Adapun ikhtilaf tentang turun sujud apa yang yang harus didahulukan tangan atau lutut yang sampai ke lantai
I. Ketika sujud yang terlebih dahulu ke lantai adalah tangan
II. Ketika sujud yang terlebih dahulu ke lantai adalah lutut
III. Ketika sujud yang terlebih dahulu ke lantai baik lutut ataupun tangan adalah pilihan dan keduanya adalah sunnah
IV. Pendapat kami
Untuk memahami permasalahan ini berikut kita jelaskan satu-satu dalil dan argumentasi yang disampaikan
Dalil 1
سنن الترمذي ٢٤٨: عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ قَالَ زَادَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ فِي حَدِيثِهِ قَالَ يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ وَلَمْ يَرْوِ شَرِيكٌ عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ إِلَّا هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ مِثْلَ هَذَا عَنْ شَرِيكٍ وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَرَوَى هَمَّامٌ عَنْ عَاصِمٍ هَذَا مُرْسَلًا وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ
Sunan Tirmidzi 248: Dari Wa'il bin Hujr ia berkata: "Aku melihat Rasulullah SAW apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila bangkit beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya." Ia
Hadits Wail ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi II:56; Al-Khatib Al-Bagdadi, Maudhihu Auhamil jam’I Wat Tafriqi II:433; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah I:318; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni I:345; Ath-Tabrani, Al-Mu’jamul kabir XII:39-40; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi I:303; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah I:477-478; Ibnu Hibban , Al-Ihsan Bi tartibi Shahibni Hibban III:190; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud I:193; An Nasai, Sunan An-Nasai II:553, II:584; As-Sunanul Kubra I:229, I:247; Al-Baihaqi, As-Sunanus Sagir I:136; As-Sunanul Kubra II:98.
Dalil 2
سنن أبي داوود ٧١٤: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَسَنٍ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Sunan Abu Daud 714: Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Manshur telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abdullah bin Hasan dari Abu Az Zinnad dari Al A'raj dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apabila salah seorang dari kalian sujud, maka janganlah menderum sebagaimana unta menderum, akan tetapi hendaknya ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya."
Dalil 3
حدثنا الحسين بن الحسين بن عبد الرحمن القاضي ثنا محمد بن أصبغ بن الفرج ثنا أبي ثنا عبد العزيز بن محمد الدراوردي عن عبيد الله بن عمر عن نافع عن بن عمر : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان إذا سجد يضع يديه قبل ركبتيه
Telah menceritakan kepada kami al-Husain bin al-Husain bin ‘Abdurrahman al-Qadhi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ashbug bin al-Faraj, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami ‘abdul aziz bin Muhammad ad-Darawardi, dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW adalah ia ketika bersujud meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. (Sunan ad-Daruquthni 1:344 No. 2)
Dalil 4
627 - نا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ تَمَامٍ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَصْبُغُ بْنُ الْفَرَجِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ " يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ، وَقَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَفْعَلُ ذَلِكَ "قال الألباني: إسناده صحيح وصححه الحاكم
Khuzaimah No. 627 : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘amru bin tamam al-Mishry, telah menceritakan kepada kami Asbhug Ibn al-Faraji, telah menceritakan kepada kamu ‘Abdul Aziz bin Muhammad, dari ‘Ubaidillah bin Umar, dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar bahwa sesungguhnya Ibnu Umar menyimpan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Ia berkata : Rasulullah SAW melakukan hal demikian.
Berikut penjelasan pertama
I. Ketika sujud yang terlebih dahulu ke lantai adalah tangan
Dalil 1 terdapat perbincangan pada rawi
Nama Lengkap : Syarik bin 'Abdullah bin Abi Syarik
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan
Kuniyah : Abu 'Abdullah
Negeri semasa hidup : Kuffah
Wafat : 177 H
Komentar Ulama
Ahmad bin Hambal : Shaduuq
Yahya bin Ma'in : Shaduuq tsiqah
Abu Hatim : Shaduuq
Abu Daud : Tsiqah
Ibnu Hajar Al Atsqalani : "shuduq, tedapat kesalahan"
Adz Dzahabi : Seorang tokoh
Kesimpulan hadits ini guncang / tidak kuat
Dalil 2 kalimat maka janganlah menderum sebagaimana unta menderum, akan tetapi hendaknya ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Menunjukkan dengan jelas Ketika sujud yang lebih dahulu sampai ke lantai adalah kedua tangan dan bila yang ke lantai dahulu adalah lutut berarti seperti menderum unta dan hal itu dilarang oleh Rasulullah SAW.
Adapun tentang derajat hadits dalil 1 berikut penjelasannya :
Berikut rawi yang jadi perbincangan
Nama Lengkap : Muhammad bin 'Abdullah bin Hasan
Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan tua
Kuniyah : Abu 'Abdullah
Negeri semasa hidup : Madinah
Wafat : 145 H
Pendapat Ulama
An Nasa'i : Tsiqah
Ibnu Hibban : Disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Ibnu Hajar al 'Asqalani : Tsiqah
Imam Bukhari : Tidak mengetahui apakah Muhammad bin Abdullah bin al Hasan mendengarkan hadits dari Abi az-Zinad
Imam Tirmidzi sanad hadits tersebut tergolong gharib dari sisi Muhammad bin Abdullah bin al Hasan
Bahwa tidak bertemunya Muhammad bin Abdullah bin al Hasan dengan Abi az-Zinad dapat dipahami adanya keguncangan dalam Riwayat ini tetapi hadits ini memiliki penguat (syahid ) dari dalil 3 dan 4 yaitu kalimat “Nafi’ berkata: “Kebiasaan Ibnu ‘Umar meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. Dalil ini kuat sehingga tetaplah bahwa dalil 2 berkedudukan hasan.
Kesimpulan Hadits ini (2) lebih kuat dari pada hadits Wail (1) Ketika sujud yang didahulukan menempel ke tanah adalah kedua tangan adalah bagian dari sunnah dan bila yang mendahulukan lutut berarti seperti menderum unta dan hal itu dilarang oleh Rasulullah SAW
Mari perhatikan pendapat Ulama
1. al-Auza’I, Malik, Ibnu Hazm, dan Ahmad pada salah satu versi riwayat , hal ini disampaikan oleh Muhamad Syamsul Haq berkata, “(Mendahulukan tangan) menjadi pendapat al-Auza’I, Malik, Ibnu Hazm, dan Ahmad pada salah satu versi riwayat. Ibnu Abu Dawud berkata, ‘Ini pun merupakan pendapat para ahli hadits’.” (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, III:50)
2. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini lebih kuat dari pada hadits Wail, ‘Saya melihat Nabi apabila hendak sujud menempatkan kedua lututnya’ ditakhrij oleh imam yang empat, karena hadits pertama (Abu Hurairah) memiliki syahid (penguat), yaitu hadits Ibnu Umar yang dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan diterangkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq mauquf.” (Lihat, Bulughul Maram, hlm. 78-79)
3. Al-Hafizh Ibnu Sayyidin Nas berkata, “Hadits-hadits menempatkan tangan sebelum lutut lebih kuat. Hadits Abu Hurairah layak masuk dalam kategori hasan menurut kriteria at-Tirmidzi, karena para rawinya selamat dari jarh (celaan).” (Lihat, Nailul Awthar, II:281)
4. As-Syaukani berkata, “Hadits Abu Hurairah adalah hadits qawli (ucapan) sedangkan hadits Wail hikayat fi’il (cerita perbuatan), dan qawl lebih kuat.” (Lihat, Nailul Awthar, I:269)
II. Ketika sujud yang terlebih dahulu ke lantai adalah lutut
Analisis dalil 1 Hadits Wail ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi II:56; Al-Khatib Al-Bagdadi, Maudhihu Auhamil jam’I Wat Tafriqi II:433; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah I:318; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni I:345; Ath-Tabrani, Al-Mu’jamul kabir XII:39-40; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi I:303; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah I:477-478; Ibnu Hibban , Al-Ihsan Bi tartibi Shahibni Hibban III:190; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud I:193; An Nasai, Sunan An-Nasai II:553, II:584; As-Sunanul Kubra I:229, I:247; Al-Baihaqi, As-Sunanus Shagir I:136; As-Sunanul Kubra II:98.
Mengenai hadits ini berikut takhrij, analisis dan kesimpulan dirangkum dari tulisan Ust Amin Muchtar, (Dewan Hisbah) dalam sigabah.com
Hadits ini Diriwayatkan oleh banyak pencatat hadits, namun semua jalur periwayatannya melalui seorang rawi bernama Syarik bin Abdullah an-Nakha’i
Siapa Syarik bin Abdullah an-Nakha’I, ( jarh wa Ta’dil) berikut penjelasan beberapa Ulama
1. Abu Zur’ah
قَالَ عَبْدُ الرَّحْمنِ سَأَلْتُ أَبَا زُرْعَةَ عَنْ شَرِيْكٍ يُحْتَجُّ بِحَدِيْثِهِ قَالَ كَانَ كَثِيْرَ الْحَدِيْثِ صَاحِبَ وَهْمٍ يَغْلَطُ أَحْيَانًا
Abdurrahman berkata, “Aku bertanya kepada Abu Zur’ah tentang Syarik, apakah haditsnya dapat dipakai hujjah?” Beliau menjawab, “Dia banyak haditsnya, shahiba wahm (orang yang ragu-ragu), kadang-kadang keliru.” (Lihat, Al-Jarh wat Ta’dil, IV:366)
2. Imam al-Mizzi, mengutip pernyataan Abu Zur’ah itu dengan redaksi:
كَانَ كَثِيْرَ الْخَطَأِ صَاحِبَ وَهْمٍ وَهُوَ يَغْلَطُ أَحْيَانًا
“Dia banyak salah, shahiba wahm (orang yang ragu-ragu), kadang-kadang keliru.” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XII:471)
3. Abu Hatim
وَقَالَ أَبُوْ حَاتِمٍ لاَ يَقُوْمُ مَقَامَ الْحُجَّةِ فِي حَدِيْثِهِ بَعْضُ الغَلَطِ
Abu Hatim berkata, “Dia tidak dapat mencapai derajat hujjah, pada haditsnya terdapat sedikit kekeliruan.” (Lihat, Al-Mughni fid Dhu’afa, I:297). Dalam kitab ad-Dhu’afa wal Matrukin karya Ibnul Jauzi (II:39) dengan redaksi
لَهُ أَغَالِيْطُ
3. Al-Juzajani
قَالَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ يَعْقُوْبَ الْجُوْزَجَانِي سَيِّءُ الْحِفْظِ مُضْطَرِّبُ الْحَدِيْثِ مَائِلٌ
Ibrahim bin Ya’qub al-Juzajani berkata, “Dia buruk hapalan, mudhtaribul hadits, maa’il.” (lihat, Tahdzibul Kamal, XII:471; Mizanul I’tidal, III:373)
4. Ya’qub bin Syaibah
وَقَالَ يَعْقُوْبُ بْنُ شَيْبَةَ شَرِيْكٌ صَدُوْقٌ ثِقَةٌ سَيِّءُ الْحِفْظِ جِدًّا
Ya’qub bin Syaibah berkata, “Syarik Shaduq, tsiqat, sangat buruk hapalan.” (Lihat, Tahdzibul Kamal, XII:471)
5. Syaikh Nashiruddin al-Albani
Dari berbagai penilaian di atas Syaikh Nashiruddin Al-Albani mengambil kesimpulan
وَهُوَ سَيِّئُ الْحِفْظِ عِنْدَ جُمْهُوْرِ الأَئِمَّةِ وَبَعْضُهُمْ صَرَّحَ بِأَنَّهُ كَانَ قَدِ اخْتَلَطَ, فَلذَالِكَ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ إِذَا تَفَرَّدَ
“Dia buruk hapalan menurut jumhur imam, dan sebagian mereka menjelaskan bahwa ia sungguh mukhtalith (berubah hapalannya). Karena itu ia tidak dapat dipakai hujjah bila meriwayatkan hadits sendirian.” (Lihat, Irwaul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaris Sabil, II:76)
Analisis Kami
Pertama, penilaian sayyiul hifzhi, katsiral khata, yaghlathu, dan mudhtharribul hadits terhadap Syarik dari segi dhabt (hafalan)-nya, bukan adalah-nya (akidah dan akhlak). Pentajrihan (kritikan, celaan) terhadap seorang rawi yang demikian dapat kita terima selama rawi itu tafarrud (sendirian dalam meriwayatkan hadits) atau mukhalafah (bertentangan) dengan rawi yang tsiqat (kuat). Namun bila rawi itu tidak taffarud, artinya ia meriwayatkan hadits seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi lain yang tsiqah (kredibel) selain dia, maka haditsnya dapat diterima. Dan ini yang menjadi tolak ukur penilaian Syaikh al-Albani terhadap riwayat Syarik.
Dengan demikian, penilaian para Ulama di atas terhadap Syarik tidak berarti menolak seluruh hadits yang diriwayatkannya, namun bergantung atas tafarrud (menyendiri) atau tidaknya Syarik dalam meriwayatkan hadits. Sepanjang penelitian kami, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud tidak tafarrud, karena pada riwayat Al-Haitsami hadits tersebut diriwayatkan pula melalui rawi bernama Israil bin Yunus. (Lihat, Mawaridhud Dham-an:132 No. 487). Israil bin Yunus termasuk rijal (periwayat) yang digunakan Al-Bukhari dan Muslim. (lihat, Tahdzibul Kamal, II:515-524)
Karena itu, yang menjadi sandaran utama dalam masalah ini adalah riwayat Israil (aslun, pokok), sedangkan riwayat Syarik sebagai pelengkap keterangan (far’un, cabang)
Kedua, Syarik bin Abdullah an-Nakha’i, lahir pada tahun 95 H/713 M, dan wafat pada tahun 177 H/793. di Kuffah pada usia 82 tahun. Syarik menerima hadits dari 101 guru dan memiliki murid sebanyak 95 orang, dan yang paling banyak menerima hadits darinya adalah Ishaq bin Yusuf al-Azraq, yaitu sebanyak 9.000 hadits. Hal ini menunjukkan bahwa Syarik termasuk salah seorang hafizh atau kuat hapalan. Karena itu Yahya Bin Main mengatakan, “tsiqatun”. Abu Zur’ah berkata kepada Yahya al-Hammani, “Cukup bagimu ilmu Syarik”. Ad-Dzahabi menyatakan, “Kana Syarik min au’iyyatil ‘ilmi (Syarik termasuk diantara perbendaharaan ilmu).” Abu Ahmad bin ‘Adi mengatakan, “Syarik memiliki hadits yang banyak.” (Selengkapnya dapat dibaca pada Tahdzibul Kamal, XII:463, 472, 477; Mizanul I’Tidal, III:376; Tarikh Bagdad IX:280-282; Ma’rifatus Tsiqat, I:453; Rijal Muslim I:309-310)
Pada tahun 155 H/771 M, ketika berusia 60 tahun, ia menjadi hakim di Wasith. Satu tahun kemudian (tahun 156 H/771 M) menjadi hakim di Kuffah (Tahdzibut Tahdzib IV:336). Ketika menjadi qadhi di Kuffah inilah Syarik mukhtalith (hapalannya berubah) (Lihat, Taqribut Tahdzib I:243). Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Shalih bin Muhammad bahwa Syarik itu Shaduq dan setelah menjadi qadi di Kuffah idhthirab (rusak) hapalannya (Lihat, Tarikh Bagdad IX:285). Demikian pula menurut Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar. Ibnu Hibban menyatakan:
كَانَ فِي آخِرِ عُمْرِهِ يُخْطِىءُ فِيْمَا يَرْوِيْ تَغَيَّرَ عَلَيْهِ حِفْظُهُ
“Di akhir usianya ia keliru dalam periwayatan, hapalannya berubah.” (Lihat, al-Kawakibun Nirat, I:47).
Ibnu Hajar menyatakan:
صَدُوْقٌ يُخْطِئُ كَثِيْرًا تَغَيَّرَ حِفْظُهُ مُنْذُ وُلِّيَ القضاءَ بِالْكُوْفَةِ
“Shaduq, banyak salah, berubah hapalannya sejak diangkat jadi qadi di Kuffah.” (Lihat, Taqribut Tahdzib, I:243).
Keadaan ini menyebabkan Syarik melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan sebagian haditsnya ketika di Kuffah. Menurut Ibrahim bin Sa’id al-Jauhari, “Syarik keliru pada 400 hadits.” (Lihat, Mizanul I’tidal, III:373; Al-Kamil fi Dhu’afair Rijal, IV:8).
Dengan demikian, apabila ada jarah (kritikan) dari sebagian Ulama terhadap Syarik, maka hal itu dapat dikategorikan menjadi dua macam:
Berkaitan dengan rusaknya dhabth (hapalan) Syarik setelah menjadi qadhi (hakim) di Kuffah atau setelah tahun 155 H, ketika ia berusia 60 tahun, atau 22 tahun sebelum wafatnya.
Berkaitan dengan hadits tertentu diantara yang 400 hadits itu.
Karena itu, jarh (celaan) para Ulama tersebut tidak serta merta menolak seluruh hadits yang diriwayatkan oleh Syarik, namun ditujukan terhadap sebagian hadits yang tercakup oleh dua kategori di atas. Apabila jarh tersebut tidak didudukan seperti ini, maka akan timbul pertanyaan yang akan menolak keabsahan jarh tersebut, sebagai berikut:
Pertama: penilaian Abu Zur’ah. Abu Zur’ah (200-264 H) lahir tahun 200 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Abu Zur’ah lahir 23 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan, dari mana Abu Zur’ah tahu bahwa Syarik itu katsirul khatha, shahibu wahmin, yaghlathu ahyanan? Padahal ia tidak sezaman dengan Syarik.
Kedua: penilaian Abu Hatim. Abu Hatim (195-277 H) lahir tahun 195 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Abu Hatim lahir 18 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan: Dari mana Abu Hatim tahu bahwa Syarik itu lahu aghalith? Padahal ia tidak sezaman dengan Syarik.
Ketiga: penilaian Ibrahim bin Ya’qub. Ibrahim bin Ya’qub al-Juzajani (w. 259 H) sezaman dengan Imam Ahmad (164-241 H). Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Seandainya Ibrahim lahir pada tahun 170 H, berarti Syarik wafat ketika ia berusia 7 tahun. Pertanyaan, dari mana al-Juzajani tahu bahwa Syarik itu sayyiul hifzhi, mudhtarribul hadits? Padahal ia masih kecil ketika Syarik meninggal.
Ketiga: penilaian Ya’qub bin Syaibah. Ya’qub bin Syaibah (182- 262 H) lahir tahun 182 H. Sedangkan Syarik wafat tahun 177 H. Berarti Ya’qub lahir 5 tahun setelah Syarik meninggal. Pertanyaan, dari mana Ya’qub tahu bahwa Syarik itu sayyiul hifzhi? Padahal ia tidak sezaman dengan Syarik. Dan sebenarnya redaksi yang diungkapkan oleh Ya’qub bin Syaibah itu bukan jarh tetapi ta’dil (pujian) martabat VI, yakni shalihun lil i’tibar. Kalimat ini menunjukkan bahwa haditsnya tidak mutlak ditolak tetapi layak dicari penguatnya. (lihat, Ushulul Hadits, 1989:277; Manhajun Naqd, 1985:110]
Di samping itu, jarh (celaan) para Ulama di atas jelas-jelas akan bertentangan dengan ta’dil (penilaian baik) para Ulama yang sezaman dengan Syarik dan lebih mengetahui keadaannya. Misalnya Ibnu Ma’in (158-233 H) menyatakan tsiqat (al-Kawakibun Nirat, I:47); Ibnul Mubarak (118-181 H) menyatakan bahwa Syarik lebih tahu terhadap hadits orang-orang Kuffah dari pada Sufyan at-Tsauri (Al-Mughni fid Dhu’afa, I:297). Imam Ahmad (164-241 H) menyatakan bahwa syarik itu
كَانَ عَاقِلاً صَدُوْقًا مُحَدِّثًا وَكَانَ شَدِيْدًا عَلَى أَهْلِ الرَّيْبِ وَالْبِدَعِ
“Dia orang yang kuat hapalan, jujur, ahli hadits, dan sangat tegas terhadap ahli raib (tdk teguh pendirian) dan ahli bid’ah.” (Lihat, Mizanul I’tidal, III:375)
Bahkan Yahya bin Sa’id al-Qaththan (120-198 H) menyatakan, “Tsiqatun tsiqatun” (Tahdzibul Kamal, XII:468) Kalimat Tsiqatun tsiqatun menunjukkan bahwa rawi yang dinilai memiliki kredibilitas tingkat tinggi.
Namun apabila jarh (celaan) itu didudukan berdasarkan dua kategori di atas, maka jarh mereka sebenarnya tidak bertentangan dengan ta’dil (pujian) para Ulama yang sezaman dengan Syarik, yaitu
Pertama, Ta’dil (pujian) ditujukan terhadap Syarik sebelum menjadi hakim di Kuffah atau sebelum tahun 155 H. Sedangkan jarh (celaan) ditujukan terhadap Syarik setelah berubah hapalannya atau setelah menjadi hakim di Kuffah atau setelah tahun 155 H.
Kedua, Ta’dil ditujukan terhadap periwayatan 8.600 hadits. Sedangkan jarh ditujukan terhadap periwayatan 400 hadits.
Sedangkan khusus untuk jarh (celaan) al-Juzajani terhadap Syarik, kita perlu memperhatikan komentar para ahli hadits, antara lain al-Kautsari, Ibnu Hajar, ad-Dzahabi, dan as-Sakhawi, tentang jarh al-Juzajani terhadap orang-orang Kuffah. Hal ini perlu disampaikan mengingat Syarik adalah orang Kuffah. Mereka menyatakan bahwa jarh al-Juzajani terhadap orang Kuffah tidak perlu diterima, karena antara dia dan orang-orang Kuffah terjadi permusuhan disebabkan persoalan akidah (lihat, Ta’nits al-Khatib:116; Tahdzibut Tahdzib I:93; Mizanul I’tidal, I:76; Syarah al-Alfiyah:44; ar-Raf’u wat Takmil fil Jarhi wat Ta’dil:308 dan 310) Dalam ilmu hadits, jarh seperti ini disebut jarh aqran, yakni mendaifkan orang lain karena faktor non ilmiah, antara lain sentimen atau permusuhan.
Dengan demikian, pada asalnya periwayatan Syarik itu shahih, dan untuk mengetahui apakah suatu hadits yang diriwayatkan oleh Syarik itu shahih atau tidak perlu kajian sebagai berikut :
(a) sebelum menjadi qadhi di Kuffah (sebelum tahun 155 H) atau sesudahnya (setelah tahun 155 H)?
(b) dikelompokkan pada jumlah 8.600 atau 400?
(c) Sebelum mukhtalith (berubah hapalan) atau sesudahnya?
Maka dapat digunakan salah satu diantara tiga kriteria sebagai tolak ukur:
untuk mengetahui point (a) dapat dilihat dari aspek tarikhur riwayat, yaitu kapan hadits itu diterima dan diriwayatkan olehnya
untuk mengetahui point (b) harus dilihat dari aspek takhrij, yaitu ditelusuri seluruh riwayat Syarik dalam berbagai kitab-kitab hadits
untuk mengetahui point (c) dapat dilihat dari 2 aspek:
[1] murid yang menerimanya
Ibnu Hibban menyatakan bahwa rawi-rawi yang menerima hadits darinya di Wasith (sebelum menjadi hakim di Kuffah) maka pada periwayatan mereka tidak terjadi takhlith (shahih karena mereka menerimanya sebelum Syarik berubah hapalan), seperti Yazid bin Harun dan Ishaq al-Azraq, sedangkan rawi-rawi yang menerima hadits darinya di Kuffah (setelah mukhtalit) padanya terdapat keragu-raguan (lihat, Tahdzibut Tahdzib IV:336; Al-Kawakibun Nirat fi Ma’rifati Man ikhtalatha Minar Ruwatits Tsiqat, I:47; Al-Igtibath lima’rifati man rumiya bil ikhtilath : 60).
[2] Muttabi’’
Yaitu adanya periwayatan rawi-rawi lain yang tsiqah (kredibel) yang mendukung periwayatannya. Dan inilah yang dijadikan landasan oleh Imam Muslim ketika beliau meriwayatkan hadits Syarik dalam kitab Shahihnya, antara lain dalam Shahih Muslim, II:510
كِتَابُ الْبِرِّ وَالصِّلَةِ وَالأَدَبِ بَابُ بِرِّ الْوَالِدَيْنِ وَأَنَّهُمَا أَحَقُّ بِهِ
(Kitab berbuat baik, silturrahmi, adab – bab berbuat baik pada orang tua dan keduanya)
diterangkan oleh Abu Hurairah:
صحيح مسلم ٤٦٢٢: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ عَنْ عُمَارَةَ وَابْنِ شُبْرُمَةَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ جَرِيرٍ وَزَادَ فَقَالَ نَعَمْ وَأَبِيكَ لَتُنَبَّأَنَّ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَلْحَةَ ح و حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ خِرَاشٍ حَدَّثَنَا حَبَّانُ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ كِلَاهُمَا عَنْ ابْنِ شُبْرُمَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ فِي حَدِيثِ وُهَيْبٍ مَنْ أَبَرُّ وَفِي حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ طَلْحَةَ أَيُّ النَّاسِ أَحَقُّ مِنِّي بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ ثُمَّ ذَكَرَ بِمِثْلِ حَدِيثِ جَرِيرٍ
Shahih Muslim 4622: Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al A'laa Al Mahdani: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail dari Bapaknya dari 'Umarah bin Al Qa'qa' dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah seorang laki-laki seraya berkata: 'Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak dengan kebaktianku? Beliau menjawab: 'Ibumu, lalu Ibumu, lalu Ibumu, kemudian bapakmu, kemudian orang yang terdekat denganmu dan seterusnya.' Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah Telah menceritakan kepada kami Syarik dari 'Ammarah dari Ibnu Syubrumah dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah dia berkata: Seseorang berkata kepada Nabi SAW -lalu Abu Hurairah menyebutkah Hadits yang serupa dengan Hadits Jarir dengan sedikit tambahan: 'beliau bersabda: 'Ya, dan bapakmu, sungguh aku akan memberitakan kepadamu.' Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim Telah menceritakan kepada kami Syababah Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Thalhah Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Khirasy Telah menceritakan kepada kami Habban Telah menceritakan kepada kami Wuhaib keduanya dari Ibnu Syubrumah melalui jalur ini. Di dalam Hadits Wuhaib disebutkan dengan lafadz: 'Man Abarru.' (Siapakah yang paling baik). Sedangkan di dalam Hadits Muhammad bin Thalhah dengan lafadz: 'Ayyun nas ahaqqu minni bihusnis shahbah.' -lalu dia menyebutkan lafadz yang sama dengan Hadits Jarir.-
karena menurut penelitian Muslim, hapalan dan kredibilitas Syarik dapat dibuktikan dengan adanya periwayatan rawi yang lainnya.
Berdasarkan standar kritik rawi di atas, mari kita kaji hadits Wail yang diriwayatkan oleh Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud, dengan sebuah pertanyaan, apakah hadits Wail ini diriwayatkan oleh Syarik sebelum menjadi qadhi di Kuffah atau sesudahnya ? Tegasnya, sebelum taghayyur hifzhihi (berubah hapalannya) atau ba’dahu (sesudahnya) ?
Berdasarkan standar ketiga di atas, maka hadits Wail ini diriwayatkan oleh Syarik sebelum berubah hapalannya. Hal itu diketahui dengan melihat orang yang meriwayatkan darinya, yaitu Yazid bin Harun. Dengan demikian hadits ini (Mendahulukan Lutut) diterima oleh Yazid dari Syarik bin Abdillah sebelum Syarik berubah hapalannya (mukhtalit). Di samping itu, periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud tidak tafarrud (menyendiri), karena pada riwayat Al-Haitsami hadits tersebut diriwayatkan pula melalui rawi bernama Israil bin Yunus. Ia termasuk rijal (periwayat) yang digunakan Al-Bukhari dan Muslim.
…أخبرنا محمد بن إسحاق الثقفي حدثنا الحسن بن علي الخلال حدثنا يزيد بن هارون أنبأنا إسرائيل عن عاصم بن كليب عن أبيه عن وائل بن حجر قال رأيت النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه…
…Telah mengabarkan kepada kami Muhammmad bin Ishak Atsaqofi telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Alkholal telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun telah menerangkan kepada kami isroil dari ahim bin kulaib dari ayahnya dari wail bin hujr ia berkata aku melihat Nabi SAW apabila sujud beliau meletakkan kedua lututnya sebelum tangannya dan apabila bangkit beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya…
(Lihat, Mawaridhud Zham-an:132 No. 487. Dan biografi Israil dapat dilihat pada Tahdzibul Kamal, II:515-524)
Berdasarkan analisa di atas, hemat kami periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud adalah maqbul (dapat diterima) karena: Pertama, Syarik meriwayatkan hadits tersebut sebelum terjadinya ikhtilath. Kedua, Syarik memiliki muttabi’’ (tidak menyendiri) dikuatkan oleh rawi lain yang tsiqah (kredibel), yaitu Israil bin Yunus.
Dalam riwayat lain, kita temukan jalur periwayatan berbeda sebagai penguat riwayat Syarik bin Abdullah (muttabi’’), sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جُحَادَةَ عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ حَدِيثَ الصَّلَاةِ قَالَ فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ إِلَى الْأَرْضِ قَبْلَ أَنْ تَقَعَ كَفَّاهُ – رواه أبو داود
Abu Dawud berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ma’mar, Hajaj bin Minhal telah mengabarkan kepada kami, Hamam telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Jahadah telah mengabarkan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ayahnya (Wail); Sesungguhnya Nabi SAW. —maka Wail menerangkan hadits salat—ia berkata, “Maka ketika beliau hendak sujud kedua lututnya kena pada tanah sebelum kedua telapak tangannya.” H.r. Abu Dawud, ‘Awnul Ma’bud III : 48
Sebagian Ulama menyatakan hadits ini munqathi’ (terputus jalur periwayatan) karena Abdul Jabbartidak mendengar hadits itu dari ayahnya (Wail). (Lihat, Tuhfatul Ahwadzi, II : 134)
Hemat kami sanad Hamam bin Yahya dari Muhammad bin Jahadah riwayat Abu Daud tersebut memang munqathi, karena Abdul Jabbartidak mendengar hadits tersebut dari ayahnya (Wail). Namun bila kita perhatikan sanad Al Baihaqi di bawah ini ternyata Abdul Jabbarmenerima hadits tersebut dari ibunya (istri Wail/Ummu Yahya), ia menerima dari Wail (suaminya), dengan teks sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا أَبُوْ بَكْرٍ الْحَارِثُ الْفَقِيْهُ أَنْبَأَنَا أَبُوْ مُحَمَّدِ بْنِ حَيَّانَ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَ ثَنَا أَبُوْ كُرَيْبٍ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُجْرٍ ثَنَا سَعِيْدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أُمِّهِ عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ الله ثُمَّ سَجَدَ وَكَانَ أَوَّلُ مَا وَصَلَ إِلَى الأَرْضِ رُكْبَتَاهُ
Abu Bakar al-Harits al-Faqih telah mengabarkan kepada kami, Abu Muhamad bin Hayyan telah mengabarkan kepada kami, Muhamad bin Yahya telah menceritakan kepada kami, Abu Kureb telah menceritakan kepada kami, Muhamad bin Hujr telah menceritakan kepada kami, Sa’id bin Abdul Jabbar telah menceritakan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari ibunya, dari Wail bin Hujr, ia berkata, “Aku Salat di belakang Rasul kemudian beliau sujud dan yang paling awal sampai ke lantai adalah kedua lututnya.” (Lihat, as-Sunanul Kubra, II:99)
Dengan demikian sanad hadits tersebut muttashil (bersambung), dan dapat dipergunakan sebagai syahid (penguat) bagi hadits Anas bin Malik dan Abu Hurairah sehingga derajat keduanya naik menjadi hasan lighairihi dan dapat diamalkan.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ قَالَ هَمَّامٌ وَحَدَّثَنِي شَقِيقٌ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ هَذَا وَفِي حَدِيثِ أَحَدِهِمَا وَأَكْبَرُ عِلْمِي أَنَّهُ فِي حَدِيثِ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ وَإِذَا نَهَضَ نَهَضَ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَاعْتَمَدَ عَلَى فَخِذِهِ
Abu Dawud berkata, “Muhammad bin Ma’mar telah menceritakan kepada kami, Hajaj bin Minhal telah mengabarkan kepada kami, Hamam telah mengabarkan kepada kami dan berkata, Syaqiq telah mengabarkan kepada kami, Ashim bin Kulaib telah menceritakan kepadaku, dari ayahnya (Kulaib bin Syihab), dari Nabi SAW. … (seperti hadits di atas).”
Selain penguat riwayat Syarik bin Abdullah (muttabi’’), juga dalam riwayat lain, kita temukan jalur periwayatan berbeda sebagai penguat riwayat Wail (Syahid), sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَرَ … ثُمَّ إنْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ حَتَّى سَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ ـ رواه البيهقي والدارقطني والحاكم ـ
Dari Anas bin malik, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW. bertakbir… Kemudian beliau turun (ke sujud) sambil bertakbir sehingga kedua lututnya mendahului kedua tangannya.” H.r. Al Baihaqi, As Sunanul Kubra II : 99; Ad Daraqutni, Sunan Ad Daraqutni I : 345; Al Hakim, Al Mustadrak I: 226. Redaksi di atas versi riwayat Al Baihaqi.
- وَقَدْ أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ الْفَقِيهُ، أنبأ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ زِيَادٍ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، ثنا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ جَدِّهِ، عَنْ [ص:144] أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِرُكْبَتَيْهِ قِيلَ يَدَيْهِ، وَلَا يَبْرُكْ بُرُوكَ الْجَمَلِ
Sungguh telah mengabarkan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafidz, telah menerangkan Abu Bakr bin Ishak Al-Faqih, telah menerangkan Al-Hasan bin Ali bin Ziyad, telah menceritakan Ibrahim bin Musa, telah menceritakan Fudhail,, dari Abdillah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Ayahnya, dari Nabi SAW beliau bersabda: Apabila seseorang di anatara kamu sujud, maka mulailah dengan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan janganlah menderum seperti menderumnya unta. As-Sunan Al-Kubro Lilbaihaqi, Juz 2: 143
Mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak turun ke sujud, selain bersumber dari Nabi SAW. juga merujuk kepada praktek salat sahabat Nabi SAW., dalam hal ini Umar dan Ibnu Umar, sebagai berikut:
عَنْ إِبْرَاهِيْمَ أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ ـ رواه ابن أبي شيبة وعبد الرزاق ـ
Dari Ibrahim, Bahwasannya Umar menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.” H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, I : 295 dan Abdur Razaq, al-Mushannaf, II : 177
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ إِذَا سَجَدَ قَبْلَ يَدَيْهِ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ إِذَا رَفَعَ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ ـ رواه ابن أبي شيبة ـ
Dari Nafi, Sesungguhnya Ibnu Umar bila hendak sujud menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan bila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf I : 295
Berikut kita ketengahkan Ulama yang menerima kehujahan hadits Mendahulukan Lutut, antara lain:
قَالَ التِّرْمِذِيُّ : هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ مِثْلَ هَذَا عَنْ شَرِيكٍ وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
1. At-Tirmidzi berkata, “Ini hadits hasan gharib, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya seperti ini dari Syarik, dan hadits ini menjadi landasan pengamalan menurut mayoritas ahli ilmu yang berpendapat bahwa seseorang hendaklah menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya (ketika hendak sujud) dan apabila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (Lihat, Sunan At-Tirmidzi II:56) Imam asy-Syawkani mengutip perkataan at-Tirmidzi itu dengan redaksi:
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ غَيْرُ شَرِيكٍ
“Ini hadits hasan gharib, kami tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkannya selain Syarik.” (Lihat, Nailul Awthar Syarh Muntaqa al-Akhbar II: 281)
وَقَالَ النَّوَوِيُّ : لاَ يَظْهَرُ تَرْجِيْحُ أَحَدِ الْمَذْهَبَيْنِ عَلَى الآخَرَ وَلكِنْ أَهْلُ هذَا الْمَذْهَبِ رَجَّحُوْا حَدِيْثَ وَائِلٍ وَقَالُوْا فِي أَبِيْ هُرَيْرَةَ إِنَّهُ مُضْطَرِّبٌ إِذْ قَدْ رُوِىَ عَنْهُ الأَمْرَانِ
2. An-Nawawi berkata, “Sulit untuk mentarjih (menguatkan) salah satu diantara dua madzhab, namun penganut madzhab ini menyatakan bahwa hadits Wail lebih rajih (kuat) dan mereka berkata, “Pada riwayat Abu Hurairah (mendahulukan tangan) terjadi idtirab karena telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam dua versi.” (Lihat, Subulus Salam I:38)
قَالَ الْخَطَّابِي وَغَيْرُهُ : وَحَدِيْثُ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَصَحُّ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
Al-Khathabi dan lainnya berkata, “Hadits Wail bin Hujr lebih Shahih dari pada hadits Abu Hurairah.” (Lihat, Zadul Ma’ad, I:411)
3. Ibnu Qayyim berpendapat: “Hadits Wail lebih utama dilihat dari berbagai aspek:
a. Hadits Wail lebih tsabit (kokoh kepastian adanya) sebagaimana dinyatakan al-Khathabi dan lainnya.
b. Hadits Abu Hurairah mudhtaribul matan (ketidakpastian redaksi) sebagaimana keterangan terdahulu, karena diantara para rawi dari Abu Hurairah ada yang menyatakan bahwa sabda Nabi itu:
وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” Ada pula yang menyatakan sebaliknya. Dan ada pula yang menyatakan
وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ
Dan hendaklah ia menempatkan kedua tangannya di atas kedua lututnya.”
c. Keterangan terdahulu, yaitu pernyataan al-Bukhari, ad-Daraquthni, dan lain-lain bahwa hadits tersebut mengandung ilat (cacat tersembunyi).
d. Andaikata hadits tersebut tsabit (kokoh), sungguh sekelompok ahli ilmu mendakwakan bahwa hadits tersebut mansukh (terhapus). Ibnul Mundzir berkata, “Sebagian diantara sahabat kami telah menduga bahwa menempatkan kedua tangan sebelum kedua lutut itu mansukh (terhapus).”
e. Hadits Wail sesuai dengan ketentuan larangan Nabi agar tidak menderum seperti menderumnya unta, hal itu berbeda dengan hadits Abu Hurairah.
f. Hadits Wail sesuai dengan riwayat amal shahabat, seperti Umar, Ibnu Umar, dan Ibnu Mas’ud, dan tidak ada satupun riwayat amal sahabat yang sesuai dengan hadits Abu Hurairah kecuali Umar, itu pun kontradiktif dengan amal Umar versi lainnya.
g. Hadits Wail memiliki syahid (penguat) melalui hadits Ibnu Umar dan Anas, sebagaimana diterangkan terdahulu, sedangkan hadits Abu Hurairah tidak memiliki syahid, maka kalau keduanya berlawanan tentu saja hadits Wail bin Hujr didahulukan karena syawahid (penguat)nya dan hadits Wail lebih kuat.
h. Sesungguhnya mayoritas orang-orang berpegang pada hadits itu, sedangkan pendapat yang lain hanya bersumber dari al-Auza’I dan Malik. Adapun perkataan Ibnu Abu Dawud: “Sesungguhnya itu (mendahulukan lutut) merupakan pendapat para ahli hadits” maksudnya pendapat sebagian diantara mereka, karena Ahmad, as-Syafi’I, dan Ishaq berpendapat sebaliknya.
i. Sesungguhnya pada hadits Wail terdapat kisah hikayat yang disusun untuk mengisahkan perbuatan Nabi, maka itu lebih terjaga kebenarannya, karena suatu hadits yang mengandung kisah hikayat menunjukkan bahwa hadits itu benar-benar terpelihara.
j. Sesungguhnya berbagai perbuatan yang dihikayatkan pada hadits yang semuanya tsabit (kokoh) lagi shahih melalui periwayatan lainnya, maka hal itu merupakan perbuatan yang sudah dikenal lagi benar adanya, dan ini salah satu aspek diantaranya, dan status shahih itu berlaku untuknya, sedangkan keterangan yang menentangnya tidak dapat melawannya. Dengan demikian sudah pasti hadits itu yang rajih (kuat). WAllahu A’lam. (Lihat, Zadul Ma’ad, I:215)
4. Muhamad Syamsul Haq berkata, “Mayoritas Ulama berpendapat demikian (mendahulukan lutut), dan al-Qadhi Abut Thayyib menghikayatkan (pendapat demikian juga) dari mayoritas ahli fiqih. Ibnul Mundzir menghikayatkannya sebagai pendapat Umar bin Khatab, an-Nakha’I, Muslim bin Yasar, Sufyan ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, dan Ashhabur ra’yi (madzhab rasional), dan ia berkata, ‘saya pun berpendapat demikian’.” (Lihat, ‘Awnul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, III:48)
Berdasarkan analisa di atas, hemat kami periwayatan Syarik tentang mendahulukan lutut sebelum tangan ketika hendak sujud adalah maqbul (dapat diterima) karena: Pertama, Syarik meriwayatkan hadits tersebut sebelum terjadinya ikhtilath. Kedua, Syarik memiliki muttabi’’ (tidak menyendiri) dikuatkan oleh rawi lain yang tsiqah (kredibel), yaitu Israil bin Yunus
Tentang dalil 2 mari rawi yang jadi perbincangan yaitu
Nama Lengkap : Abdul 'Aziz bin Muhammad bin 'Ubaid bin Abi 'Ubaid
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan
Kuniyah : Abu Muhammad
Negeri semasa hidup : Madinah
Wafat : 187 H
Pendapat Ulama
Yahya bin Ma'in : laisa bihi ba`s
Ibnu Hibban : disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Al 'Ajli : Tsiqah
Imam Bukhari tidak mengetahi apakah Muhammad bin Abdullah bin al Hasan mendengarkan hadits dari Abi az-Zinad.
Imam Tirmidzi sanad hadits tersebut tergolong ghorib dari sisi Muhammad bin Abdullah bin al Hasan.
Abu Zur’ah berkata, “Dia buruk hafalan, terkadang ia menceritakan sesuatu dari hafalannya.”
Al-Nasai berkata, “Abdul Aziz al-Darawardi tidak kuat.” Dan pada tempat lain ia berkata, “Tidak apa-apa dan haditsnya dari Ubaidillah bin Umar adalah munkar.” (Tahdzib al-Kamal 18/194)
Sementra pada dalil 3 dan 4 rawi yang jadi perbincangan adalah
Nama : Abdullah bin Nafi al-Shaigh
Pendapat Ulama
Abu Hatim : “Dia tidak hafizh, dia lemah pada hafalannya.”
Al-Bukhari : “Pada hafalannya terdapat sesuatu.” Tahdzib al-Kamal 16/210.
Abu Zur’ah : “Munkar al-Hadits.” Ta’liq Ala Tahdzib al-Kamal 16/210.
Ibnu Hajar : “Lemah pada hafalannya.” Taqrib al-Tahdzib 1/318.
Kesimpulan dalil 2, 3 dan 4 dla’if
Kesimpulan ketika sujud yang didahulukan menempel ke tanah adalah kedua lutut adalah bagian dari sunnah dan bila yang mendahulukan tangan berarti seperti menderum unta dan hal itu dilarang oleh Rasulullah SAW
Mari perhatikan pendapat Ulama
Imam Syafi’i dalam al umm 2:272 Ar-rabi mengabarkan kepada kami dia berkata : Asyfi’i mengabarkan kapada kami saya senang sekiranya orang orang yang shalat … lalu dia turun ke tempat sujud . kemudian, yang pertama diletakan dari tubuhnya pada tanah adalah kedua lututnya, disusul wajahnya, jika ia meletakkan wajahnya sebelum kedua tangannya, atau kedua tangannya sebelum lutut, maka saya memakruhkanya…
Ibnu Qudamah Al Mugni 2/88 … akan tetapi kami mempunyai hadits yang diriwayatkan oleh Wail bin Hujr… (dalil 1)… menurut Al khitabi, hadits ini lebih shahih dari pada hadits Abu Hurairah…hadits ini memberikan pengertian bahwa apa yang telah lalu meletakkan tangan sebelum kedua lutut, telah di nasakh, yaitu telah dihapus kekuatan hukumnya…
Syaikh Muhammmad bin Shalih Al-Utsaimin Dalam Sifat Shalat Nabi SAW hal 396 “apabila mendahulukan tangan sebelum lutut tatkala akan sujud sangat diperlukan oleh seseorang maka tidak mengapa dia melakukanya, namun jika perlu melakukanya maka zhahir hadits-hadits tersebut mengindikasikan haram, karena larangan Nabi SAW melarang seseorang menderum dalam sujud menyerupai unta menderum, kita dilarang menyerupai hewan. Dan penyerupaan ini tidak diriwayatkan melainkan untuk menerangkan sesuatu yang tercela
Dewan Hisbah Persatuan Islam Dalam Ikhtisar vol 1 10 masalah seputar shalat dan isbal hal 8 kesimpulan kaifiyat turun sujud seetelah I’tidal ada ruku’ dengan mendahulukan lutut kemudian tangan dan ketika bangkit mendahulukan tangan kemudian lutut.
III. Ketika sujud yang terlebih dahulu ke lantai baik lutut ataupun tangan adalah pilihan dan keduanya adalah sunnah
Dalil Mendahulukan lutut atau tangan ketika turun sujud adalah dua dalil yang memiliki kriteria tersendiri bila ditinjau dari ilmu hadits, dari beberapa aspek ilmu hadits keduanya memiliki ketentuan yang secara ilmiah dua-duanya kuat dari Rasulullah SAW, kesulitan menentukan mana yang lebih baik sebuah kepastian yang harus diambil, seperti pernyataan imam An-Nawawi berkata, “Sulit untuk mentarjih (menguatkan) salah satu diantara dua madzhab, namun penganut madzhab ini menyatakan bahwa hadits Wail lebih rajih (kuat) dan mereka berkata, “Pada riwayat Abu Hurairah (mendahulukan tangan) terjadi idtirab karena telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam dua versi.” (Lihat, Subulus Salam I:38) atau Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini lebih kuat dari pada hadits Wail, ‘Saya melihat Nabi apabila hendak sujud menempatkan kedua lututnya’ ditakhrij oleh imam yang empat, karena hadits pertama (Abu Hurairah) memiliki syahid (penguat), yaitu hadits Ibnu Umar yang dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan diterangkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq mauquf.” (Lihat, Bulughul Maram, hlm. 78-79) artinya menentukan kedua dalil ini mana yang lebih kuat memang sulit, maka ada beberapa Ulama yang mengambil jalan tengah dengan menyatakan bahwa para Ulama tidak sedang berbicara mana yang sah tetapi berbicara mana yang lebih afdhal, seperti yang diungkapkan oleh ibnu taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 22: 449
أما الصلاة بكليهما فجائزة بإتفاق العلماء إن شاء المصلى يضع ركبتيه قبل يديه وإن شاء وضع يديه ثم ركبتيه وصلاته صحيحة فى الحالتين بإتفاق العلماء ولكن تنازعوا فى الأفضل
“Adapun shalat dengan kedua cara tersebut maka diperbolehkan dengan kesepakatan Ulama, kalau dia mau maka meletakkan kedua lutut sebelum kedua telapak tangan, dan kalau mau maka meletakkan kedua telapak tangan sebelum kedua lutur, dan shalatnya sah pada kedua keadaan tersebut dengan kesepakatan para Ulama. Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang yang afdhal.”
IV. Pendapat kami
Dengan memperhatikan dalil dan beberapa keterangan sampailah kami pada kesimpulan lebih cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa hadits wail lebih kuat dari pada hadits Abu Hurairah dan menyatakan bahwa sesuai sunnah ketika sujud yang lebih didahulukan menyentuh lantai adalah lutut sebelum tangan dan bila mendahulukan tangan dari pada lutut bersandar pada hadits yang dla’if, mengingat secara ilmu hadits (dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada pendapat yang berbeda) secara terang menunjukkanhal itu.