, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Rajab, V: 148 berkomentar tentang pernyataan ath-Thabrani, (“Tidak ada yang meriwayatkan Hadits ini dari al-Azraq selain al-Haitsam. Yunus bin Bukair sendirian dengan Hadits itu { Al-Mu’jam al-Awsath, Juz 9, hlm. 207, No. 4154; Al-Mu’jam al-Kabir, Juz 11 , hlm. 383, No. 902}) “Dan rawi al-Haitsam ini tidak dikenal.”

Permasalahanya tinggal mengetahui siapa al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah atau Al-Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi, bila kita merujuk pada pendapat sebelumnya syeh Albany “dalam sanad itu: al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah bersumber dari wahamnya (keragu-raguan) jika sanad itu terpelihara darinya. Yang benar adalah perkataan al-Harbiy: ‘Al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais.’ Al-Haitsam ini adalah Al-Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi. Dia telah dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban . Diriwayatkan dari al-Haitsam oleh sekelompok rawi tsiqah.” Dengan tidak mengurangi rasa hormat kami kepada beliau, mari kita perhatikan ath-Thabarani menyebutkan secara lengkap nama dan nasabnya: dari Yunus bin Bukair, dari al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah, dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar, dengan ini menunjukkan bahwa Haditsini berarti dla’if, tetapi mari kita lanjutkan jikapun rawinya Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi, berikut penjelasannya.

Menurut Syaikh Albani Bahwa Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi dinyatakan tsiqah merujuk pada pernyataan ibnu hibban, berikut pernyataan ibnu hibban dalam At-Tsiqat, VII: 577, No. rawi 11.553.

الهيثم بن عمران العبسي من أهل دمشق يروى عن عطية بن قيس روى عنه الهيثم بن خارجة حدثنا الهيثم بن خارجة ثنا الهيثم بن عمران قال رأيت عطية بن قيس الكلابي يصلى على مرفقة محشوة بالريش جالسا متربعا

“Al-Haitsam bin Imran al-‘Absiy termasuk penduduk Damaskus. Ia meriwayatkan Hadits dari ‘Athiyyah bin Qais. Diriwayatkan darinya oleh al-Haitsam bin Kharijah. Al-Haitsam bin Kharijah telah menceritakan kepada kami, al-Haitsam bin Imran telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Saya melihat Athiyyah bin Qais al-Kilabiy shalat sambil duduk bersila di atas bantal berisi bulu burung.”

Pada kitab at-Tsiqat itu tidak semuanya tsiqah (kredibel) menurut Ibnu Hibban . Sebab rawi yang dimuat oleh Ibnu Hibban pada kitabnya itu terbagi kepada dua kelompok: Pertama, hanya diterangkan oleh Ibnu Hibban sendirian. Jumlahnya lebih dari 2.000 orang. Kedua, diterangkan oleh Ibnu Hibban dan lainnya. Kelompok kedua terbagi kepada dua macam:

• Diterangkan Jarh dan Ta’dil (evaluasi positif dan negatif)nya oleh Ibnu Hibban . Jumlahnya mendekati 3.000 orang.

• Tidak dikomentari oleh Ibnu Hibban . Jumlahnya lebih dari 10.000 orang. Diantara mereka sebenarnya ada yang tsiqah, shaduq, majhul (tidak dikenal pribadinya), majhul hal (tidak dikenal identitasnya), dla’if, dan munkarul hadits (Haditsnya diingkari)

Untuk menetapkan status rawi yang majhul (tidak dikenal), Ibnu Hibban memiliki kaidah atau standar tersendiri yang tidak sesuai dengan standar umum para ulama, yaitu dengan memperhatikan siapa guru atau muridnya. Apabila murid atau gurunya da’if, maka orang tersebut benar-benar majhul menurut Ibnu Hibban . Sedangkan apabila murid atau gurunya itu tsiqah, maka orang tersebut tidak majhul. Ibnu Hajar Dalam Muqaddimah al-Majruhin, I:huruf lam “Pendapat Ibnu Hibban ini adalah pendapat yang mengherankan, berbeda dengan madzhab jumhur. Dan ini metode Ibnu Hibban pada kitab-nya at-Tsiqat. Dengan demikian, apabila terdapat keterangan bahwa seorang rawi watsaqahu Ibnu Hibban (dinilai kredibel oleh Ibnu Hibban ) atau wadzakarahu Ibnu Hibban fii kitaabi at-tsiqat (diterangkan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya ats-tiqat) itu menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pendapat diantara ulama dalam menilai rawi seperti itu, yakni Ibnu Hibban menerimanya sedangkan ulama lain menolaknya.”

Dengan demikian bilapun merujuk pada rawi Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi tidak dikomentari oleh Ibnu Hibban sendiri, dan pendapat ibnu rajab menyatakan tidak dikenal berarti dapat kita simpulkan bahwa rawi tidak dikenal berarti status Haditspun dla’if.

Dengan keterangan-keteraangan yang telah disebutkan menunjukkan bahwa bertumpu pada lantai ketika akan bangkit dari sujud tidak memiliki kekuatan dalil yang kuat, dengan demikian tidak menjadi bagian dari syariat kecuali dalam keadaan masyaqqah (berat atau sulit).

f. Tentang duduk istirahat ketika bangkit untuk bediri

Ada dua kesimpulan para ulama tentang duduk istirahat yaitu :

I. Duduk istrirahat atau langsung bangkit keduanya bagian dari sunnah

II. Duduk istirahat bukan bagian dari kaifiyat dan tidak ada syariatnya tetapi menjadi kaifiyat bila ada illat.

III. Pendapat kami

Mari kita perhatikan dalil-dalil dan pendapat tentang duduk istirahat ketika bangkit untuk berdiri

I. Duduk istrirahat atau langsung bangkit keduanya bagian dari sunnah

1. Diantara dalilnya adalah Hadits Malik bin Al-Huwairits:

أنه رأى النبي صلى الله عليه و سلم يصلي فإذا كان في وتر من صلاته لم ينهض حتى يستوي قاعدا

Shahih Bukhari :“Bahwasannya nya beliau melihat Nabi shalat, apabila beliau selesai dari rakaat ganjil (satu dan tiga) maka beliau tidak bangkit sampai duduk dengan tenang”

Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 2/48, Dar Al-Kalim Ath-Thayyib “Di dalam Haditsini ada dalil disyari’atkannya duduk istirahat, yaitu duduk setelah sujud kedua sebelum bangkit ke rakaat kedua dan ke empat”

2. Syeikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu’ Fatawa Syeikh Abdul Aziz bin Baz 11/99 “Duduk istirahat adalah mustahab (dianjurkan) bagi imam, ma’mum, maupun yang shalat sendiri. Dan duduknya sejenis dengan duduk diantara dua sujud, duduknya ringan (sebentar) tidak disyari’atkan dzikir dan do’a di dalamnya. Barangsiapa meninggalkannya maka tidak mengapa.Haditst-Haditstnya telah tetap dari Nabi , dari HaditsMalik bin Al-Huwairits, dan dari Abu Humaid As-Sa’idy, dan beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum”

Kita sampaikan Hadits Abu Humaid as-Sa’idi

ثُمَّ هَوَى سَاجِدًا، ثُمَّ قَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ، ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ وَقَعَدَ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ، ثُمَّ نَهَضَ

Sunan at-Tirmidzi, 2/107: Kemudian beliau turun sujud sambil berkata Allahu akbar. Kemudian menghamparkan kakinya seraya duduk tegak lurus sehingga setiap tulang kembali kepada posisinya, kemudian beliau berdiri

II. Duduk istirahat bukan bagian dari kaifiyat dan tidak ada syariatnya tetapi menjadi kaifiyat bila ada illat.

Dalil 1. Hadits Aisyah

لَمَّا بَدَّنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَثَقُلَ كَانَ أَكْثَرُ صَلاَتِهِ جَالِسًا.

Shahih Muslim 164: “Ketika Rasulullah telah berusia lanjut dan gemuk, maka kebanyakan shalat yang beliau lakukan sambil duduk.”

Dalil 2. dari sahabat Muawiyah bin Abu Shafyan

لَا تُبَادِرُونِي بِرُكُوعٍ وَلَا بِسُجُودٍ فَإِنَّهُ مَهْمَا أَسْبِقْكُمْ بِهِ إِذَا رَكَعْتُ تُدْرِكُونِي إِذَا رَفَعْتُ وَمَهْمَا أَسْبِقْكُمْ بِهِ إِذَا سَجَدْتُ تُدْرِكُونِي إِذَا رَفَعْتُ إِنِّي قَدْ بَدَّنْتُ

Musnad Ahmad, 34/198: Nabi Shallallahu ’alaihiwasallam bersabda: “Janganlah kalian mendahuluiku dalam ruku’ dan sujud. Sebab segala ruku’ yang terlebih dahulu saya lakukan sebelum kalian, kalian bisa menyusulku saat saya mengangkat ruku’. Dan segala sujud yang kulakukan sebelum kalian, bisa kalian susul ketika saya mengangkat sujud. Sesungguhnya saya telah tua.”

Dalil 3. Dari Abu Qilabah dan Ayub, duduk dan bertumpunya kedua tangan ke tanah karena tidak mampu langsung berdiri disebabkan lanjut usia atau kelemahan lainnya

عَنْ أَبِي قِلَابَةَ قَالَ جَاءَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ فَصَلَّى بِنَا فِي مَسْجِدِنَا هَذَا فَقَالَ إِنِّي لَأُصَلِّي بِكُمْ وَمَا أُرِيدُ الصَّلَاةَ وَلَكِنْ أُرِيدُ أَنْ أُرِيَكُمْ كَيْفَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي قَالَ أَيُّوبُ فَقُلْتُ لِأَبِي قِلَابَةَ وَكَيْفَ كَانَتْ صَلَاتُهُ قَالَ مِثْلَ صَلَاةِ شَيْخِنَا هَذَا يَعْنِي عَمْرَو بْنَ سَلِمَةَ قَالَ أَيُّوبُ وَكَانَ ذَلِكَ الشَّيْخُ يُتِمُّ التَّكْبِيرَ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ عَنْ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ جَلَسَ وَاعْتَمَدَ عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ قَامَ

Shahih Bukhari 164: dari Abu Qilabah berkata, ” Malik bin Al Huwairits datang kepada kami lalu shalat bersama di masjid milik ini, kemudian berkata, “Aku bukan ingin melaksanakan shalat, tapi aku akan menerangkan kepada kalian bagaimana Nabi melaksanakan shalat.” Ayyub berkata, “Lalu aku bertanya kepada Abu Qilabah, “Bagaimana cara shalat dia?” Abu Qilabah menjawab, “Seperti shalatnya syaikh/orang yang sudah tua kita ini, yaitu ‘Amru bin Salamah.” Ayyub berkata, “orang tua kita itu selalu menyempurnakan takbir. Dan jika mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua dia duduk di atas tanah, kemudian baru berdiri.”

Dalil 4. keterangan tambahan terkait Hadits dari Ayub

قَالَ أَيُّوبُ : وَكَانَ عَمْرُو يَصْنَعُ شَيْئًا لاَ أَرَى النَّاسَ يَصْنَعُونَهُ ، كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ آخِرِ السَّجْدَتَيْنِ فِى الأُولَى وَالثَّالِثَةِ اسْتَوَى قَاعِدًا ، ثُمَّ يَقُومُ. رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ فِى الصَّحِيحِ عَنْ عَارِمٍ.

Sunan al-Kubra, 2/121: Ayub berkata “Dan Amr bin salamah melakukan apa yang tidak aku lihat para sahabat melakukannya. Dan jika mengangkat kepalanya dari dua sujud pada rakaat pertama dia duduk sejajar, kemudian baru berdiri (rakaat kedua).

Dalil 5. Atsar sahabat Abu Malik al-Asy’ari

ثُمَّ كَبَّرَ فَرَفَعَ رَأْسَهُ، ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ، ثُمَّ كَبَّرَ فَانْتَهَضَ قَائِمًا

Musnad Ahmad, 37/540: Abu Malik al-Asy’ari : “…Kemudian beliau (Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam) bersujud kemudian bertakbir sambil berdiri”

Dalil 6. Atsar sahabat an-Nu’man bin Abi Ayyas

أَدْرَكْت غَيْرَ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ، فَكَانَ إذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَالثَّالِثَةِ ، قَامَ كَمَا هُوَ وَلَمْ يَجْلِسْ

Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 395: Aku mendapati bukan hanya seorang sahabat nabi Shalallahu alaihi wa sallam mereka bila mengangkat kepalanya dari sujud pada rakaat pertama dan ketiga terbiasa untuk berdiri sebagaimana Rasulullah dan tidak duduk terlebih dahulu (duduk istirahah)

Dalil 7 Atsar sahabat Jabir radhiallahu’anhu, ia berkata:

رَمقْتُ ابنَ مَسعودٍ فرأيتُهُ يَنهَضُ علَى صدورِ قَدميهِ، ولا يَجلِسُ إذا صلَّى في أوَّلِ رَكْعةٍ حينَ يَقضي السُّجودَ

Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 394: “Aku pernah mengikuti Ibnu Mas’ud dan aku melihat beliau bangkit dari duduk dengan bertopang pada kedua kakinya. Dan beliau tidak duduk (istirahat) di rakaat pertama ketika selesai sujud.”

Dalil 1 Aisyah menyatakan bahwa ada masa dimana Nabi lanjut usia dan gemuk

Dalil 2 keterangan dari Nabi secara langsung bahwa kondisi beliau sesuai dengan apa yang dikatakan Aisyah

Dalil 3 keterangan dari sahabat bahwa karena kondisi gemuk dan tua maka melakukan duduk istirahat

Dalil 4 keterangan bahwa duduk istirahat ada masa tidak menjadi kaifiyat dalam bangkit menuju berdiri

Dalil 5 keterangan kaifiyat dengan posisi langsung berdiri

Dalil 6 dan ketujuh keterangan tidak adanya kaifiyat duduk istirahat

Dengan keterangan-keterangan yang telah disampaikan menunjukkan bahwa duduk istirahat memiliki illat dan bukan bagian dari kaifiyat, tetapi boleh dilakukan bila illatnya ada.

III. Pendapat kami

Kesimpulan Duduk istirahat bukan bagian syariat kaifiyat shalat tetapi menjadi kaifiyat bila ada illat.