Ikhtilaf dalam bangkit dari sujud untuk berdiri
I. Tentang kaifiyat bangkit dari tasyahud awal
Mari perhatikan Hadits berikut :
Dalil 1
صحيح البخاري ٧٦١: … عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ وَأَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَكَانَ يُكَبِّرُ فِي كُلِّ صَلَاةٍ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ وَغَيْرِهَا فِي رَمَضَانَ …ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ مِنْ الْجُلُوسِ فِي الِاثْنَتَيْنِ
Shahih Bukhari 761: … Dari Az Zuhri berkata: telah mengabarkan kepadaku Abu Bakar bin 'Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam dan Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Abu Hurairah bertakbir dalam setiap shalat yang wajib dan yang lainnya baik pada bulan Ramadlan maupun di luar Ramadlan... Kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya dari sujud, kemudian bertakbir lagi ketika akan sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya dari sujud, dan ketika bangkit berdiri dari duduk setelah dua rakaat (tasyahud awal) ia juga bertakbir kembali.
Dalil 2
صحيح ابن حبان ١٨٦٧: … فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ: أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ، رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا صَنَعَ عِنْدَ افْتِتَاحِ الصَّلاَةِ…
Shahih Ibnu Hibban 1867:. … Abu Humaid berkata, “Aku adalah orang yang paling mengetahui shalat Rasulullah ﷺ … Kemudian beliau berdiri dan melakukan seperti demikian pada rakaat lainnya.Bila beliau hendak bangun dari dua rakaat, beliau mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua bahu, seperti yang dilakukan ketika memulai shalat. Beliau melakukan yang demikian pada seluruh shalatnya …
Dalil 1 keterangan “dan ketika bangkit berdiri dari duduk setelah dua rakaat (tasyahud awal) ia juga bertakbir kembali. Dan dalam setiap rakaat shalat dia mengerjakan seperti itu”. Hal ini menunjukkan akan kesamaan kaifiyat bangkit dari sujud dengan kaifiyat bangkit dari tasyahud awal
Dalil 2 keterangan “Kemudian beliau berdiri dan melakukan seperti demikian pada rakaat lainnya. Bila beliau hendak bangun dari dua rakaat, beliau mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua bahu, seperti yang dilakukan ketika memulai shalat. Beliau melakukan yang demikian pada seluruh shalatnya”. hal ini menunjukkan perbedaan kaifiyat bangkit dari sujud dan bangkit dari tasyahud awal terletak pada mengangkat tangan
Kesimpulan bahwa kaifiyat bangkit berdiri dari sujud sama dengan bangkit berdiri dari tasyahud awal, yang membedakanya adalah mengangkat tangannya.
II. Tentang mengepalkan tangan ke lantai ketika bangkit dari sujud
Pada dasarnya permasalahan ini terletak pada menentukan kualitas dari dua hadits utama tentang ini, berikut penjelasannya
a. Dari Abdullah bin ‘Abbas Ra., ia berkata:
أَنَّ رسَوُلْ َاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ كَمَا يَضَعُ الْعَاجِنُ
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ. jika beliau (hendak) berdiri dalam shalat ’nya, beliau meletakkan kedua tangannya di atas bumi sebagaimana yang dilakukan oleh al-‘ajin (orang yang melakukan ‘ajn).”
Hadits ini tidak diketahui mukharrij (periwayat)nya, namun populer dalam bahasan para ulama diantaranya :
Imam Nawawi , Khulashah al-Ahkam fi Muhimmat as-Sunan wa Qawa’id al-Islam, Juz 1, hl. 423-424; Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 3, hlm. 442.
“Maka ia Hadits dla’if atau batal tidak ada sumber asalnya. Dan sekirannya shahih tentu saja maknanya bangkit sambil bertelekan dengan kedua telapak tangannya kepada tanah sebagaimana orang yang lemah, yaitu yang tua renta, dan maksudnya bukan orang yang menguli (meremas-remas dan menekan-nekan) adonan.”
Ibnu ash-Shalah (577-643 H/1181-1245 M) oleh Ibnu Hajar dalam at-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits ar-Rafi’I al-Kabir, Juz 1, hlm. 467 -468 berkata:
هَذَا الْحَدِيثُ لَا يَصِحُّ وَلَا يُعْرَفُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُحْتَجَّ بِهِ.
“Hadits ini tidak shahih dan tidak dikenal. Tidak boleh dipergunakan sebagai hujjah.
Selanjutnya Ibnu ash-Shalah menyatakan:
وَعَمِلَ بِهَذَا كَثِيرٌ مِنْ الْعَجَمِ، وَهُوَ إثْبَاتُ هَيْئَةٍ شَرْعِيَّةٍ فِي الصَّلَاةِ لَا عَهْدَ بِهَا، بِحَدِيثٍ لَمْ يَثْبُتْ، وَلَوْ ثَبَتَ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ مَعْنَاهُ، فَإِنَّ الْعَاجِنَ فِي اللُّغَةِ: هُوَ الرَّجُلُ الْمُسِنُّ، فَإِنْ كَانَ وَصْفُ الْكِبَرِ بِذَلِكَ مَأْخُوذًا مِنْ عَاجِنِ الْعَجِينِ فَالتَّشْبِيهُ فِي شِدَّةِ الِاعْتِمَادِ عِنْدَ وَضْعِ الْيَدَيْنِ لَا فِي كَيْفِيَّةِ ضَمِّ أَصَابِعِهَا،
“Cara demikian itu diamalkan oleh kebanyakan orang ‘Ajam (non Arab), yaitu menetapkan suatu cara syar’I dalam shalat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Hadits yang tidak shahih. Sekiranya Hadits itu shahih pun maknanya bukan begitu, karena kata ‘ajin secara bahasa bermakna seorang yang telah tua. Jika sekiranya sifat tua diambil dari orang yang menguli (meremas-remas dan menekan-nekan) adonan maka penyerupaannya terletak pada bertelekan dengan kuat ketika menempatkan kedua tangan, bukan pada cara mengepalkan jari-jari tangan.”
Kemudian “Al-Ghazali berkata “Jika kita mengatakan dengan huruf zay (‘Aajiz) maka bermakna seorang yang telah tua, apabila bangkit ia bertelekan dengan kedua telapak tangannya pada tanah.’ Ibnu ash-Shalah berkata, ‘Pada al-Muhkam karya al-Maghribi adh-Darir mutaakhir terdapat keterangan bahwa ‘aajin ialah orang yang bertelekan pada tanah dan mengepalkan telapak tangan. Pemaknaan ini tidak dapat diterima karena dia sendirian (yang memaknai demikian). Dia keliru dan banyak orang yang berlawanan dengannya. Seolah-olah dengan pemaknaan itu ia mendatangkan bahaya di samping ukuran kitabnya besar dengan bahaya.”
Kesimpulan hadit sini dla’if.
b. Hadits Ibnu Umar
عَنِ الْأَزْرَق بنِ قَيْسٍ : رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَعْجِنُ فِي الصَّلَاةِ يَعْتَمِدُ عَلَى يَدَيْهِ إِذَا قَامَ. فَقُلْتُ لَهُ، فَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ يَفْعَلُهُ.
Dari Al-Azraq bin Qais, “Aku melihat Ibnu Umar melakukan ‘ajn saat shalat ketika hendak berdiri. Aku bertanya kepadanya (mengenai hal tersebut), dan ia menjawab, ‘Aku melihat Rasulullah ﷺ. melakukannya’.” HR. Abu Ishaq al-Harbi (w. 285 H) dan at-Thabrani (w. 360 H).
Penjelasan rawi
• Dalam Gharib al-Hadits, Juz 2, hlm. 525, Abu Ishaq al-Harbiy meriwayatkan Hadits di atas melalui rawi Ubaidullah bin Umar, dari Yunus bin Bukair, dari al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais, dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar.
• Ath-Thabrani 1. Al-Mu’jam al-Awsath, Juz 3, hlm. 343, Hadits No. 3347; Al-Mu’jam al-Kabir, juz 11, hlm. 218, No. 410.
• Ja’far, dari al-Hasan bin Sahl al-Hannath, dari Abdul Hamid al-Himmani, dari al-Haitsam bin ‘Ulayyah al-Bashri.dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar
• Ath-Thabrani 2. Al-Mu’jam al-Awsath, Juz 4, hlm. 213, No. 4007; Juz 9, hlm. 207, No. 4154; Al-Mu’jam al-Kabir, Juz 11 , hlm. 383, No. 902
• Ali bin Sa’id ar-Razi, dari Abdullah bin Umar bin Aban, dari Yunus bin Bukair, dari al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah.dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar
Dengan demikian menunjukkan bahwa jalur periwayatan Abu Ishaq al-Harbi dan ath-Thabrani bersanad tunggal, karena semuanya melalui al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar. Dengan demikian, Hadits Ibnu Umar ini disebut gharib atau fard mutlaq (benar-benar bersanad tunggal).
Para ulama berbeda pendapat dalam menilai status Hadits Ibnu Umar. Misalnya, Syaikh al-Albani menilainya sahih. Sedangkan Syaikh Bakr Abu Zaid menilainya dla’if
Berikut penjelasan yang menyatakan Haditsini shahih :
1) Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, Juz 6, hlm. 380.
“Menurut saya, ‘Dia (Yunus bin Bukair) Shaduq, Haditsnya hasan, termasuk rawi Muslim. Padanya terdapat penilaian yang tidak akan menurunkan Haditsnya dari derajat hasan, insya Allah Ta’ala. Namun, gurunya Yunus, al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah, tidak saya kenal. Tidak seorang pun ulama yang menyebutkannya. Saya khawatir terjadi sedikit perubahan nama pada riwayat itu.
Hadits itu telah diriwayatkan oleh Abu Ishaq al-Harbiy dalam kitab Gharib al-Hadits demikian: Abdullah bin Umar telah menceritakan kepada kami. Yunus bin Bukair telah menceritakan kepada kami, dari al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais, dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar, dengan Hadits itu. Al-Harbiy Tsiqah (kredibel), Imam, lagi hafizh. Maka riwayatnya lebih diutamakan dari pada riwayat Ali bin Sa’id ar-Razi. Karena dia (Ali) meski dinilai tsiqah oleh Maslamah bin Qasim, namun Adh-Daraquthni menilainya, ‘Tidak kuat.’
Maka perkataanya (ath-Thabrani) ,(“Tidak ada yang meriwayatkan Hadits ini dari al-Azraq selain al-Haitsam. Yunus bin Bukair sendirian dengan Hadits itu { Al-Mu’jam al-Awsath, Juz 9, hlm. 207, No. 4154; Al-Mu’jam al-Kabir, Juz 11 , hlm. 383, No. 902}) dalam sanad itu: al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah bersumber dari wahamnya (keragu-raguan) jika sanad itu terpelihara darinya. Yang benar adalah perkataan al-Harbiy: ‘Al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais.’ Al-Haitsam ini adalah Al-Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi. Dia telah dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban . Diriwayatkan dari al-Haitsam oleh sekelompok rawi tsiqah.”
2) Ibnu Rajab al-Hanbali, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, karya Ibnu Rajab, V: 148 berkomentar tentang pernyataan ath-Thabrani, (“Tidak ada yang meriwayatkan Hadits ini dari al-Azraq selain al-Haitsam. Yunus bin Bukair sendirian dengan Hadits itu { Al-Mu’jam al-Awsath, Juz 9, hlm. 207, No. 4154; Al-Mu’jam al-Kabir, Juz 11 , hlm. 383, No. 902}) “Dan rawi al-Haitsam ini tidak dikenal.”
Permasalahanya tinggal mengetahui siapa al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah atau Al-Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi, bila kita merujuk pada pendapat sebelumnya syeh Albany “dalam sanad itu: al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah bersumber dari wahamnya (keragu-raguan) jika sanad itu terpelihara darinya. Yang benar adalah perkataan al-Harbiy: ‘Al-Haitsam, dari ‘Athiyyah bin Qais.’ Al-Haitsam ini adalah Al-Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi. Dia telah dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban . Diriwayatkan dari al-Haitsam oleh sekelompok rawi tsiqah.” Dengan tidak mengurangi rasa hormat kami kepada beliau, mari kita perhatikan ath-Thabarani menyebutkan secara lengkap nama dan nasabnya: dari Yunus bin Bukair, dari al-Haitsam bin ‘Alqamah bin Qais bin Tsa’labah, dari al-Azraq bin Qais, dari Ibnu Umar, dengan ini menunjukkan bahwa Haditsini berarti dla’if, tetapi mari kita lanjutkan jikapun rawinya Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi, berikut penjelasannya.
Menurut Syaikh Albani Bahwa Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi dinyatakan tsiqah merujuk pada pernyataan ibnu hibban, berikut pernyataan ibnu hibban dalam At-Tsiqat, VII: 577, No. rawi 11.553.
الهيثم بن عمران العبسي من أهل دمشق يروى عن عطية بن قيس روى عنه الهيثم بن خارجة حدثنا الهيثم بن خارجة ثنا الهيثم بن عمران قال رأيت عطية بن قيس الكلابي يصلى على مرفقة محشوة بالريش جالسا متربعا
“Al-Haitsam bin Imran al-‘Absiy termasuk penduduk Damaskus. Ia meriwayatkan Hadits dari ‘Athiyyah bin Qais. Diriwayatkan darinya oleh al-Haitsam bin Kharijah. Al-Haitsam bin Kharijah telah menceritakan kepada kami, al-Haitsam bin Imran telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ‘Saya melihat Athiyyah bin Qais al-Kilabiy shalat sambil duduk bersila di atas bantal berisi bulu burung.”
Pada kitab at-Tsiqat itu tidak semuanya tsiqah (kredibel) menurut Ibnu Hibban . Sebab rawi yang dimuat oleh Ibnu Hibban pada kitabnya itu terbagi kepada dua kelompok: Pertama, hanya diterangkan oleh Ibnu Hibban sendirian. Jumlahnya lebih dari 2.000 orang. Kedua, diterangkan oleh Ibnu Hibban dan lainnya. Kelompok kedua terbagi kepada dua macam:
• Diterangkan Jarh dan Ta’dil (evaluasi positif dan negatif)nya oleh Ibnu Hibban . Jumlahnya mendekati 3.000 orang.
• Tidak dikomentari oleh Ibnu Hibban . Jumlahnya lebih dari 10.000 orang. Diantara mereka sebenarnya ada yang tsiqah, shaduq, majhul (tidak dikenal pribadinya), majhul hal (tidak dikenal identitasnya), dla’if, dan munkarul hadits (Haditsnya diingkari)
Untuk menetapkan status rawi yang majhul (tidak dikenal), Ibnu Hibban memiliki kaidah atau standar tersendiri yang tidak sesuai dengan standar umum para ulama, yaitu dengan memperhatikan siapa guru atau muridnya. Apabila murid atau gurunya da’if, maka orang tersebut benar-benar majhul menurut Ibnu Hibban . Sedangkan apabila murid atau gurunya itu tsiqah, maka orang tersebut tidak majhul. Ibnu Hajar Dalam Muqaddimah al-Majruhin, I:huruf lam “Pendapat Ibnu Hibban ini adalah pendapat yang mengherankan, berbeda dengan madzhab jumhur. Dan ini metode Ibnu Hibban pada kitab-nya at-Tsiqat. Dengan demikian, apabila terdapat keterangan bahwa seorang rawi watsaqahu Ibnu Hibban (dinilai kredibel oleh Ibnu Hibban ) atau wadzakarahu Ibnu Hibban fii kitaabi at-tsiqat (diterangkan oleh Ibnu Hibban dalam kitabnya ats-tiqat) itu menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pendapat diantara ulama dalam menilai rawi seperti itu, yakni Ibnu Hibban menerimanya sedangkan ulama lain menolaknya.”
Dengan demikian bilapun merujuk pada rawi Haitsam bin Imran ad-Dimasyqi tidak dikomentari oleh Ibnu Hibban sendiri, dan pendapat ibnu rajab menyatakan tidak dikenal berarti dapat kita simpulkan bahwa rawi tidak dikenal berarti status Haditspun dla’if.
Dengan keterangan-keteraangan yang telah disebutkan menunjukkan bahwa bertumpu pada lantai ketika akan bangkit dari sujud tidak memiliki kekuatan dalil yang kuat, dengan demikian tidak menjadi bagian dari syariat kecuali dalam keadaan masyaqqah (berat atau sulit).