Kaifiyat Turun Untuk Sujud Dan Sujud

“BERTAKBIRLAH KEMUDIAN BERANJAK TURUN, LETAKANLAH KEDUA LUTUT KEMUDIAN KEDUA TANGAN DAN BERSUJUDLAH DENGAN POSISI WAJAH YAITU KENING DAN HIDUNG RAPAT DENGAN TANAH DAN LETAKAN KEDUA TELAPAK TANGAN SEJAJAR DENGAN BAHU ATAU SEJAJAR DENGAN TELINGA, BUAT POSISI TELAPAK TANGAN KANAN DAN KIRI BERIMBANG, UNTUK JARI-JARINYA DI HADAPAKAN KE KIBLAT DAN TIDAK DI RENGGANG BERLEBIHAN, DAN KEDUA SIKU TIDAK RAPAT DENGAN RUSUK ATAU LAMBUNG, YAITU RENGGANG SEHINGGA KEDUA KETIAK KELIAHATAN, KEMUDIAN, POSISIKAN KEDUA PAHA DIRENGGANGKAN BEGITUPUN KEDUA KAKI, POSISI UJUNG JARI-JARI KEDUANYA DIARAHKAN KE KIBLAT DAN KEDUA TELAPAK KAKI DITANCAPKAN DAN LURUSKAN, SETELAH SEMUANYA THUMA’NINAH BACALAH DO’A SUJUD”

Rangkaiannya adalah sebagai berikut :

  • 1) BERTAKBIRLAH KEMUDIAN BERANJAK TURUN

  • 2) LETAKANLAH KEDUA LUTUT KEMUDIAN KEDUA TANGAN DAN BERSUJUDLAH

  • 3) POSISI WAJAH YAITU KENING DAN HIDUNG RAPAT DENGAN TANAH

  • 4) LETAKAN KEDUA TELAPAK TANGAN SEJAJAR DENGAN BAHU ATAU SEJAJAR DENGAN TELINGA

  • 5) BUAT POSISI TELAPAK TANGAN KANAN DAN KIRI BERIMBANG

  • 6) UNTUK JARI-JARINYA DI HADAPAKAN KE KIBLAT DAN TIDAK DI RENGGANG BERLEBIHAN

  • 7) DAN KEDUA SIKU TIDAK RAPAT DENGAN RUSUK ATAU LAMBUNG, YAITU RENGGANG SEHINGGA KEDUA KETIAK KELIAHATAN

  • 8) POSISIKAN KEDUA PAHA DIRENGGANGKAN BEGITUPUN KEDUA KAKI,POSISI UJUNG JARI-JARI KEDUANYA DIARAHKAN KE KIBLAT DAN KEDUA TELAPAK KAKI DITANCAPKAN DAN LURUSKAN

  • 9) SETELAH SEMUANYA THUMA’NINAH

  • 10)BACALAH DO’A SUJUD

Dalil-dalil dan keterangan

1) BERTAKBIRLAH KEMUDIAN BERANJAK TURUN

Dalil 1

أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي

Bukhari 747:… telah mengabarkan kepadaku Abu Bakar bin 'Abdurrahman bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata, … kemudian bertakbir ketika turun (sujud)…

Dalil 2

صحيح البخاري ٦٩٣: عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ

Shahih Bukhari 693: … dari Salim bin 'Abdullah dari Bapaknya, bahwa Rasulullah SAW mengangkat tangannya sejajar dengan pundaknya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk ruku’ dan ketika bangkit dari ruku’ dengan mengucapkan: 'SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH RABBANAA WA LAKAL HAMDU' Beliau tidak melakukan seperti itu ketika akan sujud."

Dalil 1 kalimat kemudian bertakbir ketika turun (sujud) menunjukkan perintah untuk bertakbir ketika turun untuk sujud

Dalil 2 kalimat bahwa Rasulullah SAW mengangkat tangannya sejajar dengan pundaknya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk ruku’ dan ketika bangkit dari ruku’ dengan mengucapkan: 'SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH RABBANAA WA LAKAL HAMDU' Beliau tidak melakukan seperti itu ketika akan sujud." Menunjukkan bahwa mengangkat tangan dilakukan ketika takbir untuk ruku’ dan ketika bangkit dari ruku’ serta tidak melakukanya pada saat turun sujud.

Kesimpulan bertakbirlah dengan tidak mengangkat tangan ketika turun sujud hal ini berbeda dengan memulai shalat, turun ruku’ dan bangkit dari ruku’ dengan mengangkat kedua tangan.

BERTAKBIRLAH KEMUDIAN BERANJAK TURUN adalah bertakbir ketika akan turun sujud dengan tidak mengangkat kedua tangan

Bertakbir kemudian beranjak turun untuk sujud adalah bertakbir kemudian beranjak turun untuk sujud dengan tidak mengangkat kedua tangan.

2) LETAKANLAH KEDUA LUTUT KEMUDIAN KEDUA TANGAN

Dalil 1

سنن الترمذي ٢٤٨: عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Sunan Tirmidzi 248: …Dari Wa'il bin Hujr ia berkata: "Aku melihat Rasulullah SAW apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila bangkit beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya." Ia

Hadits Wail ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi II:56; Al-Khatib Al-Bagdadi, Maudhihu Auhamil jam’I Wat Tafriqi II:433; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah I:318; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni I:345; Ath-Tabrani, Al-Mu’jamul kabir XII:39-40; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi I:303; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah I:477-478; Ibnu Hibban , Al-Ihsan Bi tartibi Shahibni Hibban III:190; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud I:193; An Nasai, Sunan An-Nasai II:553, II:584; As-Sunanul Kubra I:229, I:247; Al-Baihaqi, As-Sunanus Sagir I:136; As-Sunanul Kubra II:98.

Mengenai hadits ini berikut takhrij, analisis dan kesimpulan dirangkum dari tulisan Ust Amin Muchtar, (Dewan Hisbah) dalam Sigabah.com

Hadits ini Diriwayatkan oleh banyak pencatat hadits, namun semua jalur periwayatannya melalui seorang rawi bernama Syarik bin Abdullah an-Nakha’i

Siapa Syarik bin Abdullah an-Nakha’I, ( jarh wa ta’dil) berikut penjelasan beberapa Ulama:

1. Abu Zur’ah

قَالَ عَبْدُ الرَّحْمنِ سَأَلْتُ أَبَا زُرْعَةَ عَنْ شَرِيْكٍ يُحْتَجُّ بِحَدِيْثِهِ قَالَ كَانَ كَثِيْرَ الْحَدِيْثِ صَاحِبَ وَهْمٍ يَغْلَطُ أَحْيَانًا

Abdurrahman berkata, “Aku bertanya kepada Abu Zur’ah tentang Syarik, apakah haditsnya dapat dipakai hujjah?” Beliau menjawab, “Dia banyak haditsnya, shahiba wahm (orang yang ragu-ragu), kadang-kadang keliru.” (Lihat, Al-Jarh wat Ta’dil, IV:366)

2. Imam al-Mizzi, mengutip pernyataan Abu Zur’ah itu dengan redaksi:

كَانَ كَثِيْرَ الْخَطَأِ صَاحِبَ وَهْمٍ وَهُوَ يَغْلَطُ أَحْيَانًا

“Dia banyak salah, shahiba wahm (orang yang ragu-ragu), kadang-kadang keliru.” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XII:471)

3. Abu Hatim

وَقَالَ أَبُوْ حَاتِمٍ لاَ يَقُوْمُ مَقَامَ الْحُجَّةِ فِي حَدِيْثِهِ بَعْضُ الغَلَطِ

Abu Hatim berkata, “Dia tidak dapat mencapai derajat hujjah, pada haditsnya terdapat sedikit kekeliruan.” (Lihat, Al-Mughni fid Dhu’afa, I:297). Dalam kitab ad-Dhu’afa wal Matrukin karya Ibnul Jauzi (II:39) dengan redaksi

لَهُ أَغَالِيْطُ

3. Al-Juzajani

قَالَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ يَعْقُوْبَ الْجُوْزَجَانِي سَيِّءُ الْحِفْظِ مُضْطَرِّبُ الْحَدِيْثِ مَائِلٌ

Ibrahim bin Ya’qub al-Juzajani berkata, “Dia buruk hapalan, mudhtaribul hadits, maa’il.” (lihat, Tahdzibul Kamal, XII:471; Mizanul I’tidal, III:373)

4. Ya’qub bin Syaibah

وَقَالَ يَعْقُوْبُ بْنُ شَيْبَةَ شَرِيْكٌ صَدُوْقٌ ثِقَةٌ سَيِّءُ الْحِفْظِ جِدًّا

Ya’qub bin Syaibah berkata, “Syarik Shaduq, tsiqat, sangat buruk hapalan.” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XII:471)

5. Syaikh Nashiruddin al-Albani

Dari berbagai penilaian di atas Syaikh Nashiruddin Al-Albani mengambil kesimpulan

وَهُوَ سَيِّئُ الْحِفْظِ عِنْدَ جُمْهُوْرِ الأَئِمَّةِ وَبَعْضُهُمْ صَرَّحَ بِأَنَّهُ كَانَ قَدِ اخْتَلَطَ, فَلذَالِكَ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ إِذَا تَفَرَّدَ

“Dia buruk hapalan menurut jumhur imam, dan sebagian mereka menjelaskan bahwa ia sungguh mukhtalith (berubah hapalannya). Karena itu ia tidak dapat dipakai hujjah bila meriwayatkan hadits sendirian.” (Lihat, Irwaul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaris Sabil, II:76)

Analisis Kami

Pertama, penilaian sayyiul hifzhi, katsiral khata, yaghlathu, dan mudhtharribul hadits terhadap Syarik dari segi dhabt (hafalan)-nya, bukan adalah-nya (akidah dan akhlak). Pentajrihan (kritikan, celaan) terhadap seorang rawi yang demikian dapat kita terima selama rawi itu tafarrud (sendirian dalam meriwayatkan hadits) atau mukhalafah (bertentangan) dengan rawi yang tsiqat (kuat). Namun bila rawi itu tidak taffarud, artinya ia meriwayatkan hadits seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi lain yang tsiqah (kredibel) selain dia, maka haditsnya dapat diterima. Dan ini yang menjadi tolak ukur penilaian Syaikh al-Albani terhadap riwayat Syarik.

Dengan demikian, penilaian para Ulama di atas terhadap Syarik tidak berarti menolak seluruh hadits yang diriwayatkannya, namun bergantung atas tafarrud (menyendiri) atau tidaknya Syarik dalam meriwayatkan hadits. Sepanjang penelitian kami, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud tidak tafarrud, karena pada riwayat Al-Haitsami hadits tersebut diriwayatkan pula melalui rawi bernama Israil bin Yunus. (Lihat, Mawaridhud Dham-an:132 No. 487). Israil bin Yunus termasuk rijal (periwayat) yang digunakan Al-Bukhari dan Muslim. (lihat, Tahdzibul Kamal, II:515-524)

Karena itu, yang menjadi sandaran utama dalam masalah ini adalah riwayat Israil (aslun, pokok), sedangkan riwayat Syarik sebagai pelengkap keterangan (far’un, cabang)

Kedua, Syarik bin Abdullah an-Nakha’i, lahir pada tahun 95 H/713 M, dan wafat pada tahun 177 H/793. di Kuffah pada usia 82 tahun. Syarik menerima hadits dari 101 guru dan memiliki murid sebanyak 95 orang, dan yang paling banyak menerima hadits darinya adalah Ishaq bin Yusuf al-Azraq, yaitu sebanyak 9.000 hadits. Hal ini menunjukkan bahwa Syarik termasuk salah seorang hafizh atau kuat hapalan. Karena itu Yahya Bin Main mengatakan, “tsiqatun”. Abu Zur’ah berkata kepada Yahya al-Hammani, “Cukup bagimu ilmu Syarik”. Ad-Dzahabi menyatakan, “Kana Syarik min au’iyyatil ‘ilmi (Syarik termasuk diantara perbendaharaan ilmu).” Abu Ahmad bin ‘Adi mengatakan, “Syarik memiliki hadits yang banyak.” (Selengkapnya dapat dibaca pada Tahdzibul Kamal, XII:463, 472, 477; Mizanul I’Tidal, III:376; Tarikh Bagdad IX:280-282; Ma’rifatus Tsiqat, I:453; Rijal Muslim I:309-310)

Pada tahun 155 H/771 M, ketika berusia 60 tahun, ia menjadi hakim di Wasith. Satu tahun kemudian (tahun 156 H/771 M) menjadi hakim di Kuffah (Tahdzibut Tahdzib IV:336). Ketika menjadi qadhi di Kuffah inilah Syarik mukhtalith (hapalannya berubah) (Lihat, Taqribut Tahdzib I:243). Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Shalih bin Muhammad bahwa Syarik itu Shaduq dan setelah menjadi qadi di Kuffah idhthirab (rusak) hapalannya (Lihat, Tarikh Bagdad IX:285). Demikian pula menurut Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar. Ibnu Hibban menyatakan:

كَانَ فِي آخِرِ عُمْرِهِ يُخْطِىءُ فِيْمَا يَرْوِيْ تَغَيَّرَ عَلَيْهِ حِفْظُهُ

“Di akhir usianya ia keliru dalam periwayatan, hapalannya berubah.” (Lihat, al-Kawakibun Nirat, I:47).

Ibnu Hajar menyatakan:

صَدُوْقٌ يُخْطِئُ كَثِيْرًا تَغَيَّرَ حِفْظُهُ مُنْذُ وُلِّيَ القضاءَ بِالْكُوْفَةِ

“Shaduq, banyak salah, berubah hapalannya sejak diangkat jadi qadi di Kuffah.” (Lihat, Taqribut Tahdzib, I:243).

Keadaan ini menyebabkan Syarik melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan sebagian haditsnya ketika di Kuffah. Menurut Ibrahim bin Sa’id al-Jauhari, “Syarik keliru pada 400 hadits.” (Lihat, Mizanul I’tidal, III:373; Al-Kamil fi Dhu’afair Rijal, IV:8).

Dengan demikian, apabila ada jarah (kritikan) dari sebagian Ulama terhadap Syarik, maka hal itu dapat dikategorikan menjadi dua macam:

Berkaitan dengan rusaknya dhabth (hapalan) Syarik setelah menjadi qadhi (hakim) di Kuffah atau setelah tahun 155 H, ketika ia berusia 60 tahun, atau 22 tahun sebelum wafatnya.

Berkaitan dengan hadits tertentu diantara yang 400 hadits itu.

Karena itu, jarh (celaan) para Ulama tersebut tidak serta merta menolak seluruh hadits yang diriwayatkan oleh Syarik, namun ditujukan terhadap sebagian hadits yang tercakup oleh dua kategori di atas. Apabila jarh tersebut tidak didudukan seperti ini, maka akan timbul pertanyaan yang akan menolak keabsahan jarh tersebut, sebagai berikut:

Pertama: penilaian Abu Zur’ah. Abu Zur’ah (200-264 H) lahir tahun 200 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Abu Zur’ah lahir 23 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan, dari mana Abu Zur’ah tahu bahwa Syarik itu katsirul khatha, shahibu wahmin, yaghlathu ahyanan? Padahal ia tidak sezaman dengan Syarik.

Kedua: penilaian Abu Hatim. Abu Hatim (195-277 H) lahir tahun 195 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Abu Hatim lahir 18 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan: Dari mana Abu Hatim tahu bahwa Syarik itu lahu aghalith? Padahal ia tidak sezaman dengan Syarik.

Ketiga: penilaian Ibrahim bin Ya’qub. Ibrahim bin Ya’qub al-Juzajani (w. 259 H) sezaman dengan Imam Ahmad (164-241 H). Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Seandainya Ibrahim lahir pada tahun 170 H, berarti Syarik wafat ketika ia berusia 7 tahun. Pertanyaan, dari mana al-Juzajani tahu bahwa Syarik itu sayyiul hifzhi, mudhtarribul hadits? Padahal ia masih kecil ketika Syarik meninggal.

Ketiga: penilaian Ya’qub bin Syaibah. Ya’qub bin Syaibah (182- 262 H) lahir tahun 182 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Ya’qub lahir 5 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan, dari mana Ya’qub tahu bahwa Syarik itu sayyiul hifzhi? Padahal ia tdk sezaman dengan Syarik. Dan sebenarnya redaksi yang diungkapkan oleh Ya’qub bin Syaibah itu bukan jarh tetapi ta’dil (pujian) martabat VI, yakni shalihun lil i’tibar. Kalimat ini menunjukkan bahwa haditsnya tidak mutlak ditolak tetapi layak dicari penguatnya. (lihat, Ushulul Hadits, 1989:277; Manhajun Naqd, 1985:110]

Di samping itu, jarh (celaan) para Ulama di atas jelas-jelas akan bertentangan dengan ta’dil (penilaian baik) para Ulama yang sezaman dengan Syarik dan lebih mengetahui keadaannya. Misalnya Ibnu Ma’in (158-233 H) menyatakan tsiqat (al-Kawakibun Nirat, I:47); Ibnul Mubarak (118-181 H) menyatakan bahwa Syarik lebih tahu terhadap hadits orang-orang Kuffah dari pada Sufyan at-Tsauri (Al-Mughni fid Dhu’afa, I:297). Imam Ahmad (164-241 H) menyatakan bahwa syarik itu

كَانَ عَاقِلاً صَدُوْقًا مُحَدِّثًا وَكَانَ شَدِيْدًا عَلَى أَهْلِ الرَّيْبِ وَالْبِدَعِ

“Dia orang yang kuat hapalan, jujur, ahli hadits, dan sangat tegas terhadap ahli raib (tdk teguh pendirian) dan ahli bid’ah.” (Lihat, Mizanul I’tidal, III:375)

Bahkan Yahya bin Sa’id al-Qaththan (120-198 H) menyatakan, “Tsiqatun tsiqatun” (Tahdzibul Kamal, XII:468) Kalimat Tsiqatun tsiqatun menunjukkan bahwa rawi yang dinilai memiliki kredibilitas tingkat tinggi.

Namun apabila jarh (celaan) itu didudukan berdasarkan dua kategori di atas, maka jarh mereka sebenarnya tidak bertentangan dengan ta’dil (pujian) para Ulama yang sezaman dengan Syarik, yaitu

Pertama, Ta’dil (pujian) ditujukan terhadap Syarik sebelum menjadi hakim di Kuffah atau sebelum tahun 155 H. Sedangkan jarh (celaan) ditujukan terhadap Syarik setelah berubah hapalannya atau setelah menjadi hakim di Kuffah atau setelah tahun 155 H.

Kedua, Ta’dil ditujukan terhadap periwayatan 8.600 hadits. Sedangkan jarh ditujukan terhadap periwayatan 400 hadits.

Sedangkan khusus untuk jarh (celaan) al-Juzajani terhadap Syarik, kita perlu memperhatikan komentar para ahli hadits, antara lain al-Kautsari, Ibnu Hajar, ad-Dzahabi, dan as-Sakhawi, tentang jarh al-Juzajani terhadap orang-orang Kuffah. Hal ini perlu disampaikan mengingat Syarik adalah orang Kuffah. Mereka menyatakan bahwa jarh al-Juzajani terhadap orang Kuffah tidak perlu diterima, karena antara dia dan orang-orang Kuffah terjadi permusuhan disebabkan persoalan akidah (lihat, Ta’nits al-Khatib:116; Tahdzibut Tahdzib I:93; Mizanul I’tidal, I:76; Syarah al-Alfiyah:44; ar-Raf’u wat Takmil fil Jarhi wat Ta’dil:308 dan 310) Dalam ilmu hadits, jarh seperti ini disebut jarh aqran, yakni mendla’ifkan orang lain karena faktor non ilmiah, antara lain sentimen atau permusuhan.

Dengan demikian, pada asalnya periwayatan Syarik itu shahih, dan untuk mengetahui apakah suatu hadits yang diriwayatkan oleh Syarik itu shahih atau tidak perlu kajian sebagai berikut :

(a) sebelum menjadi qadhi di Kuffah (sebelum tahun 155 H) atau sesudahnya (setelah tahun 155 H)?

(b) dikelompokkan pada jumlah 8.600 atau 400?

(c) Sebelum mukhtalith (berubah hapalan) atau sesudahnya?

Maka dapat digunakan salah satu diantara tiga kriteria sebagai tolak ukur:

untuk mengetahui point (a) dapat dilihat dari aspek tarikhur riwayat, yaitu kapan hadits itu diterima dan diriwayatkan olehnya

untuk mengetahui point (b) harus dilihat dari aspek takhrij, yaitu ditelusuri seluruh riwayat Syarik dalam berbagai kitab-kitab hadits

untuk mengetahui point (c) dapat dilihat dari 2 aspek:

[1] murid yang menerimanya

Ibnu Hibban menyatakan bahwa rawi-rawi yang menerima hadits darinya di Wasith (sebelum menjadi hakim di Kuffah) maka pada periwayatan mereka tidak terjadi takhlith (shahih karena mereka menerimanya sebelum Syarik berubah hapalan), seperti Yazid bin Harun dan Ishaq al-Azraq, sedangkan rawi-rawi yang menerima hadits darinya di Kuffah (setelah mukhtalit) padanya terdapat keragu-raguan (lihat, Tahdzibut Tahdzib IV:336; Al-Kawakibun Nirat fi Ma’rifati Man ikhtalatha Minar Ruwatits Tsiqat, I:47; Al-Igtibath lima’rifati man rumiya bil ikhtilath : 60).

[2] Muttabi’’

Yaitu adanya periwayatan rawi-rawi lain yang tsiqah (kredibel) yang mendukung periwayatannya. Dan inilah yang dijadikan landasan oleh Imam Muslim ketika beliau meriwayatkan hadits Syarik dalam kitab Shahihnya, antara lain dalam Shahih Muslim, II:510

كِتَابُ الْبِرِّ وَالصِّلَةِ وَالأَدَبِ بَابُ بِرِّ الْوَالِدَيْنِ وَأَنَّهُمَا أَحَقُّ بِهِ

(Kitab berbuat baik, silturrahmi, adab – bab berbuat baik pada orang tua dan keduanya)

diterangkan oleh Abu Hurairah:

صحيح مسلم ٤٦٢٢: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ عُمَارَةَ وَابْنِ شُبْرُمَةَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ جَرِيرٍ وَزَادَ فَقَالَ نَعَمْ وَأَبِيكَ لَتُنَبَّأَنَّ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَلْحَةَ ح و حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ خِرَاشٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ كِلَاهُمَا عَنْ ابْنِ شُبْرُمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ فِي حَدِيثِ وُهَيْبٍ مَنْ أَبَرُّ وَفِي حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ طَلْحَةَ أَيُّ النَّاسِ أَحَقُّ مِنِّي بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ جَرِيرٍ

Shahih Muslim 4622: …Dari Abu Hurairah seorang laki-laki seraya berkata: 'Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak dengan kebaktianku? Beliau menjawab: 'Ibumu, lalu Ibumu, lalu Ibumu, kemudian bapakmu, kemudian orang yang terdekat denganmu dan seterusnya.' Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah Telah menceritakan kepada kami Syarik dari 'Ammarah dari Ibnu Syubrumah dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah dia berkata: Seseorang berkata kepada Nabi SAW -lalu Abu Hurairah menyebutkah Hadits yang serupa dengan Hadits Jarir dengan sedikit tambahan: 'beliau bersabda: 'Ya, dan bapakmu, sungguh aku akan memberitakan kepadamu.' Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim Telah menceritakan kepada kami Syababah Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Thalhah Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Khirasy Telah menceritakan kepada kami Habban Telah menceritakan kepada kami Wuhaib keduanya dari Ibnu Syubrumah melalui jalur ini. Di dalam Hadits Wuhaib disebutkan dengan lafadz: 'Man Abarru.' (Siapakah yang paling baik). Sedangkan di dalam Hadits Muhammad bin Thalhah dengan lafadz: 'Ayyun nas ahaqqu minni bihusnis shahbah.' -lalu dia menyebutkan lafadz yang sama dengan Hadits Jarir.-

karena menurut penelitian Muslim, hapalan dan kredibilitas Syarik dapat dibuktikan dengan adanya periwayatan rawi yang lainnya.

Berdasarkan standar kritik rawi di atas, mari kita kaji hadits Wail yang diriwayatkan oleh Syarik tentang Mendahulukan Lutut sebelum tangan ketika hendak sujud, dengan sebuah pertanyaan, apakah hadits Wail ini diriwayatkan oleh Syarik sebelum menjadi qadhi di Kuffah atau sesudahnya ? Tegasnya, sebelum taghayyur hifzhihi (berubah hapalannya) atau ba’dahu (sesudahnya) ?

Berdasarkan standar ketiga di atas, maka hadits Wail ini diriwayatkan oleh Syarik sebelum berubah hapalannya. Hal itu diketahui dengan melihat orang yang meriwayatkan darinya, yaitu Yazid bin Harun. Dengan demikian hadits ini (Mendahulukan Lutut) diterima oleh Yazid dari Syarik bin Abdillah sebelum Syarik berubah hapalannya (mukhtalit). Di samping itu, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud tidak tafarrud (menyendiri), karena pada riwayat Al-Haitsami hadits tersebut diriwayatkan pula melalui rawi bernama Israil bin Yunus. Ia termasuk rijal (periwayat) yang digunakan Al-Bukhari dan Muslim.

أخبرنا محمد بن إسحاق الثقفي حدثنا الحسن بن علي الخلال حدثنا يزيد بن هارون أنبأنا إسرائيل عن عاصم بن كليب عن أبيه عن وائل بن حجر قال رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه

…Telah mengabarkan kepada kami Muhammmad bin Ishak Atsaqopi telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Al-khalal telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun telah menerangkan kepada kami Israil dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wail bin Hujr ia berkata aku melihat Nabi SAW apabila sujud beliau meletakkan kedua lututnya sebelum tangannya dan apabila bangkit beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya…

(Lihat, Mawaridhud Zham-an:132 No. 487. Dan biografi Israil dapat dilihat pada Tahdzibul Kamal, II:515-524)

Berdasarkan analisa di atas, hemat kami periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud adalah maqbul (dapat diterima) karena: Pertama, Syarik meriwayatkan hadits tersebut sebelum terjadinya ikhtilath. Kedua, Syarik memiliki muttabi’’ (tidak menyendiri) dikuatkan oleh rawi lain yang tsiqah (kredibel), yaitu Israil bin Yunus.

Dalam riwayat lain, kita temukan jalur periwayatan berbeda sebagai penguat riwayat Syarik bin Abdullah (muttabi’’), sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ حَدِيثَ الصَّلَاةِ قَالَ فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ إِلَى الْأَرْضِ قَبْلَ أَنْ تَقَعَ كَفَّاهُ – رواه أبو داود

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ma’mar, Hajaj bin Minhal telah mengabarkan kepada kami, Hamam telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Jahadah telah mengabarkan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ayahnya (Wail); Sesungguhnya Nabi SAW. —maka Wail menerangkan hadits salat—ia berkata, “Maka ketika beliau hendak sujud kedua lututnya kena pada tanah sebelum kedua telapak tangannya.” H.r. Abu Dawud, ‘Awnul Ma’bud III : 48

Sebagian Ulama menyatakan hadits ini munqathi’ (terputus jalur periwayatan) karena Abdul Jabbartidak mendengar hadits itu dari ayahnya (Wail). (Lihat, Tuhfatul Ahwadzi, II : 134)

Hemat kami sanad Hamam bin Yahya dari Muhammad bin Jahadah riwayat Abu Daud tersebut memang munqathi, karena Abdul Jabbartidak mendengar hadits tersebut dari ayahnya (Wail). Namun bila kita perhatikan sanad Al Baihaqi di bawah ini ternyata Abdul Jabbarmenerima hadits tersebut dari ibunya (istri Wail/Ummu Yahya), ia menerima dari Wail (suaminya), dengan teks sebagai berikut:

أَخْبَرَنَا أَبُوْ بَكْرٍ الْحَارِثُ الْفَقِيْهُ أَنْبَأَنَا أَبُوْ مُحَمَّدِ بْنِ حَيَّانَ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَ ثَنَا أَبُوْ كُرَيْبٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُجْرٍ ثَنَا سَعِيْدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أُمِّهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ الله ثُمَّ سَجَدَ وَكَانَ أَوَّلُ مَا وَصَلَ إِلَى الأَرْضِ رُكْبَتَاهُ

Abu Bakar al-Harits al-Faqih telah mengabarkan kepada kami, Abu Muhamad bin Hayyan telah mengabarkan kepada kami, Muhamad bin Yahya telah menceritakan kepada kami, Abu Kureb telah menceritakan kepada kami, Muhamad bin Hujr telah menceritakan kepada kami, Sa’id bin Abdul Jabbar telah menceritakan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ibunya, dari Wail bin Hujr, ia berkata, “Aku Salat di belakang Rasul kemudian beliau sujud dan yang paling awal sampai ke lantai adalah kedua lututnya.” (Lihat, as-Sunanul Kubra, II:99)

Dengan demikian sanad hadits tersebut muttashil (bersambung), dan dapat dipergunakan sebagai syahid (penguat) bagi hadits Anas bin Malik dan Abu Hurairah sehingga derajat keduanya naik menjadi hasan lighairihi dan dapat diamalkan.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ قَالَ هَمَّامٌ وَحَدَّثَنِي شَقِيقٌ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ هَذَا وَفِي حَدِيثِ أَحَدِهِمَا وَأَكْبَرُ عِلْمِي أَنَّهُ فِي حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ وَإِذَا نَهَضَ نَهَضَ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَاعْتَمَدَ عَلَى فَخِذِهِ

“Muhammad bin Ma’mar telah menceritakan kepada kami, Hajaj bin Minhal telah mengabarkan kepada kami, Hamam telah mengabarkan kepada kami dan berkata, Syaqiq telah mengabarkan kepada kami, Ashim bin Kulaib telah menceritakan kepadaku, dari ayahnya (Kulaib bin Syihab), dari Nabi SAW. … (seperti hadits di atas).”

Selain penguat riwayat Syarik bin Abdullah (muttabi’’), juga dalam riwayat lain, kita temukan jalur periwayatan berbeda sebagai penguat riwayat Wail (Syahid), sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَرَ … ثُمَّ إنْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ حَتَّى سَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ ـ رواه البيهقي والدارقطني والحاكم ـ

Dari Anas bin malik, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW. bertakbir… Kemudian beliau turun (ke sujud) sambil bertakbir sehingga kedua lututnya mendahului kedua tangannya.” H.r. Al Baihaqi, As Sunanul Kubra II : 99; Ad Daraqutni, Sunan Ad Daraqutni I : 345; Al Hakim, Al Mustadrak I: 226. Redaksi di atas versi riwayat Al Baihaqi.

- وَقَدْ أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ الْفَقِيهُ، أنبأ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ زِيَادٍ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، ثنا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ جَدِّهِ، عَنْ [ص:144] أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِرُكْبَتَيْهِ قِيلَ يَدَيْهِ، وَلَا يَبْرُكْ بُرُوكَ الْجَمَلِ

Sungguh telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafidz, telah menerangkan Abu Bakr bin Ishak Al-Faqih, telah menerangkan Al-Hasan bin Ali bin Ziyad, telah menceritakan Ibrahim bin Musa, telah menceritakan Fudhail,, dari Abdillah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Ayahnya, dari Nabi SAW beliau bersabda: Apabila seseorang di anatara kamu sujud, maka mulailah dengan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan janganlah menderum seperti menderumnya unta. As-Sunan Al-Kubro Lilbaihaqi, Juz 2: 143

Mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak turun ke sujud, selain bersumber dari Nabi SAW. juga merujuk kepada praktek salat sahabat Nabi SAW., dalam hal ini Umar dan Ibnu Umar, sebagai berikut:

عَنْ إِبْرَاهِيْمَ أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ ـ رواه ابن أبي شيبة وعبد الرزاق ـ

Dari Ibrahim, Bahwasannya Umar menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.” H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, I : 295 dan Abdur Razaq , al-Mushannaf, II : 177

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ إِذَا سَجَدَ قَبْلَ يَدَيْهِ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ إِذَا رَفَعَ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ ـ رواه ابن أبي شيبة ـ

Dari Nafi, Sesungguhnya Ibnu Umar bila hendak sujud menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan bila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf I : 295

Berikut kita ketengahkan Ulama yang menerima kehujahan hadits Mendahulukan Lutut, antara lain:

قَالَ التِّرْمِذِيُّ : هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ مِثْلَ هَذَا عَنْ شَرِيكٍ وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

1. At-Tirmidzi berkata, “Ini hadits hasan gharib, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya seperti ini dari Syarik, dan hadits ini menjadi landasan pengamalan menurut mayoritas ahli ilmu yang berpendapat bahwa seseorang hendaklah menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya (ketika hendak sujud) dan apabila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (Lihat, Sunan At-Tirmidzi II:56) Imam asy-Syawkani mengutip perkataan at-Tirmidzi itu dengan redaksi:

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ غَيْرُ شَرِيكٍ

“Ini hadits hasan gharib, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya selain Syarik.” (Lihat, Nailul Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar II: 281)

وَقَالَ النَّوَوِيُّ : لاَ يَظْهَرُ تَرْجِيْحُ أَحَدِ الْمَذْهَبَيْنِ عَلَى الآخَرَ وَلكِنْ أَهْلُ هذَا الْمَذْهَبِ رَجَّحُوْا حَدِيْثَ وَائِلٍ وَقَالُوْا فِي أَبِيْ هُرَيْرَةَ إِنَّهُ مُضْطَرِّبٌ إِذْ قَدْ رُوِىَ عَنْهُ الأَمْرَانِ

2. An-Nawawi berkata, “Sulit untuk mentarjih (menguatkan) salah satu diantara dua madzhab, namun penganut madzhab ini menyatakan bahwa hadits Wail lebih rajih (kuat) dan mereka berkata, “Pada riwayat Abu Hurairah (mendahulukan tangan) terjadi idtirab karena telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam dua versi.” (Lihat, Subulus Salam I:38)

قَالَ الْخَطَّابِي وَغَيْرُهُ : وَحَدِيْثُ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَصَحُّ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ

Al-Khathabi dan lainnya berkata, “Hadits Wail bin Hujr lebih Shahih dari pada hadits Abu Hurairah.” (Lihat, Zadul Ma’ad, I:411)

3. Ibnu Qayyim berpendapat: “Hadits Wail lebih utama dilihat dari berbagai aspek:

1. Hadits Wail lebih tsabit (kokoh kepastian adanya) sebagaimana dinyatakan al-Khathabi dan lainnya.

2. Hadits Abu Hurairah mudhtaribul matan (ketidakpastian redaksi) sebagaimana keterangan terdahulu, karena diantara para rawi dari Abu Hurairah ada yang menyatakan bahwa sabda Nabi itu:

وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

“Dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” Ada pula yang menyatakan sebaliknya. Dan ada pula yang menyatakan

وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ

Dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya di atas kedua lututnya.”

3. Keterangan terdahulu, yaitu pernyataan al-Bukhari, ad-Daraquthni, dan lain-lain bahwa hadits tersebut mengandung ilat (cacat tersembunyi).

4. Andaikata hadits tersebut tsabit (kokoh), sungguh sekelompok ahli ilmu mendakwakan bahwa hadits tersebut mansukh (terhapus). Ibnul Mundzir berkata, “Sebagian diantara sahabat kami telah menduga bahwa menempatkan kedua tangan sebelum kedua lutut itu mansukh (terhapus).”

5. Hadits Wail sesuai dengan ketentuan larangan Nabi agar tidak menderum seperti menderumnya unta, hal itu berbeda dengan hadits Abu Hurairah.

6. Hadits Wail sesuai dengan riwayat amal sahabat, seperti Umar, Ibnu Umar, dan Ibnu Mas’ud, dan tidak ada satupun riwayat amal sahabat yang sesuai dengan hadits Abu Hurairah kecuali Umar, itu pun kontradiktif dengan amal Umar versi lainnya.

7. Hadits Wail memiliki syahid (penguat) melalui hadits Ibnu Umar dan Anas, sebagaimana diterangkan terdahulu, sedangkan hadits Abu Hurairah tidak memiliki syahid, maka kalau keduanya berlawanan tentu saja hadits Wail bin Hujr didahulukan karena syawahid (penguat)nya dan hadits Wail lebih kuat.

8. Sesungguhnya mayoritas orang-orang berpegang pada hadits itu, sedangkan pendapat yang lain hanya bersumber dari al-Auza’i dan Malik. Adapun perkataan Ibnu Abu Dawud: “Sesungguhnya itu (mendahulukan lutut) merupakan pendapat para ahli hadits” maksudnya pendapat sebagian diantara mereka, karena Ahmad, as-Syafi’i, dan Ishaq berpendapat sebaliknya.

9. Sesungguhnya pada hadits Wail terdapat kisah hikayat yang disusun untuk mengisahkan perbuatan Nabi, maka itu lebih terjaga kebenarannya, karena suatu hadits yang mengandung kisah hikayat menunjukkan bahwa hadits itu benar-benar terpelihara.

10. Sesungguhnya berbagai perbuatan yang dihikayatkan pada hadits yang semuanya tsabit (kokoh) lagi shahih melalui periwayatan lainnya, maka hal itu merupakan perbuatan yang sudah dikenal lagi benar adanya, dan ini salah satu aspek diantaranya, dan status shahih itu berlaku untuknya, sedangkan keterangan yang menentangnya tidak dapat melawannya. Dengan demikian sudah pasti hadits itu yang rajih (kuat). (Lihat, Zadul Ma’ad, I:215)

4. Muhamad Syamsul Haq berkata, “Mayoritas Ulama berpendapat demikian (mendahulukan lutut), dan al-Qadhi Abut Thayyib menghikayatkan (pendapat demikian juga) dari mayoritas ahli fiqih. Ibnul Mundzir menghikayatkannya sebagai pendapat Umar bin Khatab, an-Nakha’I, Muslim bin Yasar, Sufyan ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, dan Ashhabur ra’yi (madzhab rasional), dan ia berkata, ‘saya pun berpendapat demikian’.” (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, III:48)

Berdasarkan analisa di atas, hemat kami periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud adalah maqbul (dapat diterima) karena: Pertama, Syarik meriwayatkan hadits tersebut sebelum terjadinya ikhtilath. Kedua, Syarik memiliki muttabi’’ (tidak menyendiri) dikuatkan oleh rawi lain yang tsiqah (kredibel), yaitu Israil bin Yunus

Kesimpulan dengan keterangan-keterangan yang telah disebutkan letakanlah kedua lutut kemudian kedua tangan adalah posisi turun untuk sujud dengan mendahulukan kedua lutut kelantai sebelum tangan.

LETAKANLAH KEDUA LUTUT KEMUDIAN KEDUA TANGAN adalah memulai sujud dengan mendahulukan lutut sampai kepada lantai kemudian kedua tangan.

Mari perhatikan pendapat Ulama

1. Imam Syafi’i dalam al-Umm 2:272 Ar-rabi mengabarkan kepada kami dia berkata : Asyafi’i mengabarkan kapada kami saya senang sekiranya orang orang yang shalat … lalu dia turun ke tempat sujud . kemudian, yang pertama diletakan dari tubuhnya pada tanah adalah kedua lututnya, disusul wajahnya, jika ia meletakkan wajahnya sebelum kedua tangannya, atau kedua tangannya sebelum lutut, maka saya memakruhkanya…

2. Ibnu Qudamah al-Mugni 2/88 … akan tetapi kami mempunyai hadits yang diriwayatkan oleh Wail bin Hujr… (dalil 1)… menurut Al khitabi, hadits ini lebih shahih dari pada hadits Abu Hurairah…hadits ini memberikan pengertian bahwa apa yang telah lalu meletakkan tangan sebelum kedua lutut, telah di nasakh, yaitu telah dihapus kekuatan hukumnya…

3. Syaikh Muhammmad bin Shalih Al-utsaimin dalam Sifat Shalat Nabi SAW Hal 396 “Apabila mendahulukan tangan sebelum lutut tatkala akan sujud sangat diperlukan oleh seseorang maka tidak mengapa dia melakukanya, namun jika perlu melakukanya maka zhahir hadits hadits tersebut mengindikasikan haram, karena larangan Nabi SAW melarang seseorang menderum dalam sujud menyerupai unta menderum, kita dilarang menyerupai hewan. Dan penyerupaan ini tidak diriwayatkan melainkan untuk menerangkan sesuatu yang tercela

4. Dewan Hisbah Persatuan Islam dalam Ikhtisar vol 1 10 masalah seputar shalat dan isbal hal 8 kesimpulan kaifiyat turun sujud setelah i’tidal ada ruku’ dengan mendahulukan lutut kemudian tangan dan ketika bangkit mendahulukan tangan kemudian lutut.

a. Adapun ikhtilaf tentang turun sujud apa yang yang harus didahulukan tangan atau lutut yang sampai ke lantai berikut penjelasannya :

I. Ketika sujud yang terlebih dahulu ke lantai adalah tangan

II. Ketika sujud yang terlebih dahulu ke lantai adalah lutut

III. Ketika sujud yang terlebih dahulu ke lantai baik lutut ataupun tangan adalah pilihan dan keduanya adalah sunnah

IV. Pendapat kami

Untuk memahami permasalahan ini berikut kita jelaskan satu-satu dalil dan argumentasi yang disampaikan

Dalil 1

سنن الترمذي ٢٤٨: عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ قَالَ زَادَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ فِي حَدِيثِهِ قَالَ يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ وَلَمْ يَرْوِ شَرِيكٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ إِلَّا هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ مِثْلَ هَذَا عَنْ شَرِيكٍ وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَرَوَى هَمَّامٌ عَنْ عَاصِمٍ هَذَا مُرْسَلًا وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ

Sunan Tirmidzi 248: Dari Wa'il bin Hujr ia berkata: "Aku melihat Rasulullah SAW apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila bangkit beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya." Ia

Hadits Wail ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi II:56; Al-Khatib Al-Bagdadi, Maudhihu Auhamil jam’I Wat Tafriqi II:433; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah I:318; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni I:345; Ath-Tabrani, Al-Mu’jamul kabir XII:39-40; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi I:303; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah I:477-478; Ibnu Hibban , Al-Ihsan Bi tartibi Shahibni Hibban III:190; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud I:193; An Nasai, Sunan An-Nasai II:553, II:584; As-Sunanul Kubra I:229, I:247; Al-Baihaqi, As-Sunanus Sagir I:136; As-Sunanul Kubra II:98.

Dalil 2

سنن أبي داوود ٧١٤: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَسَنٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Sunan Abu Daud 714: Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Manshur telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdullah bin Hasan dari Abu Az Zinnad dari Al A'raj dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apabila salah seorang dari kalian sujud, maka janganlah menderum sebagaimana unta menderum, akan tetapi hendaknya ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya."

Dalil 3

حدثنا الحسين بن الحسين بن عبد الرحمن القاضي ثنا محمد بن أصبغ بن الفرج ثنا أبي ثنا عبد العزيز بن محمد الدراوردي عن عبيد الله بن عمر عن نافع عن بن عمر : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان إذا سجد يضع يديه قبل ركبتيه

Telah menceritakan kepada kami al-Husain bin al-Husain bin ‘Abdurrahman al-Qadhi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ashbug bin al-Faraj, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami ‘abdul aziz bin Muhammad ad-Darawardi, dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW adalah ia ketika bersujud meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. (Sunan ad-Daruquthni 1:344 No. 2)

Dalil 4

627 - نا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ تَمَامٍ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَصْبُغُ بْنُ الْفَرَجِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ " يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ، وَقَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَفْعَلُ ذَلِكَ "قال الألباني: إسناده صحيح وصححه الحاكم

Khuzaimah No. 627 : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘amru bin tamam al-Mishry, telah menceritakan kepada kami Asbhug Ibn al-Faraji, telah menceritakan kepada kamu ‘Abdul Aziz bin Muhammad, dari ‘Ubaidillah bin Umar, dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar bahwa sesungguhnya Ibnu Umar menyimpan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Ia berkata : Rasulullah SAW melakukan hal demikian.

Berikut penjelasan pertama

I. Ketika sujud yang terlebih dahulu ke lantai adalah tangan

Dalil 1 terdapat perbincangan pada rawi

Nama Lengkap : Syarik bin 'Abdullah bin Abi Syarik

Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan

Kuniyah : Abu 'Abdullah

Negeri semasa hidup : Kuffah

Wafat : 177 H

Komentar Ulama

Ahmad bin Hambal : Shaduuq

Yahya bin Ma'in : Shaduuq tsiqah

Abu Hatim : Shaduuq

Abu Daud : Tsiqah

Ibnu Hajar Al Atsqalani : "shuduq, tedapat kesalahan"

Adz Dzahabi : Seorang tokoh

Kesimpulan hadits ini guncang / tidak kuat

Dalil 2 kalimat maka janganlah menderum sebagaimana unta menderum, akan tetapi hendaknya ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Menunjukkan dengan jelas Ketika sujud yang lebih dahulu sampai ke lantai adalah kedua tangan dan bila yang ke lantai dahulu adalah lutut berarti seperti menderum unta dan hal itu dilarang oleh Rasulullah SAW.

Adapun tentang derajat hadits dalil 1 berikut penjelasannya :

Berikut rawi yang jadi perbincangan

Nama Lengkap : Muhammad bin 'Abdullah bin Hasan

Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan tua

Kuniyah : Abu 'Abdullah

Negeri semasa hidup : Madinah

Wafat : 145 H

Pendapat Ulama

An Nasa'i : Tsiqah

Ibnu Hibban : Disebutkan dalam 'ats tsiqaat

Ibnu Hajar al 'Asqalani : Tsiqah

Imam Bukhari : Tidak mengetahui apakah Muhammad bin Abdullah bin al Hasan mendengarkan hadits dari Abi az-Zinad

Imam Tirmidzi sanad hadits tersebut tergolong gharib dari sisi Muhammad bin Abdullah bin al Hasan

Bahwa tidak bertemunya Muhammad bin Abdullah bin al Hasan dengan Abi az-Zinad dapat dipahami adanya keguncangan dalam Riwayat ini tetapi hadits ini memiliki penguat (syahid ) dari dalil 3 dan 4 yaitu kalimat “Nafi’ berkata: “Kebiasaan Ibnu ‘Umar meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. Dalil ini kuat sehingga tetaplah bahwa dalil 2 berkedudukan hasan.

Kesimpulan Hadits ini (2) lebih kuat dari pada hadits Wail (1) Ketika sujud yang didahulukan menempel ke tanah adalah kedua tangan adalah bagian dari sunnah dan bila yang mendahulukan lutut berarti seperti menderum unta dan hal itu dilarang oleh Rasulullah SAW

Mari perhatikan pendapat Ulama

1. al-Auza’I, Malik, Ibnu Hazm, dan Ahmad pada salah satu versi riwayat , hal ini disampaikan oleh Muhamad Syamsul Haq berkata, “(Mendahulukan tangan) menjadi pendapat al-Auza’I, Malik, Ibnu Hazm, dan Ahmad pada salah satu versi riwayat. Ibnu Abu Dawud berkata, ‘Ini pun merupakan pendapat para ahli hadits’.” (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, III:50)

2. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini lebih kuat dari pada hadits Wail, ‘Saya melihat Nabi apabila hendak sujud menempatkan kedua lututnya’ ditakhrij oleh imam yang empat, karena hadits pertama (Abu Hurairah) memiliki syahid (penguat), yaitu hadits Ibnu Umar yang dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan diterangkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq mauquf.” (Lihat, Bulughul Maram, hlm. 78-79)

3. Al-Hafizh Ibnu Sayyidin Nas berkata, “Hadits-hadits menempatkan tangan sebelum lutut lebih kuat. Hadits Abu Hurairah layak masuk dalam kategori hasan menurut kriteria at-Tirmidzi, karena para rawinya selamat dari jarh (celaan).” (Lihat, Nailul Awthar, II:281)

4. As-Syaukani berkata, “Hadits Abu Hurairah adalah hadits qawli (ucapan) sedangkan hadits Wail hikayat fi’il (cerita perbuatan), dan qawl lebih kuat.” (Lihat, Nailul Awthar, I:269)

II. Ketika sujud yang terlebih dahulu ke lantai adalah lutut

Analisis dalil 1 Hadits Wail ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi II:56; Al-Khatib Al-Bagdadi, Maudhihu Auhamil jam’I Wat Tafriqi II:433; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah I:318; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni I:345; Ath-Tabrani, Al-Mu’jamul kabir XII:39-40; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi I:303; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah I:477-478; Ibnu Hibban , Al-Ihsan Bi tartibi Shahibni Hibban III:190; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud I:193; An Nasai, Sunan An-Nasai II:553, II:584; As-Sunanul Kubra I:229, I:247; Al-Baihaqi, As-Sunanus Shagir I:136; As-Sunanul Kubra II:98.

Mengenai hadits ini berikut takhrij, analisis dan kesimpulan dirangkum dari tulisan Ust Amin Muchtar, (Dewan Hisbah) dalam sigabah.com

Hadits ini Diriwayatkan oleh banyak pencatat hadits, namun semua jalur periwayatannya melalui seorang rawi bernama Syarik bin Abdullah an-Nakha’i

Siapa Syarik bin Abdullah an-Nakha’I, ( jarh wa Ta’dil) berikut penjelasan beberapa Ulama

1. Abu Zur’ah

قَالَ عَبْدُ الرَّحْمنِ سَأَلْتُ أَبَا زُرْعَةَ عَنْ شَرِيْكٍ يُحْتَجُّ بِحَدِيْثِهِ قَالَ كَانَ كَثِيْرَ الْحَدِيْثِ صَاحِبَ وَهْمٍ يَغْلَطُ أَحْيَانًا

Abdurrahman berkata, “Aku bertanya kepada Abu Zur’ah tentang Syarik, apakah haditsnya dapat dipakai hujjah?” Beliau menjawab, “Dia banyak haditsnya, shahiba wahm (orang yang ragu-ragu), kadang-kadang keliru.” (Lihat, Al-Jarh wat Ta’dil, IV:366)

2. Imam al-Mizzi, mengutip pernyataan Abu Zur’ah itu dengan redaksi:

كَانَ كَثِيْرَ الْخَطَأِ صَاحِبَ وَهْمٍ وَهُوَ يَغْلَطُ أَحْيَانًا

“Dia banyak salah, shahiba wahm (orang yang ragu-ragu), kadang-kadang keliru.” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XII:471)

3. Abu Hatim

وَقَالَ أَبُوْ حَاتِمٍ لاَ يَقُوْمُ مَقَامَ الْحُجَّةِ فِي حَدِيْثِهِ بَعْضُ الغَلَطِ

Abu Hatim berkata, “Dia tidak dapat mencapai derajat hujjah, pada haditsnya terdapat sedikit kekeliruan.” (Lihat, Al-Mughni fid Dhu’afa, I:297). Dalam kitab ad-Dhu’afa wal Matrukin karya Ibnul Jauzi (II:39) dengan redaksi

لَهُ أَغَالِيْطُ

3. Al-Juzajani

قَالَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ يَعْقُوْبَ الْجُوْزَجَانِي سَيِّءُ الْحِفْظِ مُضْطَرِّبُ الْحَدِيْثِ مَائِلٌ

Ibrahim bin Ya’qub al-Juzajani berkata, “Dia buruk hapalan, mudhtaribul hadits, maa’il.” (lihat, Tahdzibul Kamal, XII:471; Mizanul I’tidal, III:373)

4. Ya’qub bin Syaibah

وَقَالَ يَعْقُوْبُ بْنُ شَيْبَةَ شَرِيْكٌ صَدُوْقٌ ثِقَةٌ سَيِّءُ الْحِفْظِ جِدًّا

Ya’qub bin Syaibah berkata, “Syarik Shaduq, tsiqat, sangat buruk hapalan.” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XII:471)

5. Syaikh Nashiruddin al-Albani

Dari berbagai penilaian di atas Syaikh Nashiruddin Al-Albani mengambil kesimpulan

وَهُوَ سَيِّئُ الْحِفْظِ عِنْدَ جُمْهُوْرِ الأَئِمَّةِ وَبَعْضُهُمْ صَرَّحَ بِأَنَّهُ كَانَ قَدِ اخْتَلَطَ, فَلذَالِكَ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ إِذَا تَفَرَّدَ

“Dia buruk hapalan menurut jumhur imam, dan sebagian mereka menjelaskan bahwa ia sungguh mukhtalith (berubah hapalannya). Karena itu ia tidak dapat dipakai hujjah bila meriwayatkan hadits sendirian.” (Lihat, Irwaul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaris Sabil, II:76)

Analisis Kami

Pertama, penilaian sayyiul hifzhi, katsiral khata, yaghlathu, dan mudhtharribul hadits terhadap Syarik dari segi dhabt (hafalan)-nya, bukan adalah-nya (akidah dan akhlak). Pentajrihan (kritikan, celaan) terhadap seorang rawi yang demikian dapat kita terima selama rawi itu tafarrud (sendirian dalam meriwayatkan hadits) atau mukhalafah (bertentangan) dengan rawi yang tsiqat (kuat). Namun bila rawi itu tidak taffarud, artinya ia meriwayatkan hadits seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi lain yang tsiqah (kredibel) selain dia, maka haditsnya dapat diterima. Dan ini yang menjadi tolak ukur penilaian Syaikh al-Albani terhadap riwayat Syarik.

Dengan demikian, penilaian para Ulama di atas terhadap Syarik tidak berarti menolak seluruh hadits yang diriwayatkannya, namun bergantung atas tafarrud (menyendiri) atau tidaknya Syarik dalam meriwayatkan hadits. Sepanjang penelitian kami, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud tidak tafarrud, karena pada riwayat Al-Haitsami hadits tersebut diriwayatkan pula melalui rawi bernama Israil bin Yunus. (Lihat, Mawaridhud Dham-an:132 No. 487). Israil bin Yunus termasuk rijal (periwayat) yang digunakan Al-Bukhari dan Muslim. (lihat, Tahdzibul Kamal, II:515-524)

Karena itu, yang menjadi sandaran utama dalam masalah ini adalah riwayat Israil (aslun, pokok), sedangkan riwayat Syarik sebagai pelengkap keterangan (far’un, cabang)

Kedua, Syarik bin Abdullah an-Nakha’i, lahir pada tahun 95 H/713 M, dan wafat pada tahun 177 H/793. di Kuffah pada usia 82 tahun. Syarik menerima hadits dari 101 guru dan memiliki murid sebanyak 95 orang, dan yang paling banyak menerima hadits darinya adalah Ishaq bin Yusuf al-Azraq, yaitu sebanyak 9.000 hadits. Hal ini menunjukkan bahwa Syarik termasuk salah seorang hafizh atau kuat hapalan. Karena itu Yahya Bin Main mengatakan, “tsiqatun”. Abu Zur’ah berkata kepada Yahya al-Hammani, “Cukup bagimu ilmu Syarik”. Ad-Dzahabi menyatakan, “Kana Syarik min au’iyyatil ‘ilmi (Syarik termasuk diantara perbendaharaan ilmu).” Abu Ahmad bin ‘Adi mengatakan, “Syarik memiliki hadits yang banyak.” (Selengkapnya dapat dibaca pada Tahdzibul Kamal, XII:463, 472, 477; Mizanul I’Tidal, III:376; Tarikh Bagdad IX:280-282; Ma’rifatus Tsiqat, I:453; Rijal Muslim I:309-310)

Pada tahun 155 H/771 M, ketika berusia 60 tahun, ia menjadi hakim di Wasith. Satu tahun kemudian (tahun 156 H/771 M) menjadi hakim di Kuffah (Tahdzibut Tahdzib IV:336). Ketika menjadi qadhi di Kuffah inilah Syarik mukhtalith (hapalannya berubah) (Lihat, Taqribut Tahdzib I:243). Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Shalih bin Muhammad bahwa Syarik itu Shaduq dan setelah menjadi qadi di Kuffah idhthirab (rusak) hapalannya (Lihat, Tarikh Bagdad IX:285). Demikian pula menurut Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar. Ibnu Hibban menyatakan:

كَانَ فِي آخِرِ عُمْرِهِ يُخْطِىءُ فِيْمَا يَرْوِيْ تَغَيَّرَ عَلَيْهِ حِفْظُهُ

“Di akhir usianya ia keliru dalam periwayatan, hapalannya berubah.” (Lihat, al-Kawakibun Nirat, I:47).

Ibnu Hajar menyatakan:

صَدُوْقٌ يُخْطِئُ كَثِيْرًا تَغَيَّرَ حِفْظُهُ مُنْذُ وُلِّيَ القضاءَ بِالْكُوْفَةِ

“Shaduq, banyak salah, berubah hapalannya sejak diangkat jadi qadi di Kuffah.” (Lihat, Taqribut Tahdzib, I:243).

Keadaan ini menyebabkan Syarik melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan sebagian haditsnya ketika di Kuffah. Menurut Ibrahim bin Sa’id al-Jauhari, “Syarik keliru pada 400 hadits.” (Lihat, Mizanul I’tidal, III:373; Al-Kamil fi Dhu’afair Rijal, IV:8).

Dengan demikian, apabila ada jarah (kritikan) dari sebagian Ulama terhadap Syarik, maka hal itu dapat dikategorikan menjadi dua macam:

Berkaitan dengan rusaknya dhabth (hapalan) Syarik setelah menjadi qadhi (hakim) di Kuffah atau setelah tahun 155 H, ketika ia berusia 60 tahun, atau 22 tahun sebelum wafatnya.

Berkaitan dengan hadits tertentu diantara yang 400 hadits itu.

Karena itu, jarh (celaan) para Ulama tersebut tidak serta merta menolak seluruh hadits yang diriwayatkan oleh Syarik, namun ditujukan terhadap sebagian hadits yang tercakup oleh dua kategori di atas. Apabila jarh tersebut tidak didudukan seperti ini, maka akan timbul pertanyaan yang akan menolak keabsahan jarh tersebut, sebagai berikut:

Pertama: penilaian Abu Zur’ah. Abu Zur’ah (200-264 H) lahir tahun 200 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Abu Zur’ah lahir 23 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan, dari mana Abu Zur’ah tahu bahwa Syarik itu katsirul khatha, shahibu wahmin, yaghlathu ahyanan? Padahal ia tidak sezaman dengan Syarik.

Kedua: penilaian Abu Hatim. Abu Hatim (195-277 H) lahir tahun 195 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Abu Hatim lahir 18 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan: Dari mana Abu Hatim tahu bahwa Syarik itu lahu aghalith? Padahal ia tidak sezaman dengan Syarik.

Ketiga: penilaian Ibrahim bin Ya’qub. Ibrahim bin Ya’qub al-Juzajani (w. 259 H) sezaman dengan Imam Ahmad (164-241 H). Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Seandainya Ibrahim lahir pada tahun 170 H, berarti Syarik wafat ketika ia berusia 7 tahun. Pertanyaan, dari mana al-Juzajani tahu bahwa Syarik itu sayyiul hifzhi, mudhtarribul hadits? Padahal ia masih kecil ketika Syarik meninggal.

Ketiga: penilaian Ya’qub bin Syaibah. Ya’qub bin Syaibah (182- 262 H) lahir tahun 182 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Ya’qub lahir 5 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan, dari mana Ya’qub tahu bahwa Syarik itu sayyiul hifzhi? Padahal ia tidak sezaman dengan Syarik. Dan sebenarnya redaksi yang diungkapkan oleh Ya’qub bin Syaibah itu bukan jarh tetapi ta’dil (pujian) martabat VI, yakni shalihun lil i’tibar. Kalimat ini menunjukkan bahwa haditsnya tidak mutlak ditolak tetapi layak dicari penguatnya. (lihat, Ushulul Hadits, 1989:277; Manhajun Naqd, 1985:110]

Di samping itu, jarh (celaan) para Ulama di atas jelas-jelas akan bertentangan dengan ta’dil (penilaian baik) para Ulama yang sezaman dengan Syarik dan lebih mengetahui keadaannya. Misalnya Ibnu Ma’in (158-233 H) menyatakan tsiqat (al-Kawakibun Nirat, I:47); Ibnul Mubarak (118-181 H) menyatakan bahwa Syarik lebih tahu terhadap hadits orang-orang Kuffah dari pada Sufyan at-Tsauri (Al-Mughni fid Dhu’afa, I:297). Imam Ahmad (164-241 H) menyatakan bahwa syarik itu

كَانَ عَاقِلاً صَدُوْقًا مُحَدِّثًا وَكَانَ شَدِيْدًا عَلَى أَهْلِ الرَّيْبِ وَالْبِدَعِ

“Dia orang yang kuat hapalan, jujur, ahli hadits, dan sangat tegas terhadap ahli raib (tdk teguh pendirian) dan ahli bid’ah.” (Lihat, Mizanul I’tidal, III:375)

Bahkan Yahya bin Sa’id al-Qaththan (120-198 H) menyatakan, “Tsiqatun tsiqatun” (Tahdzibul Kamal, XII:468) Kalimat Tsiqatun tsiqatun menunjukkan bahwa rawi yang dinilai memiliki kredibilitas tingkat tinggi.

Namun apabila jarh (celaan) itu didudukan berdasarkan dua kategori di atas, maka jarh mereka sebenarnya tidak bertentangan dengan ta’dil (pujian) para Ulama yang sezaman dengan Syarik, yaitu

Pertama, Ta’dil (pujian) ditujukan terhadap Syarik sebelum menjadi hakim di Kuffah atau sebelum tahun 155 H. Sedangkan jarh (celaan) ditujukan terhadap Syarik setelah berubah hapalannya atau setelah menjadi hakim di Kuffah atau setelah tahun 155 H.

Kedua, Ta’dil ditujukan terhadap periwayatan 8.600 hadits. Sedangkan jarh ditujukan terhadap periwayatan 400 hadits.

Sedangkan khusus untuk jarh (celaan) al-Juzajani terhadap Syarik, kita perlu memperhatikan komentar para ahli hadits, antara lain al-Kautsari, Ibnu Hajar, ad-Dzahabi, dan as-Sakhawi, tentang jarh al-Juzajani terhadap orang-orang Kuffah. Hal ini perlu disampaikan mengingat Syarik adalah orang Kuffah. Mereka menyatakan bahwa jarh al-Juzajani terhadap orang Kuffah tidak perlu diterima, karena antara dia dan orang-orang Kuffah terjadi permusuhan disebabkan persoalan akidah (lihat, Ta’nits al-Khatib:116; Tahdzibut Tahdzib I:93; Mizanul I’tidal, I:76; Syarah al-Alfiyah:44; ar-Raf’u wat Takmil fil Jarhi wat Ta’dil:308 dan 310) Dalam ilmu hadits, jarh seperti ini disebut jarh aqran, yakni mendaifkan orang lain karena faktor non ilmiah, antara lain sentimen atau permusuhan.

Dengan demikian, pada asalnya periwayatan Syarik itu shahih, dan untuk mengetahui apakah suatu hadits yang diriwayatkan oleh Syarik itu shahih atau tidak perlu kajian sebagai berikut :

(a) sebelum menjadi qadhi di Kuffah (sebelum tahun 155 H) atau sesudahnya (setelah tahun 155 H)?

(b) dikelompokkan pada jumlah 8.600 atau 400?

(c) Sebelum mukhtalith (berubah hapalan) atau sesudahnya?

Maka dapat digunakan salah satu diantara tiga kriteria sebagai tolak ukur:

untuk mengetahui point (a) dapat dilihat dari aspek tarikhur riwayat, yaitu kapan hadits itu diterima dan diriwayatkan olehnya

untuk mengetahui point (b) harus dilihat dari aspek takhrij, yaitu ditelusuri seluruh riwayat Syarik dalam berbagai kitab-kitab hadits

untuk mengetahui point (c) dapat dilihat dari 2 aspek:

[1] murid yang menerimanya

Ibnu Hibban menyatakan bahwa rawi-rawi yang menerima hadits darinya di Wasith (sebelum menjadi hakim di Kuffah) maka pada periwayatan mereka tidak terjadi takhlith (shahih karena mereka menerimanya sebelum Syarik berubah hapalan), seperti Yazid bin Harun dan Ishaq al-Azraq, sedangkan rawi-rawi yang menerima hadits darinya di Kuffah (setelah mukhtalit) padanya terdapat keragu-raguan (lihat, Tahdzibut Tahdzib IV:336; Al-Kawakibun Nirat fi Ma’rifati Man ikhtalatha Minar Ruwatits Tsiqat, I:47; Al-Igtibath lima’rifati man rumiya bil ikhtilath : 60).

[2] Muttabi’’

Yaitu adanya periwayatan rawi-rawi lain yang tsiqah (kredibel) yang mendukung periwayatannya. Dan inilah yang dijadikan landasan oleh Imam Muslim ketika beliau meriwayatkan hadits Syarik dalam kitab Shahihnya, antara lain dalam Shahih Muslim, II:510

كِتَابُ الْبِرِّ وَالصِّلَةِ وَالأَدَبِ بَابُ بِرِّ الْوَالِدَيْنِ وَأَنَّهُمَا أَحَقُّ بِهِ

(Kitab berbuat baik, silturrahmi, adab – bab berbuat baik pada orang tua dan keduanya)

diterangkan oleh Abu Hurairah:

صحيح مسلم ٤٦٢٢: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ عُمَارَةَ وَابْنِ شُبْرُمَةَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ جَرِيرٍ وَزَادَ فَقَالَ نَعَمْ وَأَبِيكَ لَتُنَبَّأَنَّ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَلْحَةَ ح و حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ خِرَاشٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ كِلَاهُمَا عَنْ ابْنِ شُبْرُمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ فِي حَدِيثِ وُهَيْبٍ مَنْ أَبَرُّ وَفِي حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ طَلْحَةَ أَيُّ النَّاسِ أَحَقُّ مِنِّي بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ جَرِيرٍ

Shahih Muslim 4622: Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al A'laa Al Mahdani: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail dari Bapaknya dari 'Umarah bin Al Qa'qa' dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah seorang laki-laki seraya berkata: 'Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak dengan kebaktianku? Beliau menjawab: 'Ibumu, lalu Ibumu, lalu Ibumu, kemudian bapakmu, kemudian orang yang terdekat denganmu dan seterusnya.' Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah Telah menceritakan kepada kami Syarik dari 'Ammarah dari Ibnu Syubrumah dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah dia berkata: Seseorang berkata kepada Nabi SAW -lalu Abu Hurairah menyebutkah Hadits yang serupa dengan Hadits Jarir dengan sedikit tambahan: 'beliau bersabda: 'Ya, dan bapakmu, sungguh aku akan memberitakan kepadamu.' Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim Telah menceritakan kepada kami Syababah Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Thalhah Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Khirasy Telah menceritakan kepada kami Habban Telah menceritakan kepada kami Wuhaib keduanya dari Ibnu Syubrumah melalui jalur ini. Di dalam Hadits Wuhaib disebutkan dengan lafadz: 'Man Abarru.' (Siapakah yang paling baik). Sedangkan di dalam Hadits Muhammad bin Thalhah dengan lafadz: 'Ayyun nas ahaqqu minni bihusnis shahbah.' -lalu dia menyebutkan lafadz yang sama dengan Hadits Jarir.-

karena menurut penelitian Muslim, hapalan dan kredibilitas Syarik dapat dibuktikan dengan adanya periwayatan rawi yang lainnya.

Berdasarkan standar kritik rawi di atas, mari kita kaji hadits Wail yang diriwayatkan oleh Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud, dengan sebuah pertanyaan, apakah hadits Wail ini diriwayatkan oleh Syarik sebelum menjadi qadhi di Kuffah atau sesudahnya ? Tegasnya, sebelum taghayyur hifzhihi (berubah hapalannya) atau ba’dahu (sesudahnya) ?

Berdasarkan standar ketiga di atas, maka hadits Wail ini diriwayatkan oleh Syarik sebelum berubah hapalannya. Hal itu diketahui dengan melihat orang yang meriwayatkan darinya, yaitu Yazid bin Harun. Dengan demikian hadits ini (Mendahulukan Lutut) diterima oleh Yazid dari Syarik bin Abdillah sebelum Syarik berubah hapalannya (mukhtalit). Di samping itu, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud tidak tafarrud (menyendiri), karena pada riwayat Al-Haitsami hadits tersebut diriwayatkan pula melalui rawi bernama Israil bin Yunus. Ia termasuk rijal (periwayat) yang digunakan Al-Bukhari dan Muslim.

أخبرنا محمد بن إسحاق الثقفي حدثنا الحسن بن علي الخلال حدثنا يزيد بن هارون أنبأنا إسرائيل عن عاصم بن كليب عن أبيه عن وائل بن حجر قال رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه

…Telah mengabarkan kepada kami Muhammmad bin Ishak Atsaqofi telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Alkholal telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun telah menerangkan kepada kami isroil dari ahim bin kulaib dari ayahnya dari wail bin hujr ia berkata aku melihat Nabi SAW apabila sujud beliau meletakkan kedua lututnya sebelum tangannya dan apabila bangkit beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya…

(Lihat, Mawaridhud Zham-an:132 No. 487. Dan biografi Israil dapat dilihat pada Tahdzibul Kamal, II:515-524)

Berdasarkan analisa di atas, hemat kami periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud adalah maqbul (dapat diterima) karena: Pertama, Syarik meriwayatkan hadits tersebut sebelum terjadinya ikhtilath. Kedua, Syarik memiliki muttabi’’ (tidak menyendiri) dikuatkan oleh rawi lain yang tsiqah (kredibel), yaitu Israil bin Yunus.

Dalam riwayat lain, kita temukan jalur periwayatan berbeda sebagai penguat riwayat Syarik bin Abdullah (muttabi’’), sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ حَدِيثَ الصَّلَاةِ قَالَ فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ إِلَى الْأَرْضِ قَبْلَ أَنْ تَقَعَ كَفَّاهُ – رواه أبو داود

Abu Dawud berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ma’mar, Hajaj bin Minhal telah mengabarkan kepada kami, Hamam telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Jahadah telah mengabarkan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ayahnya (Wail); Sesungguhnya Nabi SAW. —maka Wail menerangkan hadits salat—ia berkata, “Maka ketika beliau hendak sujud kedua lututnya kena pada tanah sebelum kedua telapak tangannya.” H.r. Abu Dawud, ‘Awnul Ma’bud III : 48

Sebagian Ulama menyatakan hadits ini munqathi’ (terputus jalur periwayatan) karena Abdul Jabbartidak mendengar hadits itu dari ayahnya (Wail). (Lihat, Tuhfatul Ahwadzi, II : 134)

Hemat kami sanad Hamam bin Yahya dari Muhammad bin Jahadah riwayat Abu Daud tersebut memang munqathi, karena Abdul Jabbartidak mendengar hadits tersebut dari ayahnya (Wail). Namun bila kita perhatikan sanad Al Baihaqi di bawah ini ternyata Abdul Jabbarmenerima hadits tersebut dari ibunya (istri Wail/Ummu Yahya), ia menerima dari Wail (suaminya), dengan teks sebagai berikut:

أَخْبَرَنَا أَبُوْ بَكْرٍ الْحَارِثُ الْفَقِيْهُ أَنْبَأَنَا أَبُوْ مُحَمَّدِ بْنِ حَيَّانَ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَ ثَنَا أَبُوْ كُرَيْبٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُجْرٍ ثَنَا سَعِيْدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أُمِّهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ الله ثُمَّ سَجَدَ وَكَانَ أَوَّلُ مَا وَصَلَ إِلَى الأَرْضِ رُكْبَتَاهُ

Abu Bakar al-Harits al-Faqih telah mengabarkan kepada kami, Abu Muhamad bin Hayyan telah mengabarkan kepada kami, Muhamad bin Yahya telah menceritakan kepada kami, Abu Kureb telah menceritakan kepada kami, Muhamad bin Hujr telah menceritakan kepada kami, Sa’id bin Abdul Jabbar telah menceritakan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ibunya, dari Wail bin Hujr, ia berkata, “Aku Salat di belakang Rasul kemudian beliau sujud dan yang paling awal sampai ke lantai adalah kedua lututnya.” (Lihat, as-Sunanul Kubra, II:99)

Dengan demikian sanad hadits tersebut muttashil (bersambung), dan dapat dipergunakan sebagai syahid (penguat) bagi hadits Anas bin Malik dan Abu Hurairah sehingga derajat keduanya naik menjadi hasan lighairihi dan dapat diamalkan.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ قَالَ هَمَّامٌ وَحَدَّثَنِي شَقِيقٌ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ هَذَا وَفِي حَدِيثِ أَحَدِهِمَا وَأَكْبَرُ عِلْمِي أَنَّهُ فِي حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ وَإِذَا نَهَضَ نَهَضَ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَاعْتَمَدَ عَلَى فَخِذِهِ

Abu Dawud berkata, “Muhammad bin Ma’mar telah menceritakan kepada kami, Hajaj bin Minhal telah mengabarkan kepada kami, Hamam telah mengabarkan kepada kami dan berkata, Syaqiq telah mengabarkan kepada kami, Ashim bin Kulaib telah menceritakan kepadaku, dari ayahnya (Kulaib bin Syihab), dari Nabi SAW. … (seperti hadits di atas).”

Selain penguat riwayat Syarik bin Abdullah (muttabi’’), juga dalam riwayat lain, kita temukan jalur periwayatan berbeda sebagai penguat riwayat Wail (Syahid), sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَرَ … ثُمَّ إنْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ حَتَّى سَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ ـ رواه البيهقي والدارقطني والحاكم ـ

Dari Anas bin malik, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW. bertakbir… Kemudian beliau turun (ke sujud) sambil bertakbir sehingga kedua lututnya mendahului kedua tangannya.” H.r. Al Baihaqi, As Sunanul Kubra II : 99; Ad Daraqutni, Sunan Ad Daraqutni I : 345; Al Hakim, Al Mustadrak I: 226. Redaksi di atas versi riwayat Al Baihaqi.

- وَقَدْ أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ الْفَقِيهُ، أنبأ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ زِيَادٍ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، ثنا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ جَدِّهِ، عَنْ [ص:144] أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِرُكْبَتَيْهِ قِيلَ يَدَيْهِ، وَلَا يَبْرُكْ بُرُوكَ الْجَمَلِ

Sungguh telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafidz, telah menerangkan Abu Bakr bin Ishak Al-Faqih, telah menerangkan Al-Hasan bin Ali bin Ziyad, telah menceritakan Ibrahim bin Musa, telah menceritakan Fudhail,, dari Abdillah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Ayahnya, dari Nabi SAW beliau bersabda: Apabila seseorang di anatara kamu sujud, maka mulailah dengan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan janganlah menderum seperti menderumnya unta. As-Sunan Al-Kubro Lilbaihaqi, Juz 2: 143

Mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak turun ke sujud, selain bersumber dari Nabi SAW. juga merujuk kepada praktek salat sahabat Nabi SAW., dalam hal ini Umar dan Ibnu Umar, sebagai berikut:

عَنْ إِبْرَاهِيْمَ أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ ـ رواه ابن أبي شيبة وعبد الرزاق ـ

Dari Ibrahim, Bahwasannya Umar menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.” H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, I : 295 dan Abdur Razaq , al-Mushannaf, II : 177

عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ إِذَا سَجَدَ قَبْلَ يَدَيْهِ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ إِذَا رَفَعَ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ ـ رواه ابن أبي شيبة ـ

Dari Nafi, Sesungguhnya Ibnu Umar bila hendak sujud menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan bila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf I : 295

Berikut kita ketengahkan Ulama yang menerima kehujahan hadits Mendahulukan Lutut, antara lain:

قَالَ التِّرْمِذِيُّ : هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ مِثْلَ هَذَا عَنْ شَرِيكٍ وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

1. At-Tirmidzi berkata, “Ini hadits hasan gharib, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya seperti ini dari Syarik, dan hadits ini menjadi landasan pengamalan menurut mayoritas ahli ilmu yang berpendapat bahwa seseorang hendaklah menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya (ketika hendak sujud) dan apabila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (Lihat, Sunan At-Tirmidzi II:56) Imam asy-Syawkani mengutip perkataan at-Tirmidzi itu dengan redaksi:

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ غَيْرُ شَرِيكٍ

“Ini hadits hasan gharib, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya selain Syarik.” (Lihat, Nailul Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar II: 281)

وَقَالَ النَّوَوِيُّ : لاَ يَظْهَرُ تَرْجِيْحُ أَحَدِ الْمَذْهَبَيْنِ عَلَى الآخَرَ وَلكِنْ أَهْلُ هذَا الْمَذْهَبِ رَجَّحُوْا حَدِيْثَ وَائِلٍ وَقَالُوْا فِي أَبِيْ هُرَيْرَةَ إِنَّهُ مُضْطَرِّبٌ إِذْ قَدْ رُوِىَ عَنْهُ الأَمْرَانِ

2. An-Nawawi berkata, “Sulit untuk mentarjih (menguatkan) salah satu diantara dua madzhab, namun penganut madzhab ini menyatakan bahwa hadits Wail lebih rajih (kuat) dan mereka berkata, “Pada riwayat Abu Hurairah (mendahulukan tangan) terjadi idtirab karena telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam dua versi.” (Lihat, Subulus Salam I:38)

قَالَ الْخَطَّابِي وَغَيْرُهُ : وَحَدِيْثُ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَصَحُّ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ

Al-Khathabi dan lainnya berkata, “Hadits Wail bin Hujr lebih Shahih dari pada hadits Abu Hurairah.” (Lihat, Zadul Ma’ad, I:411)

3. Ibnu Qayyim berpendapat: “Hadits Wail lebih utama dilihat dari berbagai aspek:

a. Hadits Wail lebih tsabit (kokoh kepastian adanya) sebagaimana dinyatakan al-Khathabi dan lainnya.

b. Hadits Abu Hurairah mudhtaribul matan (ketidakpastian redaksi) sebagaimana keterangan terdahulu, karena diantara para rawi dari Abu Hurairah ada yang menyatakan bahwa sabda Nabi itu:

وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

Dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” Ada pula yang menyatakan sebaliknya. Dan ada pula yang menyatakan

وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ

Dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya di atas kedua lututnya.”

c. Keterangan terdahulu, yaitu pernyataan al-Bukhari, ad-Daraquthni, dan lain-lain bahwa hadits tersebut mengandung ilat (cacat tersembunyi).

d. Andaikata hadits tersebut tsabit (kokoh), sungguh sekelompok ahli ilmu mendakwakan bahwa hadits tersebut mansukh (terhapus). Ibnul Mundzir berkata, “Sebagian diantara sahabat kami telah menduga bahwa menempatkan kedua tangan sebelum kedua lutut itu mansukh (terhapus).”

e. Hadits Wail sesuai dengan ketentuan larangan Nabi agar tidak menderum seperti menderumnya unta, hal itu berbeda dengan hadits Abu Hurairah.

f. Hadits Wail sesuai dengan riwayat amal shahabat, seperti Umar, Ibnu Umar, dan Ibnu Mas’ud, dan tidak ada satupun riwayat amal sahabat yang sesuai dengan hadits Abu Hurairah kecuali Umar, itu pun kontradiktif dengan amal Umar versi lainnya.

g. Hadits Wail memiliki syahid (penguat) melalui hadits Ibnu Umar dan Anas, sebagaimana diterangkan terdahulu, sedangkan hadits Abu Hurairah tidak memiliki syahid, maka kalau keduanya berlawanan tentu saja hadits Wail bin Hujr didahulukan karena syawahid (penguat)nya dan hadits Wail lebih kuat.

h. Sesungguhnya mayoritas orang-orang berpegang pada hadits itu, sedangkan pendapat yang lain hanya bersumber dari al-Auza’I dan Malik. Adapun perkataan Ibnu Abu Dawud: “Sesungguhnya itu (mendahulukan lutut) merupakan pendapat para ahli hadits” maksudnya pendapat sebagian diantara mereka, karena Ahmad, as-Syafi’I, dan Ishaq berpendapat sebaliknya.

i. Sesungguhnya pada hadits Wail terdapat kisah hikayat yang disusun untuk mengisahkan perbuatan Nabi, maka itu lebih terjaga kebenarannya, karena suatu hadits yang mengandung kisah hikayat menunjukkan bahwa hadits itu benar-benar terpelihara.

j. Sesungguhnya berbagai perbuatan yang dihikayatkan pada hadits yang semuanya tsabit (kokoh) lagi shahih melalui periwayatan lainnya, maka hal itu merupakan perbuatan yang sudah dikenal lagi benar adanya, dan ini salah satu aspek diantaranya, dan status shahih itu berlaku untuknya, sedangkan keterangan yang menentangnya tidak dapat melawannya. Dengan demikian sudah pasti hadits itu yang rajih (kuat). WAllahu A’lam. (Lihat, Zadul Ma’ad, I:215)

4. Muhamad Syamsul Haq berkata, “Mayoritas Ulama berpendapat demikian (mendahulukan lutut), dan al-Qadhi Abut Thayyib menghikayatkan (pendapat demikian juga) dari mayoritas ahli fiqih. Ibnul Mundzir menghikayatkannya sebagai pendapat Umar bin Khatab, an-Nakha’I, Muslim bin Yasar, Sufyan ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, dan Ashhabur ra’yi (madzhab rasional), dan ia berkata, ‘saya pun berpendapat demikian’.” (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, III:48)

Berdasarkan analisa di atas, hemat kami periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud adalah maqbul (dapat diterima) karena: Pertama, Syarik meriwayatkan hadits tersebut sebelum terjadinya ikhtilath. Kedua, Syarik memiliki muttabi’’ (tidak menyendiri) dikuatkan oleh rawi lain yang tsiqah (kredibel), yaitu Israil bin Yunus

Tentang dalil 2 mari rawi yang jadi perbincangan yaitu

Nama Lengkap : Abdul 'Aziz bin Muhammad bin 'Ubaid bin Abi 'Ubaid

Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan

Kuniyah : Abu Muhammad

Negeri semasa hidup : Madinah

Wafat : 187 H

Pendapat Ulama

Yahya bin Ma'in : laisa bihi ba`s

Ibnu Hibban : disebutkan dalam 'ats tsiqaat

Al 'Ajli : Tsiqah

Imam Bukhari tidak mengetahi apakah Muhammad bin Abdullah bin al Hasan mendengarkan hadits dari Abi az-Zinad.

Imam Tirmidzi sanad hadits tersebut tergolong ghorib dari sisi Muhammad bin Abdullah bin al Hasan.

Abu Zur’ah berkata, “Dia buruk hafalan, terkadang ia menceritakan sesuatu dari hafalannya.”

Al-Nasai berkata, “Abdul Aziz al-Darawardi tidak kuat.” Dan pada tempat lain ia berkata, “Tidak apa-apa dan haditsnya dari Ubaidillah bin Umar adalah munkar.” (Tahdzib al-Kamal 18/194)

Sementra pada dalil 3 dan 4 rawi yang jadi perbincangan adalah

Nama : Abdullah bin Nafi al-Shaigh

Pendapat Ulama

Abu Hatim : “Dia tidak hafizh, dia lemah pada hafalannya.”

Al-Bukhari : “Pada hafalannya terdapat sesuatu.” Tahdzib al-Kamal 16/210.

Abu Zur’ah : “Munkar al-Hadits.” Ta’liq Ala Tahdzib al-Kamal 16/210.

Ibnu Hajar : “Lemah pada hafalannya.” Taqrib al-Tahdzib 1/318.

Kesimpulan dalil 2, 3 dan 4 dla’if

Kesimpulan ketika sujud yang didahulukan menempel ke tanah adalah kedua lutut adalah bagian dari sunnah dan bila yang mendahulukan tangan berarti seperti menderum unta dan hal itu dilarang oleh Rasulullah SAW

Mari perhatikan pendapat Ulama

1. Imam Syafi’i dalam al umm 2:272 Ar-rabi mengabarkan kepada kami dia berkata : Asyfi’i mengabarkan kapada kami saya senang sekiranya orang orang yang shalat … lalu dia turun ke tempat sujud . kemudian, yang pertama diletakan dari tubuhnya pada tanah adalah kedua lututnya, disusul wajahnya, jika ia meletakkan wajahnya sebelum kedua tangannya, atau kedua tangannya sebelum lutut, maka saya memakruhkanya…

2. Ibnu Qudamah Al Mugni 2/88 … akan tetapi kami mempunyai hadits yang diriwayatkan oleh Wail bin Hujr… (dalil 1)… menurut Al khitabi, hadits ini lebih shahih dari pada hadits Abu Hurairah…hadits ini memberikan pengertian bahwa apa yang telah lalu meletakkan tangan sebelum kedua lutut, telah di nasakh, yaitu telah dihapus kekuatan hukumnya…

3. Syaikh Muhammmad bin Shalih Al-Utsaimin Dalam Sifat Shalat Nabi SAW hal 396 “apabila mendahulukan tangan sebelum lutut tatkala akan sujud sangat diperlukan oleh seseorang maka tidak mengapa dia melakukanya, namun jika perlu melakukanya maka zhahir hadits-hadits tersebut mengindikasikan haram, karena larangan Nabi SAW melarang seseorang menderum dalam sujud menyerupai unta menderum, kita dilarang menyerupai hewan. Dan penyerupaan ini tidak diriwayatkan melainkan untuk menerangkan sesuatu yang tercela

4. Dewan Hisbah Persatuan Islam Dalam Ikhtisar vol 1 10 masalah seputar shalat dan isbal hal 8 kesimpulan kaifiyat turun sujud seetelah I’tidal ada ruku’ dengan mendahulukan lutut kemudian tangan dan ketika bangkit mendahulukan tangan kemudian lutut.

III. Ketika sujud yang terlebih dahulu ke lantai baik lutut ataupun tangan adalah pilihan dan keduanya adalah sunnah

Dalil Mendahulukan lutut atau tangan ketika turun sujud adalah dua dalil yang memiliki kriteria tersendiri bila ditinjau dari ilmu hadits, dari beberapa aspek ilmu hadits keduanya memiliki ketentuan yang secara ilmiah dua-duanya kuat dari Rasulullah SAW, kesulitan menentukan mana yang lebih baik sebuah kepastian yang harus diambil, seperti pernyataan imam An-Nawawi berkata, “Sulit untuk mentarjih (menguatkan) salah satu diantara dua madzhab, namun penganut madzhab ini menyatakan bahwa hadits Wail lebih rajih (kuat) dan mereka berkata, “Pada riwayat Abu Hurairah (mendahulukan tangan) terjadi idtirab karena telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam dua versi.” (Lihat, Subulus Salam I:38) atau Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini lebih kuat dari pada hadits Wail, ‘Saya melihat Nabi apabila hendak sujud menempatkan kedua lututnya’ ditakhrij oleh imam yang empat, karena hadits pertama (Abu Hurairah) memiliki syahid (penguat), yaitu hadits Ibnu Umar yang dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan diterangkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq mauquf.” (Lihat, Bulughul Maram, hlm. 78-79) artinya menentukan kedua dalil ini mana yang lebih kuat memang sulit, maka ada beberapa Ulama yang mengambil jalan tengah dengan menyatakan bahwa para Ulama tidak sedang berbicara mana yang sah tetapi berbicara mana yang lebih afdhal, seperti yang diungkapkan oleh ibnu taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 22: 449

أما الصلاة بكليهما فجائزة بإتفاق العلماء إن شاء المصلى يضع ركبتيه قبل يديه وإن شاء وضع يديه ثم ركبتيه وصلاته صحيحة فى الحالتين بإتفاق العلماء ولكن تنازعوا فى الأفضل

“Adapun shalat dengan kedua cara tersebut maka diperbolehkan dengan kesepakatan Ulama, kalau dia mau maka meletakkan kedua lutut sebelum kedua telapak tangan, dan kalau mau maka meletakkan kedua telapak tangan sebelum kedua lutur, dan shalatnya sah pada kedua keadaan tersebut dengan kesepakatan para Ulama. Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang yang afdhal.”

IV. Pendapat kami

Dengan memperhatikan dalil dan beberapa keterangan sampailah kami pada kesimpulan lebih cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa hadits wail lebih kuat dari pada hadits Abu Hurairah dan menyatakan bahwa sesuai sunnah ketika sujud yang lebih didahulukan menyentuh lantai adalah lutut sebelum tangan dan bila mendahulukan tangan dari pada lutut bersandar pada hadits yang dla’if, mengingat secara ilmu hadits (dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada pendapat yang berbeda) secara terang menunjukkan hal itu.

3) BERSUJUDLAH DENGAN POSISI WAJAH YAITU KENING DAN HIDUNG RAPAT DENGAN LANTAI

صحيح البخاري ٧٧٠: حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ قَالَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ

Shahih Bukhari 770: … dari Ibnu 'Abbas radliyAllahu 'anhu, ia berkata: Nabi SAW bersabda:"Aku diperintahkan untuk melaksanakan sujud dengan tujuh tulang (anggota sujud): kening -beliau lantas memberi isyarat dengan tangannya menunjuk hidung- kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari dari kedua kaki dan kami tidak menyingkapkan rambut atau pakaian."

Dengan dalil ini menunjukkan adanya perintah agar wajah yaitu kening dan hidung harus menyentuh lantai .

4) LETAKKAN KEDUA TELAPAK TANGAN SEJAJAR DENGAN BAHU ATAU SEJAJAR DENGAN TELINGA

Dalil 1

سنن الترمذي ٢٥٠: … عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَجَدَ أَمْكَنَ أَنْفَهُ وَجَبْهَتَهُ مِنْ الْأَرْضِ وَنَحَّى يَدَيْهِ

Sunan Tirmidzi 250: … Dari Abu Humaid As Sa'idi berkata: "Ketika sujud Nabi menekankan hidung dan dahinya ke bumi, menjauhkan dua tangan dari lambungnya, dan meletakkan dua telapak tangannya sejajar dengan dua bahu." …

Dalil 2.

سنن النسائي ٨٧٩: … وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ أَخْبَرَهُ قَالَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَقَامَ ثُمَّ سَجَدَ فَجَعَلَ كَفَّيْهِ بِحِذَاءِ أُذُنَيْهِ

Sunan Nasa'i 879: … Wa'il bin Hujr mengabarkan kepadanya, dia berkata: "Aku berkata: Aku ingin melihat bagaimana cara shalat Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam, maka aku pun memperhatikannya. Beliau berdiri, … kemudian sujud. Beliau meletakkan kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya

Dalil 1 kalimat meletakkan dua telapak tangannya sejajar dengan dua bahu menunjukkan bahwa Ketika sujud telapak tangan sejajar dengan bahu

Dalil 2 kalimat Beliau meletakkan kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya menunjukkan bahwa Ketika sujud posisi kedua telapak tangan sejajar dengan telinga

Kesimpulan dalil bahwa ketika sujud kedua telapak tangan boleh sejajar dengan bahu atau sejajar dengan telinga mengingat kedua dalil ini berkedudukan shahih

LETAKKAN KEDUA TELAPAK TANGAN SEJAJAR DENGAN BAHU ATAU SEJAJAR DENGAN TELINGA adalah ketika sujud kedua telapak tangan bisa sejajar dengan bahu atau telinga

5) BUAT POSISI TELAPAK TANGAN KANAN DAN KIRI BERIMBANG

Dalil 1

صحيح البخاري ٧٧٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

Shahih Bukhari 779: … dari Anas bin Malik dari Nabi , beliau bersabda:"Seimbanglah kalian dalam sujud, dan janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua sikunya sebagaimana anjing membentangkan tangannya."

Dalil ini menunjukkan seimbangnya dua telapak dan lurusnya siku, serta larangan untuk membentangkanya.

Buat posisi telapak tangan kanan dan kiri berimbang adalah seimbangnya posisi telapak tangan dan siku dan jangan dibentangkan.

6) UNTUK JARI-JARINYA DI HADAPKAN KE KIBLAT DAN TIDAK DI RENGGANG BERLEBIHAN

Dalil 1

... عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رضى الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا سَجَدَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ بِالاَرْضِ اِسْتَقْبَلَ بِكَفَّيْهِ وَاصَابِعِهِ القِبْلَةَ...

…Dari Al-Bara bin Azib r.a., ia berkata: "Rasulullah SAW, apabila sujud beliau meletakkan tangannya ke bumi dengan menghadapkan kedua telapak tangan dan jari-jarinya ke kiblat". (HR. Al-Baihaqi, as-Sunanul Kubra, 2: 113 no. 2803)

Dalil 1 kalimat Rasulullah SAW, apabila sujud beliau meletakkan tangannya ke bumi dengan menghadapkan kedua telapak tangan dan jari-jarinya ke kiblat menunjukkan bahwa posisi jemari Ketika sujud diarahkan ke kiblat

UNTUK JARI-JARINYA DI HADAPKAN KE KIBLAT DAN TIDAK DI RENGGANG BERLEBIHAN adalah jari-jari tidak direnggangkan berlebihan sebagai bentuk usaha mengarahkan jemari ke arah kiblat.

a. Tentang merapatkan jari jemari ketika sujud

Dalil 1

نا مُوسَى بْنُ هَارُونَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَزَّازُ، حَدَّثَنِي الْحَارِثُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْهَمْدَانِيُّ يُعْرَفُ بِابْنِ الْخَازِنِ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «كَانَ إِذَا سَجَدَ ضَمَّ أَصَابِعَهُ»

Artinya : Shahih Ibnu Khuzaimah, No 642, Juz 1 : 324 Telah mengabarkan kepada kami musa bin harun bin ‘Abdil baz, telah menceritakan kepada kami Harits bin ‘Abdillah al-Hamdani dikenal dengan Ibnu al-Harits, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ‘Alaqah bin Wail, dari Ayahnya, Bahwasannya nya Nabi apabila sujud merapatkan jari-jemarinya.

Selain dalil ini ada beberapa dalil yang semakna dengannya diantaranya adalah :

1. Al-Hasan bin Sufyan telah mengabarkan pada kami, dia berkata, ‘al-Harits bin Abdullah al-Hamdani telah menceritakan pada kami, dia berkata, ‘Husyaim telah menceritakan pada kami, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ‘Alqamah bin Wail, dari ayahnya, Bahwasannya nnya Nabi SAW., apabila beliau ruku’’, beliau merenggangkan jari-jarinya dan apabila beliau sujud, beliau merapatkan jari-jarinya. HR Ibnu Hibban, Shahih Ibn Hibban, V: 147, No. 1920.

2. Husyaim telah menceritakan pada kami, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ‘Alqamah bin Wail, dari ayahnya, ia berkata, “Nabi SAW., apabila beliau ruku’’, beliau merenggangkan jari-jarinya dan apabila beliau sujud, beliau merapatkan jari-jarinya. HR Al-Baihaqi, as-Sunan Al-Kubra, II: 112, No. 2740.

3. Husyaim telah menceritakan pada kami, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ‘Alqamah bin Wail, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah SAW., apabila beliau ruku’’, beliau merenggangkan jari-jarinya dan apabila beliau sujud, beliau merapatkan jari-jarinya yang lima.” HR Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II: 138, No. 1283.

4. Husyaim telah menceritakan pada kami, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ‘Alqamah bin Wail, dari ayahnya, Bahwasannya nnya Nabi SAW., apabila beliau sujud, beliau merapatkan jari-jarinya.” HR Al-Hakim, Al-Mustadrak, I: 227, No. 832.

5. Husyaim telah mengabarkan pada kami, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ‘Alqamah bin Wail, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah SAW., apabila beliau ruku’’, beliau merenggangkan jari-jarinya dan apabila beliau sujud, beliau merapatkan jari-jarinya yang lima.” HR Ath-Thabrani, al-Mu’jam Al-Kabir, 22: 19, No. 26

6. Dari Abdurahaman bin al- Qasim ia berkata :” aku shalat di samping hafish bin ashim ketika aku sujud aku renggangkan jari-jariku . . . ketika aku salam, ia bekata : wahai anak saudaraku apabila engkau sujud rapatkanlah jari-jarimu dan hadapkanlah kedua tanganmu kea arah kiblat,sesungguhnya kedua tangan itu sujud Bersama wajah” (HR. Abdurazzaq dan Ibnu Syaibah)

7. Dari Hafish bin Ashim ia berkata (termasuk sunnah dalam shalat membentangkan kedua telapak tangan-tangannya, merapatkan jari-jarinya dan menghadapkan keduanya bersama wajahnya ke arah kiblat (HR Ibnu Syaibah)

8. Dari waqi ia berkata “keadaan Sufyan merenggangkan antara jari-jarinya ketika ruku’ dan merapatkanya ketika sujud”. (HR. Ibnu Syaibah)

Mari kita perhatikan keterangan-keterangan para Ulama tentang hadits di atas

Bahwa hadits ini dikeluarkan oleh beberapa mukharij, tetapi jalur periwayatanya melalui rawi tunggal yaitu dari husyaim dari ashim bin kulaib dari Alqomah bin Wail

A. Analisis para Ulama yang menshahihkan hadits ini

1. Imam Al Hakim mencantumkan hadits ini sebagai hadits shahih, dalam Al-Mustadrak dikarenakan sesuai dengan syarat imam muslim, tetapi imam muslim sendiri tidak mencantumkanya pada kitab shahihnya.

2. Syuhaib Al-Arnauth (Tahqiq Zadul Maad 1 : 232) bahwa hadits yang dijadikan dalil oleh ibnu qoyim adalah dalam zaadul maad adalah HR Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, HR Al-Hakim, Al-Mustadrak menshahih kanya dan adzahabi menyetujuinya.

3. Abu Abdurahaman At-Tamimi dalam Kitabnya Taudhul Al Ahkam Min Bulughul Maram mengatakan hadits Wail Bin Hujr derajatnya hasan. Di dalam Talkish dinyatakan baginya terdapat syahid yaitu Riwayat Abu daud 731

“beliau merenggangkan jari-jarinya dalam ruku’”

B. Analisis para Ulama yang mendla’ifkan hadits ini

hadits ini dikeluarkan oleh beberapa mukharij, tetapi jalur periwayatanya melalui rawi tunggal yaitu dari Husyaim Dari Ashim bin Kulaib dari Alqomah bin Wail.

1. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Husyaim tidak mendengar hadits sedikit pun dari Yazid bin Abu Ziyad, tidak pula dari Ashim bin Kulaib dan Al-Hasan bin Ubaidullah…” (Tuhfah At-Tahshil fii Al-Maraasil, I: 550)

2. Imam Ibnu Abu Hatim “Husyaim tidak mendengar hadits sedikit pun dari Ashim bin Kulaib dan Al-Hasan bin Ubaidullah…” (Ikmaal Tahdziib al-Kamal, XII: 156)

3. Ibnu Hajar Asqolani “Rawi Husyaim bin Basyir bin Abu Khazim tsiqah, tsabat, namun banyak melakukan tadlis (penyamaran sanad)” (Taqrib At-Tahdzib, I: 1033)

4. Imam Adz-Dzahabi, “Ia imam tsiqah mudallis” (Al-Kasyif fii Ma’rifah Man lahu Riwaayah fii Al-Kutub As-Sittah, IV: 429)

5. Muhammad Luqman As-Salifi (Tahqiq Maqal Ala Tuhfatul Qiram Syarah Bulughul Maram 202) bahwa hadits Wail Hujr itu dla’if hadits tersebut diriwayatkan pula oleh ad-daruqutni, alhakim,al baihaqi,pada sanadnya bahwa Husyaim bin Basyir tidak mendengar dari Ashim bin Kulaib hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Al-llai wa Marifatul Rizal 1:220 dan dalam Jamiut Tahsil 849.

Untuk dalil melalui jalur yang lain hadits ini di jadikan syahid selain dari Abu daud juga ada juga riwayat imam Ahmad, An-Nasai dari Abu Mas'ud al-Anshari, hadits-hadits ini marfu (sampai kepada Nabi ) tetapi hadits-hadits tersebut hanya berkaitan dengan merenggangkan jari-jari tangan ketika ruku’.

Dengan beberapa keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa

1. Riwayat ‘Husyaim dari ‘Ashim bin Kulaib statusnya dla’if karena terputus sanadnya (Mudallas)

2. Karena seorang mudallis dan meriwayatkan haditsnya dengan shighah ‘ananah (lafal ‘an), dengan demikian haditsnya tidak bisa diterima

Mengenai dalil lainnya berdasarkan analisis kami semua jalur periwayatanya dapat dipastikan terdapat keterputusan sehingga tidak bisa dijadikan penguat apalagi hujjah. Berikut penjelasannya :

Misalkan Dari Abdurahaman bin al- Qasim ia berkata :” aku shalat di samping hafish bin ashim ketika aku sujud aku renggangkan jari-jariku . . . ketika aku salam, ia bekata : wahai anak saudaraku apabila engkau sujud rapatkanlah jari-jarimu dan hadapkanlah kedua tanganmu kea arah kiblat, sesungguhnya kedua tangan itu sujud Bersama wajah” (HR.abdurazzaq dan ibnu syaibah) Atau Dari jalur ini jika dilihat jarh wa ta’dilnya tidak terdapat illat atau semuanya tsiqoh, namun atsar ini bisa dikatakan suqtun minal isnad ( terputus sanadnya ) yaitu terdapat lonjakan dalam penerimaan atsar ini, maka kami berkesimpulan atsar ini yaitu mu’dol ( gugur rowinya 2/3 orang dalam sanad ) dikenakan dla’if ( khobar mardud ) begitupun Dari hafish bin ashim ia berkata (termasuk sunnah dalam shalat membentangkan kedua telapak tangan-tangannya, merapatkan jari-jarinya dan menghadapkan keduanya bersama wajahnya kea rah kiblat (HR ibnu syaibah)

Dari jalur ini jika dilihat jarh wa ta’dilnya tidak terdapat illat atau semuanya tsiqoh, namun atsar ini bisa dikatakan suqtun minal isnad ( terputus sanadnya ) yaitu terdapat lonjakan dalam penerimaan atsar ini, maka kami berkesimpulan atsar ini yaitu mu’dol ( gugur rowinya 2/3 orang dalam sanad ) dikenakan dla’if ( khobar mardud ).

1. Dari waqi ia berkata “keadaan Sufyan merenggangkan antara jari-jarinya ketika ruku’ dan merapatkanya ketika sujud”. (HR. ibnu syaibah)

Atsar ini juga suqtun minal isnad karena tidak memenuhi kriteria ittishal ( bersambung ) yaitu munqothi dan tidak termasuk kriteria ittishol sanad.

Dengan keterangan-keterangan yang telah disampaikan dapat kita simpulkan merapatkan jari-jari tangan ketika sujud dirapatkan memiliki kekuatan hujjah yang dla’if, adapun merenggangkan (mencengkram) adalah kaifiyat dalam ruku’, atau dalilnya hanya untuk ruku’, dengan demikian posisi jari-jari tangan ketika sujud adalah menghadap kiblat dan tidak direnggangkan berlebihan

Dengan keterangan-keterangan yang telah disampaikan kami lebih cenderung pada pendapat mendla’ifkan hadits merapatkan jari jemari ketika sujud berarti kaifiyat sujud itu adalah Letakan kedua telapak tangan sejajar dengan bahu atau sejajar dengan telinga, untuk jari- jemari tidak renggang berlebihan

7) KEDUA SIKU TIDAK RAPAT DENGAN RUSUK ATAU LAMBUNG, YAITU RENGGANG SEHINGGA KEDUA KETIAK KELIHATAN

Dalil 1

صحيح البخاري ٧٧٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلَا يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

Shahih Bukhari 779: .. dari Anas bin Malik dari Nabi SAW, beliau bersabda:"Seimbanglah kalian dalam sujud, dan janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua sikunya sebagaimana anjing membentangkan tangannya."

Dalil 2

صحيح مسلم ٧٦٣: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ إِيَادٍ عَنْ إِيَادٍ عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ

Shahih Muslim 763: …dari Al-Bara' dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Apabila kalian sujud maka letakkanlah kedua telapak tanganmu dan angakatlah kedua sikumu."

Dalil 3

صحيح البخاري ٣٣٠٠: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ مُضَرَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَالِكٍ ابْنِ بُحَيْنَةَ الْأَسْدِيِّ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ حَتَّى نَرَى إِبْطَيْه قَالَ وَقَالَ ابْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا بَكْرٌ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ

Shahih Bukhari 3300: … dari 'Abdullah bin Malik Ibnu Buhainah Al Asadiy berkata: Nabi SAW apabila sujud, beliau merenggangkan kedua lengan beliau (dari badan) hingga kami lihat kedua ketiak beliau. Dia (Qutaibah) berkata: Dan berkata Ibnu Bukair telah bercerita kepada kami Bakr bin Mudlar -dengan redaksi-: "(hingga nampak) putih kedua ketiak beliau."

Dalil 1 kalimat janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua sikunya sebagaimana anjing membentangkan tangannya menunjukkan tidak rapatnya siku dengan lantai

Dalil 2 kalimat angakatlah kedua sikumu menunjukkan adanya posisi renggang antara siku dan lantai

Dalil 3 kalimat beliau merenggangkan kedua lengan beliau (dari badan) hingga kami lihat kedua ketiak beliau, menunjukkan bahwa badan atau rusuk juga tidak menyentuh lantai kemudian kalimat selanjutnya menunjukkan akan terlihatnya ketiak berarti posisi siku disamping tidak menyetuh lantai juga di renggangkan.

Kesimpulan dalil merenggangkan posisi tangan dengan lantai dan tidak dibentangkan dan juga tidak dirapatkan Sehingga kelihatan kedua ketiak.

KEDUA SIKU TIDAK RAPAT DENGAN RUSUK ATAU LAMBUNG, YAITU RENGGANG SEHINGGA KEDUA KETIAK KELIHATAN adalah Ketika sujud posisi siku dengan rusuk atau lambung renggang, begitupun dengan siku dengan lantai renggang, sama dengan keduanya lengan menuju ketiak juga renggang sampai ketiak kelihatan.

8) KEDUA PAHA DIRENGGANGKAN BEGITUPUN KEDUA KAKI, POSISI UJUNG JARI-JARI KEDUANYA DIARAHKAN KE KIBLAT DAN KEDUA TELAPAK KAKI DITANCAPKAN DAN LURUSKAN

Dalil 1

وَإِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَىْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ ….

Abu Daud 627… Dari Abu Humaid dengan hadits seperti ini, katanya: "Apabila beliau sujud, beliau merenggangkan kedua pahanya tanpa memikul beban perutnya."…

Dalil 2

….ثُمَّ اعْتَدِلْ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ فَاعْتَدِلْ سَاجِدًا

Sunan at-Tirmidzi 278 … Dari Rifa’ah bin Rafi Kemudian tegak luruslah dalam keadaan berdiri, lalu sujud dan luruskan (sujudnya)…

Dalil 3

kesaksian Abdurrahman seorang tabi’in yang salat dibelakang 80 sahabat

عَنْ عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ أَبِي فِي الْمَسْجِدِ، فَرَأَى رَجُلًا صَافًّا بَيْنَ قَدَمَيْهِ، فَقَالَ: أَلْزَقَ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى، لَقَدْ رَأَيْتُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْهُمْ فَعَلَ هَذَا قَطُّ

HR. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 2/109 … “dari ‘Uyainah bin Abdirrahman ia berkata, pernah aku bersama ayahku di masjid. Ia melihat seorang lelaki yang shalat dengan merapatkan kedua kakinya. Ayahku lalu berkata, ‘orang itu menempelkan kedua kakinya, sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam shalat di masjid ini selama 18 tahun dan aku tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang melakukan hal ini.

Dalil 4

صحيح البخاري ٧٨٥: …فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلَا قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ

Shahih Bukhari 785: Maka berkatalah Abu Hamid As Sa'idi: "Aku adalah orang yang paling hafal dengan shalatnya Rasulullah SAW… Dan jika sujud maka beliau meletakkan tangannya dengan tidak menempelkan lengannya ke tanah atau badannya, dan dalam posisi sujud itu beliau menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat.

Dalil 5

فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ

Shahih Muslim 751: … “Saya kehilangan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam pada suatu malam ditempat tidur, lalu sayapun mencarinya dengan meraih-raih tanganku (karena gelap), hingga tanganku menyentuh telapak kakinya, sedangkan ia dalam sujud, kedua kakinya tersebut ditegakkan

Dalil 1 kalimat Apabila beliau sujud, beliau merenggangkan kedua pahanya tanpa memikul beban perutnya menunjukkan bahwa renggangnya perut dan paha

Dalil 2 kalimat Kemudian tegak luruslah dalam keadaan berdiri, lalu sujud dan luruskan (sujudnya) menunjukkan adanya kelurusan dalam sujud termasuk kedua kaki

Dalil 3 kalimat Ia melihat seorang lelaki yang shalat dengan merapatkan kedua kakinya. Ayahku lalu berkata, ‘orang itu menempelkan kedua kakinya, sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam shalat di masjid ini selama 18 tahun dan aku tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang melakukan hal ini, menunjukkan bahwa merapatkan kaki Ketika qiyam adalah sesuatu yang tidak memiliki contoh dari Rasulullah SAW, hal ini berlaku ketika sujud sesuai dalil 2

Dalil 4 kalimat dan dalam posisi sujud itu beliau menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat menunjukkan jari jemari kaki mesti diarahkan ke kiblat

Dalil 5 kalimat sedangkan ia dalam sujud, kedua kakinya tersebut ditegakkan menunjukkan kedua kaki tegak lurus ke atas

Kesimpulan dalil Ketika sujud antara perut dan paha, kaki kanan dan kiri renggang, yang berarti tidak rapat, hal ini berlaku Ketika berdiri dan sujud, dan untuk jari-jemari kaki dihadapkan ke kiblat dan luruskan.

KEDUA PAHA DIRENGGANGKAN BEGITUPUN KEDUA KAKI, POSISI UJUNG JARI-JARI KEDUANYA DIARAHKAN KE KIBLAT DAN KEDUA TELAPAK KAKI DITANCAPKAN DAN LURUSKAN adalah renggangnya antara perut dan paha serta kaki kanan dan kiri, kemudian luruskan paha dan ujung kaki, sementara untuk jari jemari kaki dihadapkan ke kiblat dan tumitnya lurus ke atas.

a. Adapun tentang ikhtilaf posisi kaki dalam sujud dirapatkan atau direnggangkan, dalam masalah ini terdapat dua pendapat

I. Ketika sujud antara kaki kanan dan kaki kiri lurus dirapatkan

II. Ketika sujud antara kaki kanan dan kaki kiri lurus direnggangkan.

III. Pendapat kami

Berikut dalil dan penjelasan

Dalil 1.

فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ

Shahih Muslim 751: … “Saya kehilangan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam pada suatu malam ditempat tidur, lalu sayapun mencarinya dengan meraih-raih tanganku (karena gelap), hingga tanganku menyentuh kedua telapak kakinya, sedangkan ia dalam sujud, kedua kakinya tersebut ditegakkan…

Dalil 2

صحيح ابن خزيمة ٦٥٤: حَدَّثَنِي عُمَارَةُ بْنُ غَزِيَّةَ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا النَّضْرِ يَقُولُ: سَمِعْتُ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ يَقُولُ: قَالَتْ عَائِشَةُ زَوْجِ النَّبِيِّ: فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ

Shahih Ibnu Khuzaimah 654: Umarah bin Ghaziah menceritakan kepadaku, ia berkata, aku mendengar Abu An-Nadhr berkata, aku mendengar Urwah bin Zubair berkata, Aisyah isteri Rasulullah berkata, “Aku kehilangan jejak Rasulullah SAW dan aku masih berada di atas tempat tidurku. Aku mendapati beliau sedang melakukan sujud dengan merapatkan kedua tumit

Dalil 3

….ثُمَّ اعْتَدِلْ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ فَاعْتَدِلْ سَاجِدًا

Sunan at-Tirmidzi 278 … Dari Rifa’ah bin Rafi Kemudian tegak luruslah dalam keadaan berdiri, lalu sujud dan luruskan (sujudnya)…

Dalil 4

وَإِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَىْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ ….

Abu daud 627… dari Abu Humaid dengan hadits seperti ini, katanya: "Apabila beliau sujud, beliau merenggangkan kedua pahanya tanpa memikul beban perutnya."…

Dalil 5

kesaksian Abdurrahman seorang tabi’in yang salat dibelakang 80 sahabat

عَنْ عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ أَبِي فِي الْمَسْجِدِ، فَرَأَى رَجُلًا صَافًّا بَيْنَ قَدَمَيْهِ، فَقَالَ: أَلْزَقَ إِحْدَاهُمَا بِالْأُخْرَى، لَقَدْ رَأَيْتُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنْهُمْ فَعَلَ هَذَا قَطُّ

HR. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 2/109 … “dari ‘Uyainah bin Abdirrahman ia berkata, pernah aku bersama ayahku di masjid. Ia melihat seorang lelaki yang shalat dengan merapatkan kedua kakinya. Ayahku lalu berkata, ‘orang itu menempelkan kedua kakinya, sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam shalat di masjid ini selama 18 tahun dan aku tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang melakukan hal ini.

Dalil 6

صحيح البخاري ٧٨٥: …فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلَا قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ

Shahih Bukhari 785: Maka berkatalah Abu Hamid As Sa'idi: "Aku adalah orang yang paling hafal dengan shalatnya Rasulullah SAW, … , dan dalam posisi sujud itu beliau menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat...

Penjelasan pertama

I. Ketika sujud antara kaki kanan dan kaki kiri lurus dirapatkan

Dalil 1 kalimat lalu sayapun mencarinya dengan meraih-raih tanganku (karena gelap), hingga tanganku menyentuh kedua telapak kakinya, sedangkan ia dalam sujud, kedua kakinya tersebut ditegakkan menunjukkan tangannya menyentuh kedua telapak kakinya yang sedang ditegakkan saat dia sujud. Satu tangan tidak akan menyentuh kedua telapak kaki kecuali kalau keduanya dalam keadaan rapat

Dalil 2 kalimat Aku mendapati beliau sedang melakukan sujud dengan merapatkan kedua tumit memperjelas pendapat ini.

Adapun tentang pembicaraan rawi pada dalil 2, berikut penjelasannya

Nama : Yahya bin Ayyub al-Ghafiqi

Imam Abu Dawud : “Laisa bihi Ba’tsun”

Yahya bin Ma’in : “Shalih” pada kesematan lain “tsiqah”

Ibn Hibban : memasukannya dalam kitab at-Tsiqat.

Imam Ahmad, : “Sayyi’ al-hifdzi”,

Abu Hatim : “mahallu Yahya as-sidqu, yuktabu haditsuhu wa la yuhtajju bihi”, Imam Nasa’I : “laisa bi al-Qawwi” (Tahdzib al-Kamal, 31/236).

Kesimpulan dalil ini guncang, tetapi terlepas dari keguncangan dalil ini, dalil 1 yang shahihpun sebenarnya sudah menunjukkan adanya sunnah merapatkan kedua kaki ketika sujud, sehingga menepatkan dalil ini sebagai muttabi’ semakin memperkuat pendapat ini.

Kesimpulan sunnah ketika sujud antara kaki kanan dan kaki kiri lurus dirapatkan

Mari perhatikan pendapat para Ulama

1. Ibnu Utsaimin dalam Syarh Al-Mumthi’, 3;122 berkata, ‘Yang tampak dalam sunnah adalah bahwa kedua telapak kaki dirapatkan, maksudnya dirapatkan satu sama lain, sebagaimana terdapat dalam hadits shahih tatkala dia mencari-cari Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu tangannya menyentuh kedua telapak kakinya yang sedang ditegakkan saat dia sujud. Satu tangan tidak akan menyentuh kedua telapak kaki kecuali kalau keduanya dalam keadaan rapat.”

Penjelasan kedua

II. Ketika sujud antara kaki kanan dan kaki kiri lurus direnggangkan

Dalil 3 kalimat Kemudian tegak luruslah dalam keadaan berdiri, lalu sujud dan luruskan (sujudnya) menunjukkan adanya sayariat lurus dalam qiyam dan sujud

Dalil 4 kalimat Apabila beliau sujud, beliau merenggangkan kedua pahanya tanpa memikul beban perutnya. Menunjukkan Ketika sujud paha dengan perut renggang

Dalil 5 kalimat Ia melihat seorang lelaki yang shalat dengan merapatkan kedua kakinya. Ayahku lalu berkata, ‘orang itu menempelkan kedua kakinya, sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam shalat di masjid ini selama 18 tahun dan aku tidak pernah melihat seorang pun dari mereka yang melakukan hal ini, menunjukkan secara umum adanya merapatkan kedua kaki ketika qiyam, tidak memiliki contoh dari Rasulullah SAW.

Dalil 6 kalimat dan dalam posisi sujud itu beliau menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat menunjukkan lurus kedua kaki ke atas

Kesimpulan dalil ketika sujud antara perut dan paha,kaki kanan dan kiri renggang, yang berarti tidak rapat, hal ini berlaku ketika berdiri dan sujud, dan untuk jari-jemari kaki dihadapkan ke kiblat dan luruskan.

Mari perhatikan pendapat Ulama

1. Imam An-Nawawi dalam Radhatut Thalibin, 1/259 Para Ulama Madzhab Syafi’iyyah mengatakan, dianjurkan untuk memisahkan kedua kaki. Al-Qadhi Abu Thib mengatakan, para Ulama Madzhab kami menganjurkan, jarak kedua kaki sekitar satu jengkal.

2 Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, 2/297 “Ungkapan merenggangkan kedua pahanya maksudnya adalah merenggangkan antara kedua pahanya, kedua lututnya, dan kedua telapak kakinya

III. Pendapat kami

Setelah menelaah berbagai dalil dan keterangan kami lebih cenderung kepada pendapat bahwa Ketika sujud antara perut dan paha,kaki kanan dan kiri renggang, yang berarti tidak rapat, hal ini berlaku Ketika berdiri dan sujud, dan untuk jari jemari kaki dihadapkan ke kiblat dan luruskan, dengan pertimbangan dalil merapatkan kaki Ketika sujud dla’if, hadits shahih imam muslim dengan kalimat فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ mengartikan hingga tanganku menyentuh kedua telapak kakinya tidak tepat, karena masih ikhtimal, sementara dalil-dali yang menunjukkan adanya kelurusan dan perenggangan sungguh kuat.

9) SETELAH SEMUANYA THUMA’NINAH

Dalil 1

Dalil dan keterangan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: فَقَالَ: إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، وَافْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا

Shahih Bukhari 5782 … Dari Abu Hurairah: …lalu Nabi Bersabda: “Apabila engkau berdiri untuk shalat maka bertakbirlah, kemudian bacalah apa yang hafal olehmu dari al-Quran (al-fatihah), kemudian ruku’lah sehingga thuma’ninah ruku’nya, kemudian bangkitlah sehingga tegak /lurus berdirinya, kemudian sujudlah sehingga thuma’ninah sujudnya, kemudian bangkitlah sehingga thuma’ninah duduknya kemudian lakukanlah seperti itu dalam setiap shalatmu”

Dalil 2

سنن النسائي ١٠١٧: …عَنْ أَبِي مَعْمَرٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُجْزِئُ صَلَاةٌ لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ فِيهَا صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ

Sunan Nasa'i 1017: Dari Abu Mas'ud dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Tidak sempurna shalat seseorang yang tidak meluruskan punggungnya ketika ruku’' dan sujud."

Dalil 3

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الأَشْعَرِيِّ ، أَن ّرَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلا لا يُتِمَّ رُكُوعَهُ يَنْقُرُ فِي سُجُودِهِ وَهُوَ يُصَلِّي ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِهِ هَذِهِ مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَثَلُ الَّذِي لا يُتِمُّ رُكُوعَهُ ويَنْقُرُ فِي سُجُودِهِ ، مَثَلُ الْجَائِعِ يَأْكُلُ التَّمْرَةَ وَالتَّمْرَتَانِ لا يُغْنِيَانِ عَنْهُ شَيْئًا

… Dari Abu ‘Abdullah al-Asy’ari Radhiyallahuanhu, bahwa Rasûlullâh SAW melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku’’nya dan mematuk di dalam sujudnya ketika ia sedang shalat, lalu Rasûlullâh SAW bersabda, “Jika orang ini mati dalam keadaannya ini, maka ia benar-benar mati tidak di atas agama Muhammad SAW ,” lalu Rasûlullâh SAW bersabda, “Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan ruku’’nya dan mematuk di dalam sujudnya, (ialah) seperti orang lapar makan satu biji kurma, padahal dua biji kurma saja tidak bisa mencukupinya”. Abu Shâlih (seorang perawi di dalam sanad hadits ini) berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdullâh, ‘Siapakah yang telah menceritakan hadits ini kepadamu dari Rasûlullâh SAW ?” Dia menjawab, “Para komandan tentara, ‘Amru bin al-‘Ash, Khalid bin Walid, dan Syurahbil bin Hasanah; mereka semua telah mendengarnya dari Rasûlullâh SAW HR Thabrani dalam Mu’jamul-Kabir, juz 4 hlm. 158, no. 3748

Dalil 1 perintah wajib thuma’ninah

Dalil 2 bahwa lurusnya sujud adalah bagian dari kesempurnaan shalat

Dalil 3 ancaman dari Nabi SAW bila sujud tidak thuma’ninah

Kesimpulan Thuma’ninah dalam sujud adalah posisi dimana seseorang tenang dengan posisi punggung lurus ke bawah dan menempatkan tujuh anggota badan yaitu letakan dua lutut ,kening dan hidung ke lantai, kemudian dua telapak tangan simpan sejajar dengan bahu atau telinga dengan ujung jari-jari rapat serta menghadap kiblat, dan jari-jari kedua kaki dilipat agar menghadap kiblat serta luruskan kedua telapaknya, sampai semua tulang menempati posisi masing-masing dalam sujud.

10) BACALAH DO’A SUJUD

Dalil 1

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Shahih 752 … Dari 'Aisyah ia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca do'a dalam ruku’ dan sujudnya dengan bacaan: "SUBHAANAKALLAHUMMA RABBANAA WA BIHAMDIKA ALLAHUMMAGHFIRLII (Maha suci Engkau wahai Tuhan kami, segala pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku) '.

Dalil 2

عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ وَفِي سُجُودِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى

Sunan At-tirmidi 243 … Dari Hudzaifah Bahwasannya ia pernah shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan dalam rukunya beliau membaca: "SUBHAANA RABBIAL AZHIIM (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung) dan dalam sujudnya beliau mengucapkan: "SUBHAANA RABBIAL A'LA (Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi)." …

Dalil 3

صحيح البخاري ٧٥٢: … عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Shahih Bukhari 752: … Dari 'Aisyah ia berkata: Nabi SAW membaca do'a dalam ruku’ dan sujudnya dengan bacaan: "SUBHAANAKALLAHUMMA RABBANAA WA BIHAMDIKA ALLAHUMMAGHFIRLII" (Maha suci Engkau wahai Tuhan kami, segala pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku).

Dalil 4

سنن النسائي ١٠٣٨: … عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ

Sunan Nasa'i 1038: Dari 'Aisyah dia berkata:"Rasulullah SAW dalam ruku’'nya membaca: 'Subbuuhun qudduusun, rabbul malaaikati warruh' (Maha Suci Tuhan para malaikat dan ruh)."

Keempat dalil yang telah kami sebutkan memiliki kualitas shahih artinya keempatnya menjadi pilihan yang boleh diamalkan

a. Mengenai berapa kali kita membacanya berikut penjelasannya

Dalil 1

عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَكَعَ أَحَدُكُمْ فَقَالَ فِي رُكُوعِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَقَدْ تَمَّ رُكُوعُهُ وَذَلِكَ أَدْنَاهُ وَإِذَا سَجَدَ فَقَالَ فِي سُجُودِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَقَدْ تَمَّ سُجُودُهُ وَذَلِكَ أَدْنَاهُ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ حُذَيْفَةَ وَعُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ ابْنِ مَسْعُودٍ لَيْسَ إِسْنَادُهُ بِمُتَّصِلٍ عَوْنُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ لَمْ يَلْقَ ابْنَ مَسْعُودٍ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ لَا يَنْقُصَ الرَّجُلُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ مِنْ ثَلَاثِ تَسْبِيحَاتٍ وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُ قَالَ أَسْتَحِبُّ لِلْإِمَامِ أَنْ يُسَبِّحَ خَمْسَ تَسْبِيحَاتٍ لِكَيْ يُدْرِكَ مَنْ خَلْفَهُ ثَلَاثَ تَسْبِيحَاتٍ وَهَكَذَا قَالَ إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ

Sunan Tirmidzi 242: Dari Ibnu Mas'ud bahwa Nabi SAW bersabda: "Jika salah seorang dari kalian ruku’ lalu mengucapkan dalam rukunya: SUBHAANA RABBIAL AZHIIM (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung) tiga kali maka rukunya telah sempurna. Dan itu adalah yang minimal. Kemudian ketika sujud mengucapkan: SUBHAANA RABBIAL A'LA (Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi) tiga kali maka rukunya telah sempurna. Dan itu adalah yang minimal." Ia berkata: "Dalam bab ini ada juga hadits dari Hudzaifah dan Uqbah bin Amir." Abu Isa berkata: "Hadits Ibnu Mas'ud sanadnya tidak bersambung, karena Aun bin Abdullah bin Utbah tidak bertemu Ibnu Mas'ud. Hadits ini diamalkan oleh para ahli ilmu, bahwa mereka menyukai agar seseorang tidak mengurangi dalam membaca tasbih dalam ruku’ dan sujudnya. Dan telah diriwayatkan dari Abdullah bin Al Mubarak, ia berkata: "Aku lebih suka bagi imam untuk bertasbih lima kali agar orang yang berada di belakangnya sempat membaca tasbih tiga kali. Ishaq bin Ibrahim juga berpendapat seperti ini."

Dalil 2

..عَنْ وَهْبِ بْنِ مَانُوسَ قَالَ سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَحَدٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْبَهَ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْفَتَى يَعْنِي عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ فَحَزَرْنَا فِي رُكُوعِهِ عَشْرَ تَسْبِيحَاتٍ وَفِي سُجُودِهِ عَشْرَ تَسْبِيحَاتٍ قَالَ أَبُو دَاوُد قَالَ أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ قُلْتُ لَهُ مَانُوسُ أَوْ مَابُوسُ قَالَ أَمَّا عَبْدُ الرَّزَّاقِ فَيَقُولُ مَابُوسُ وَأَمَّا حِفْظِي فَمَانُوسُ وَهَذَا لَفْظُ ابْنِ رَافِعٍ قَالَ أَحْمَدُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ

Sunan Abu Daud 754: Dari Wahb bin Manus dia berkata: saya mendengar Sa'id bin Jubair berkata: saya mendengar Anas bin Malik berkata: Saya tidak pernah shalat di belakang seorang pun setelah Rasulullah SAW yang shalatnya menyerupai shalat Rasulullah SAW selain pemuda ini -yaitu Umar bin Abdul Aziz- Anas mengatakan: Kami memperkirakan dalam ruku’'nya beliau mengucapkan sepuluh kali tasbih. Abu Daud mengatakan: Ahmad bin Shalih mengatakan: kataku kepada Manus atau Mabus -perawi berkata: Abdurrazaq mengatakan "Mabus" sedangkan yang ku hafal adalah Manus, ini adalah lafadhnya Ibnu Rafi'. Ahmad mengatakan: dari Sa'id bin Jubair dari Anas bin Malik. Hadits pertama dla’if karena Hadits ini menurut Abu Dawud sendiri mursal, karena ‘Aun tidak pernah bertemu dengan Abdullah” (Aunul Ma’bud, 3:141). Imam al-Bukhari mengatakan dalam kitab Tarikh al-Kabir: mursal, Imam at-Turmudzi juga mengatakan sanadnya tidak bersambung (terputus)

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits dengan penyebutan membaca tiga kali seperti ini diriwayatkan oleh tujuh orang sahabat. Namun boleh-boleh saja membaca dzikir tersebut lebih dari tiga kali. Shifat Shalat Nabi, hal. 115

Hadits kedua hadits tersebut diperbincangkan karena sumber sanadnya dari Wahb bin Ma’nus sedangkan dia ini menurut Ibnu Qathan tidak tsiqah. Ibnu Qathan mengatakan: keadaan dia majhul (tidak diketahui). Adapun al-Hafidz (Ibnu Hajar al-Asqalaniy) mengatakan dalam kitab at-Taqrib dia itu disembunyikan. (Tamamul Manat 1/208), (Tanahijul Ifkar 2/65, hadits ini hasan), (Musnad Ahmad 3/162).

Didalam Nailul Authar 2:256 Asy-Syaukani berkata yang paling benar adalah bahwa yang shalat munfarid boleh menambah tasbihnya sekehendak setiap bertambah, tentu akan lebih baik , banyak hadits yang menyatakan panjangnya tasbih Rasulullah SAW demikian juga, imam boleh Panjang tasbihnya apabila para makmum tidak terganggu dengan panjang tasbihnya imam.

A Hasan Dalam Pengajaran Shalat Hal 222, menampilkan hadits ini, kemudian dalam tanya jawab juga hal 128 menyatakan maksudnya bahwa lamanya ia dalam ruku’ dan sujud itu kadar kami dapat membaca sepuluh kali tasbih.

Dewan Hisbah Persis dalam Risalah Shalat Dewan Hisbah Hal 98 dalam hal ini tidak ada dalil yang shahih yang menentukan bilangan tasbih ruku’ dan tasbih sujud. Oleh karena itu mengucapkan subhana robbiyal adzim sekalipun sudah bisa dikatakan telah mengucapkan tasbih.

Kesimpulan karena keguncangan hadits-hadits tentang bilangan maka tidak ada ketentuan berapa kali, yang jelas membaca satu kali sudah sesuai sunnat dan menambahnya adalah sunnat.