Para ulama berbeda pendapat terkait dengan kaifiyat duduk tasyahud, ada empat kelompok
I. Pendapat pertama, duduk tawaruk baik dalam duduk tasyahud awal maupun akhir. Pendapat ini merupakan pendapat imam malik (Fiqh al Ibadat ala Mazdhab al-Maliki, 166) Alasannya sebagai berikut:
Pertama, hadis dari Abdullah bin Zubair (No.1)
سنن أبي داوود ٨٣٨: …حَدَّثَنَا عَامِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَعَدَ فِي الصَّلَاةِ جَعَلَ قَدَمَهُ الْيُسْرَى تَحْتَ فَخْذِهِ الْيُمْنَى وَسَاقِهِ وَفَرَشَ قَدَمَهُ الْيُمْنَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخْذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ وَأَرَانَا عَبْدُ الْوَاحِدِ وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ
Sunan Abu Daud 838: …Telah menceritakan kepada kami 'Amir bin Abdullah bin Az Zubair dari ayahnya dia berkata:"Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam duduk dalam shalat, beliau meletakkan telapak kaki kirinya di bawah paha dan betis kanannya, dan menghamparkan telapak kaki kanannya serta meletakkan tangan kirinya di atas lutut kiri dan meletakkan tangan kanan di atas paha kanan sambil menunjuk dengan jarinya."
Abdul Wahid memperlihatkan kepada kami sambil menunjuk dengan jari telunjuknya.
Kedua, hadis dari Abdullah bin Mas’ud (No. 2)
مسند أحمد ٤١٥١: …عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ قَالَ حَدَّثَنِي عَنْ تَشَهُّدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَسَطِ الصَّلَاةِ وَفِي آخِرِهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ بْنِ يَزِيدَ النَّخَعِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّشَهُّدَ فِي وَسَطِ الصَّلَاةِ وَفِي آخِرِهَا فَكُنَّا نَحْفَظُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ حِينَ أَخْبَرَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَهُ إِيَّاهُ قَالَ فَكَانَ يَقُولُ إِذَا جَلَسَ فِي وَسَطِ الصَّلَاةِ وَفِي آخِرِهَا عَلَى وَرِكِهِ الْيُسْرَى التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ ثُمَّ إِنْ كَانَ فِي وَسَطِ الصَّلَاةِ نَهَضَ حِينَ يَفْرُغُ مِنْ تَشَهُّدِهِ وَإِنْ كَانَ فِي آخِرِهَا دَعَا بَعْدَ تَشَهُّدِهِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَدْعُوَ ثُمَّ يُسَلِّمَ
Musnad Ahmad 4151: …Dari Abu Ishaq ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Al Aswad bin Yazid An Nakha'i tentang tasyahhud Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di pertengahan dan akhir shalat dari ayahnya dari Abdullah bin Mas'ud ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
mengajarkan kepadaku bacaan tasyahhud di pertengahan dan akhir shalat, sedangkan kami menghafalkan dari Abdullah ketika ia mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan bacaan itu kepadanya. Jika beliau duduk di pertengahan shalat dan akhirnya di atas telapak kaki kirinya beliau membaca: "Segala penghormatan hanya milik Allah, juga segala pengagungan dan kebaikan, semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat dan berkahNya, kesejahteraan semoga terlimpahkan atas kita dan para hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya." Ia melanjutkan: Kemudian jika berada di pertengahan shalat, beliau bangkit setelah selesai dari membaca tasyahhud dan jika di akhir shalat, beliau berdo’a setelah membaca tasyahhudnya apa yang dikehendaki oleh Allah untuk berdo’a kemudian salam.
Hadis pertama menggunakan karena menggunakan adat syarat maka berlaku mafhum syarat, yaitu apabila duduk, apakah duduk diantara dua sujud, tasyahud awal atau tasyahud akhir, beliau duduk dengan posisi tawaruk.
Hadis Abdullah bin Mas’ud secara manthuq menguatkan posisi tawaruk, baik dalam tasyahud awal maupun akhir. Secara analisis taarud al adillah, Malikiyyah mendahulukan atau mentarjih hadis-hadis tawaruk dari hadis iftirasy.
b. Pendapat kedua, yaitu duduk iftirasy, baik dalam duduk tasyahud awal maupun tasyahud akhir. Pendapat ini merupakan pendapat imam Abu Hanifah.
Argumentasinya sebagai berikut :
Pertama, hadis dari Abdullah bin Umar (hadis no. 4)
صحيح البخاري ٧٨٤: …عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ كَانَ يَرَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَتَرَبَّعُ فِي الصَّلَاةِ إِذَا جَلَسَ فَفَعَلْتُهُ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ حَدِيثُ السِّنِّ فَنَهَانِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَقَالَ إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى فَقُلْتُ إِنَّكَ تَفْعَلُ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّ رِجْلَيَّ لَا تَحْمِلَانِي
Shahih Bukhari 784: …Dari 'Abdullah bin 'Abdullah ia mengabarkan kepadanya, bahwa Dia pernah melihat 'Abdullah bin 'Umar radliyallahu 'anhuma mengerjakan shalat dengan cara bersimpuh dengan kedua kakinya ketika duduk. Maka aku juga melakukan hal serupa. Saat itu aku masih berusia muda. Namun 'Abdullah bin 'Umar melarangku berbuat seperti itu. Ia mengatakan: "Sesungguhnya yang sesuai sunnah adalah kamu menegakkan telapak kakimu yang kanan sedangkan yang kiri kamu masukkan di bawahnya (melipat)." Aku pun berkata: "Tapi aku melihat anda melakukan hal itu!" Dia menjawab: "Kakiku tidak mampu."
Kedua dan ketiga, dari sahabat Wail bin Hujr
سنن الترمذي ٢٦٩: …عَنْ ابْنِ حُجْرٍ قَالَ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَأَهْلِ الْكُوفَةِ وَابْنِ الْمُبَارَكِ
Sunan Tirmidzi 269: …Dari Ibnu Hujr ia berkata: "Ketika aku tiba di Madinah, aku berkata: "Sungguh, aku benar-benar akan melihat bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat. Ketika duduk tasyahud beliau membentangkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya -yakni di atas paha kirinya- serta menegakkan kaki kanannya." Abu Isa berkata: "Hadits ini derajatnya hasan shahih. Hadits ini diamalkan oleh kebanyakan para ahli ilmu. Ini adalah pendapat Sufyan Ats Tsauri, penduduk Kuffah dan bin Al Mubarak."
فَلَمَّا قَعَدَ لِلتَّشَهُّدِ فَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى ثُمَّ قَعَدَ عَلَيْهَا
“maka ketika beliau duduk untuk tasyahud, beliau menghamparkan kaki kiri (sejajar dengan paha kiri) kemudian mendudukinya (H.R. at-Thahawi, Syarah Ma’ani al-Atsar, 1/259)
Keempat, hadis dari Rifa’ah bin Rafi’
إِذَا سَجَدْتَ فَمَكِّنْ لِسُجُودِكَ ، فَإِذَا رَفَعْتَ فَاقْعُدْ عَلَى فَخِذِكَ الْيُسْرَى
Apabila kamu mengangkat (kepala dari sujud) maka duduklah di atas pahamu yang kiri." (H.R. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud 730)
Kelima, dari sahabat Anas bin Malik
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الإِقْعَاءِ وَالتَّوَرُّكِ فِي الصَّلاَةِ.
Rasulullah Saw melarang duduk iq’a dan duduk tawaruk dalam salat (H.R. Ahmad, Musnad Ahmad, 3/233)
Hadis pertama, Ibn Umar menegaskan kesunahan (marfu’) duduk iftirasy dalam salat, artinya berlaku dalam semua duduk. Hadis kedua, menunjukkan bahwa ketika duduk yaitu tasyahud, beliau duduk iftirasy, dalam hadis tersebut berlaku umum, apakah tasyahud awal ataupun akhir. Begitu juga jika salat hanya dua rakaat, maka sunahnya iftirasy. Hal ini dikuatkan dua hadis dari Wail bin Hujr dan hadis Fifaah bin Rafi’ di bawahnya. Disamping adanya penetapan sunah iftirasy dalam duduk ketika salat secara umum berdasarkan dua keterangan sahabat, yaitu Abdullah bin Umar, Wail bin Hujr dan Rifaah bin Rafi’, adapula hadis yang melarang tawaruk dalam salat, sehingga jelaslah hanya iftirasy sebagai kaifiyat duduk dalam salat. Secara analisis taarud al adillah, Hanafiyah mendahulukan atau mentarjih hadis-hadis iftirasy dari hadis-hadis tawaruk (Pendapat hanafiyah ini bisa dibuka dalam kitab tabyin al-Haqaiq syarh kanz ad-Daqaiq, 1/122)
III. Pendapat ketiga, iftirasy pada duduk tasyahud awal dan salat dua rakaat. Sedangkan pada salat yang di dalamnya dua tasyahud, tawaruk pada tasyahud kedua. Pendapat ini merupakan jama’ dari pendapat sebelumnya yaitu Malikiyyah dan Hanafiyah (Al-Mughni, 1/613) adapun qorinah jama’ dan argumentasinya adalah sebagai berikut :
Pertama, hadis Aisyah
وَكَانَ يَقُولُ فِى كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
dan beliau membaca tahiyyat pada setiap dua raka'at. Beliau menghamparkan kaki kirinya dan memasang tegak lurus kakinya yang kanan. (H.R. Muslim, sahih Muslim, 2/54)
kedua, Abdullah bin Zubair
إِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ ، افْتَرَشَ الْيُسْرَى ، وَنَصَبَ الْيُمْنَى
“Rasulullah Saw jika duduk setelah dua rakaat, beliau menduduki kaki kiri dan menegakan kaki kanan (H.R. Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban, 5/270)
Ketiga, Abu Humaid as-Sa’idi
فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
Apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan. Dan jika duduk pada rakaat terakhir, maka beliau memasukkan kaki kirinya (di bawah kaki kananya) dan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk pada tempat duduknya (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/165)
IV. Pendapat keempat. Tawaruk pada rakaat rakaat terakhir dan iftirasy pada tasyahud awal (lihat al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 3/450) pendapat ini merupakan pendapat Syafiiyah. Sebagaimana Hanabilah, pendapat ini merupakan jama’ dari dalil-dalil yang dikemukakan oleh kelompok pertama dan kedua. Argumentasinya sebagai berikut :
Dua Hadis dari Abu Humaid as-Saidi
فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
Apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan menegakkan kakinya yang kanan. Dan jika duduk pada rakaat terakhir, maka beliau memasukkan kaki kirinya (di bawah kaki kananya) dan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk pada tempat duduknya (H.R. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/165)
حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ، أَخَّرَرِجْلَهُ الْيُسْرَى، وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ
"…dan ketika beliau duduk (tahiyyat) yang terdapat salam, beliau merubah posisi kaki kiri dan duduk secara tawaruk (duduk dengan posisi kaki kiri masuk ke kaki kanan) di atas betis kiri (H.R. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 1/252)
Analisis lafadz
Secara umum, analisis lafadz terkait dengan hadis-hadis iftirasy dan tawaruk ini terbagi menjadi tiga kategori, yaitu
1. Mujmal Iftirasy
فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى فِى كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَىإِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَىفَإِذَا رَفَعْتَ فَاقْعُدْ عَلَى
فَخِذِكَ الْيُسْرَىإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ ، افْتَرَشَ الْيُسْرَى ، وَنَصَبَ الْيُمْنَى فَلَمَّا قَعَدَ لِلتَّشَهُّدِ فَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى ثُمَّ قَعَدَ عَلَيْهَا وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى
Wujuh al-Istidlal di atas semuanya masih bersifat mujmal, artinya belum dapat dipastikan posisi iftirasy secara rinci
2. Mujmal Tawaruk
إِذَا جَلَسَ فِي وَسَطِ الصَّلَاةِ، وَفِي آخِرِهَا عَلَى وَرِكِهِ الْيُسْرَى إِذَا قَعَدَ فِي الصَّلَاةِ جَعَلَ قَدَمَهُ الْيُسْرَى تَحْتَ فَخْذِهِ الْيُمْنَى وَسَاقِهِ وَفَرَشَ قَدَمَهُ الْيُمْنَى
Begitu juga dengan wujuh al-Istidlal di atas belum dapat dipastikan apakah posisi tawaruk itu untuk duduk diantara dua sujud, duduk tasyahud awal atau duduk tasyahud akhir, masih belum jelas dan rinci.
3. Mubayyan Iftirasy dan Tawaruk
فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلَاةِ فَاطْمَئِنَّ، وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ، أَخَّرَرِجْلَهُ الْيُسْرَى، وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ
Wajhul istidlal yang pertama secara jelas menunjukkan bahwa posisi iftirasy adalah pada tasyahud awal. Sedangkan hadis kedua dan ketiga menunjukkan secara sarih yaitu “rakaat terakhir” dan “sujud terakhir yang diakhiri dengan salam” bahwa posisi tawaruk adalah pada akhir salat. Hadis-hadis di atas merupakan bayan al-Fi’li terkait dengan posisi duduk iftirasy dan tawaruk dalam salat.
Kecatatan Hadis larangan Tawaruk
Adapun terkait dengan hadis larangan duduk tawaruk dalam salat, menurut imam al-Bazzar hadis tersebut merupakan wahm atau kesalahan salah seorang rawi yang bernama Yahya bin Ishaq al-Sailahini. Yahya menyendiri dalam periwayatan dari Hammad bin Salamah. Sedangkan jalur yang mahfudz adalah larangan menghamparkan tangan (mendepa) sebagaimana anjing atau binatang buas bertaring ketika salat. Imam Ahmadpun meninggalkan hadis tersebut.
Disamping itu dalam jalur yang lain sahabat Samurah bin Jundab ada rawi yang bernama Said bin Basyir, tidak dapat dijadikan hujah (sunan al-Kubra, 2/120, Musnad al-Bazzar, 2/155, Fath al-Bari Ibn Rajab, 7/316)
Menurut pandangan kami
Hadis-hadis yang dijadikan dalil-dalil pemutlakkan iftirasy dan tawaruk, secara dilalah masih mujmal dan ihtimal, sehingga belum dapat dijadikan sebagai dasar istidlal
Ditemukan bayan al-fi’li terkait dengan kemujmalan hadis iftirasy dan tawaruk, maka hadis-hadis tersebut mesti difahami sesuai dengan hadis yang lebih sarih.
Metode yang digunakan baik malikiyyah maupun Hanafiyah, ketika terjadi “pertentangan” dalil adalah dengan mentarjih salah satunya. Malikiyyah mentarjih hadis-hadis tawaruk, sedangkan Hanafiyah mentarjih hadis-hadis iftirasy. Menurut kami, selama masih bisa dijama maka jama’ didahulukan dari tarjih.
Jika dianalisis secara maudlui dan mengkategorisasikannya antara yang mujmal dan mubayyan, maka hadis-hadis tersebut tidak bertentangan, bahkan saling menjelaskan satu sama lain.
Namun perihal yang menggunakan metode jama, ada persamaan dan perbedaan antara Hanabilah dan Syafiiyah. Persamaannya, pertama, pada salat yang terdiri dari dua tasyahud, maka bersepakat bahwa asyahud awal duduk iftirasy dan tasyahud akhir duduk tawaruk. Kedua pada salat yang tidak ada tasyahud awalnya, selain dua rakaat, maka duduknya tawaruk.
Perbedaannya keduanya terdapat pada salat dua rakaat, apakah duduknya iftirasy atau tawaruk. Menurut analisis kami dilihat dari aspek dilalah dan kesarihan lafadz, maka yang lebih tepat dan mendekati kebenaran adalah duduk tawaruk. Argumentasinya sebagai berikut:
a. Wajhul Istidlal yang pertama
حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ، أَخَّرَرِجْلَهُ الْيُسْرَى، وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ
“sehingga jika sampai pada sujud yang didalamnya (setelah) ada salam” beliau duduk tawaruk
Wajhul istidlal di atas secara sarih menunjukkan posisi tawaruk. Sujud yang didalamnya ada salam, adakalanya pada salat yang didalamnya ada dua tasyahud,
ada kalanya pada salat yang tidak ada tasyahud awalnya. Selama didalamnya ada salam, maka disyariatkan duduk tawaruk.
b. Wajhul idtidlal yang kedua
وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
“Dan jika duduk pada rakaat terakhir, maka beliau memasukkan kaki kirinya (di bawah kaki kananya) dan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk pada tempat duduknya”
Kalimat di atas pun menunjukkan secara sarih bahwa posisi duduk tawaruk adalah ketika pada rakaat terakhir, apakah rakaat terakhir dalam salat dua tasyahud atau salat tanpa dua tasyahud, semisal salat subuh, salat Jumat dan lainnya.
c. Wajhul istidlal yang ketiga
وَفِي آخِرِهَا عَلَى وَرِكِهِ الْيُسْرَى
“Dan pada duduk yang terakhir (beliau) duduk tawaruk dengan kaki kirinya”
d. Adapun tanggapan terhadap argumentasi hanbaliyah
وَكَانَ يَقُولُ فِى كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
“dan beliau membaca tahiyyat pada setiap dua raka'at. Beliau menghamparkan kaki kirinya dan memasang tegak lurus kakinya yang kanan”
Hadis di atas maksudnya bukanlah pada setiap salat dua rakaat duduk iftirasy, tapi maksudnya adalah setiap dua rakaat (tasyahud awal) pada salat yang didalamnya ada dua tasyahud, maka disyariatkan duduk iftirasy. Adapun tasyahud akhir atau duduk setelah rakaat terakhir, maka duduknya adalah tawaruk bukan iftirasy.
e. Begitu pula dengan hadis
إِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ ، افْتَرَشَ الْيُسْرَى ، وَنَصَبَ الْيُمْنَى
“Rasulullah Saw jika duduk setelah dua rakaat, beliau menduduki kaki kiri dan menegakan kaki kanan”
Maksud dua rakaat di atas pun belum jelas, apakah maksudnya pada salat tanpa tasyahud awal atau pada tasyahud awal pada salat dua tasyahud.
Namun jika kita mengacu pada hadis-hadis mengenai posisi tawaruk, maka jelaslah maksud duduk dua rakaat di atas dengan cara duduk iftirasy itu maksudnya adalah ketika tasyahud awal, adapun duduk yang didalamnya ada salam, maka disyariatkan duduk tawaruk. Wallahu a’lam
Kesimpulan, Posisi duduk ketika tasyahud awal adalah iftirasy, sedangkan posisi duduk ketika tasyahud akhir atau duduk yang didalamnya ada salam adalah tawaruk.